Opini

Hukum Besi Ideologi Radikal

Sen, 21 September 2020 | 11:30 WIB

Hukum Besi Ideologi Radikal

Ilustrasi radikalisme. (NU Online)

Oleh Muchotob Hamzah


Sebuah aksioma dalam sejarah ada hukum besi yang menyatakan bahwa pengikut radikalisme di mana pun dan dari agama atau ideologi apapun akan mudah untuk berpecah serta bermusuhan antarmereka yang dahulunya sahabat atau kawan. Dalam Islam sendiri, embrio ideologi radikal sudah ada sejak Rasulullah SAW.


Kalimat visioner yang disuarakan oleh Dzul Khuwairishah adalah tuntutan agar Nabi berbuat adil dalam pembagian Ghanimah (al-Hafidz al-Asqalani, Nuzhah al-Albab fii al-Alqaab). Dengan kelembutannya Nabi SAW menjawab, "kalau aku tidak adil, siapa lagi yang lebih adil dari aku?"


Meskipun respon Nabi Muhammad begitu halus, berita kenabian tetap beliau sampaikan agar umat berhati-hati. Berita kenabian itu adalah bahwa akan muncul orang-orang radikal yang ibadahnya kuat tetapi berwatak keras kepala (Bukhari dalam Al-Asqalani, Al-Fath 13/283) yang Nabi Muhammad perintahkan untuk disingkirkannya (Muslim, Syarah Nawawi, 7/169).


Sikap radikal banyak kita dapatkan dalam soal politik. Kebanyakan mereka tanpa akhlakul karimah. Sikap Dzul Khuwairishah ini diwarisi oleh Abdurahman bin Muljam, seorang hafiz al-Qur'an yang berkepala batu. Hafal al-Qur'an, abid yang handal, guru ngaji di Mesir yang diutus khalifah Umar bin Khattab serta berpaham Sunni.


Tetapi karena permintaan seorang wanita Khawarij bernama Qatham yang akan ia nikahi dan meminta syarat agar membunuh Khalifah Ali bin Abi Thalib maka ia berubah ideologi dan tega  membunuh Khalifah.


Bagi paham Khawarij, siapa pun yang tidak menjalankan al-Qur'an versi mereka adalah kafir, halal darahnya dan wajib dibunuh. Dengan semboyan "Ina al-Hukmu illa lillaah" (QS. 6/57), tidak ada hukum selain hukum Allah. 


Mereka berhasil membunuh Ali bin Abi Thalib dan berusaha membunuh Muawiyah, Amr bin Ash, dan Abu Musa al-Asy'ari tetapi gagal. Maskipun Ali bin Abi Thalib berteriak ketika ditikam dengan menyebut kalimat.


"Fuztu Wa Rabbi al-Ka'bah", saya beruntung demi Tuhannya Ka'bah. Tetapi umat ini kehilangan Imam besar yang menjadi panutan dan salah satu Khulafaur Rasyidin.


Karakter Khawarij adalah, pertama, gemar memahami Al-Qur'an Hadits secara tekstual. Kedua, berani mengafirkan dan menghalalkan darah sesama umat Islam yang berbeda pemahaman. Ketiga, menghalalkan harta, tahta, dan wanita dari sesama Muslim yang tidak sama interpretasi agamanya.


Keempat, militansi tinggi dan membabi buta. Kelima, setia kawan al-walaa dengan sesama anggota kelompok ideologinya. Keenam, cenderung mudah meninggalkan (al-Barra') kawan seideologinya dan berpecah sampai tega menuduh kawannya sebagai anjing neraka.


Ketujuh, murah hati untuk mengeluarkan harta untuk memperjuangkan ideologinya. Kedelapan, suka menuduh sesat (dhalalah) pemahaman terhadap nash Al-Qur'an Hadits yang diperselisihkan oleh para ahlinya yaitu mujtahid salafus shalih seperti Imam yang empat dan lainnya.


Di masa akhir ini, sikap yang setidaknya saling menafikan sesama mereka yaitu, pertama, Sayid Quthub al-Ikhwani menganggap negara yang tidak seperti konsep Ikhwanul Muslimin sebagai Jahiliyah alias Kafir.


Kedua, An-Nabhani yang keluar dari Ikhwanul Muslimin memandang seluruh negeri muslim sekarang adalah Dar al-Kufr. Ketiga, Juhaiman Al-Wahabi memandang kerajaan Saudi seperti Raja Khalid al-Wahabi sebagai kafir padahal menjunjung bendera yang sama dengan HT dan ISIS juga.


Apakah bisa diasumsikan bahwa pikiran mereka sesempit ini. Partai Islam apapun, berhukum Islam secara rigid pun, mengibarkan bendera lafal apapun, pemimpinnya bernama khalifah sekalipun, ternyata antar-ideologi ini saling menegasikan bahkan sebagian mengkafirkan. Lalu apa yang bisa diharapkan dari sikap seperti itu? Pantas juga kalau mencibir kita yang ber-NKRI. Wallaahu a'lam bisshawab.

 


Penulis adalah Rektor Universitas Sains Al-Qur'an (Unsiq) Wonosobo, Jawa Tengah