Soal Anjay, Ahli Bahasa: Perundungan Berhenti karena Edukasi
NU Online · Senin, 31 Agustus 2020 | 16:15 WIB
Muhammad Syakir NF
Penulis
Jakarta, NU Online
Kata 'anjay' menjadi pembicaraan publik pekan ini. Kata itu disebut berpotensi membuat orang bisa dipidana jika diucapkan, karena mengandung unsur kekerasan dan merendahkan martabat orang lain.
Â
Tak ayal, Komisi Nasional Perlindungan Anak meminta menghentikan penggunaan kata tersebut karena mengandung unsur perundungan di dalamnya.
Â
Ahli Bahasa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Makyun Subuki mengatakan bahwa kata tidak bisa dikurangi atau dihentikan penggunaannya.Â
Â
"Perundungan itu berkurang dengan edukasi. Kalau cuma makian biasa, itu manusiawi. Seluruh kebudayaan juga punya kata buat memaki. Ngapain repot-repot dikurangi," katanya kepada NU Online pada Senin (31/8).
Â
Makyun membenarkan penjelasan Komnas Perlindungan Anak bahwa kata 'anjay' memang bisa bermakna positif karena menjadi sinonim kognitif atau sinonim proposisional dari keren.
Â
Sebaliknya, kata itu juga bisa mengandung hal negatif seperti makian karena menjadi sinonim kognitif atau sinonim proposisional dari bentuk makian lain, misalnya anjing atau bangsat.
Â
"Masalahnya, ini kan slang. Nggak usah disuruh untuk dihentikan aja paling nanti berhenti sendiri. Wong cuma slang," tegas Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI) tersebut.
Â
Secara fonologis, kata 'anjay' ini mirip anjing, memungkinkan nilai rasanya lebih banyak negatif. Karenanya, Komnas Perlindungan Anak menganjurkan agar kata tersebut tidak lagi digunakan.
Â
"Padahal, kata anjing juga bisa dipakai buat memuji atau menunjukkan kedekatan. Kata anjing itu negatif semata-mata karena kita orang Islam, dan binatang itu dianggap najis," jelas Makyun.
Â
Jika hanya soal negativitas, tulisan 'BGSD' atau 'BGST' di media sosial juga harus dihentikan. Sebab, katanya, dua tulisan itu merupakan singkatan bangsat atau bangsad. "Ini jelas-jelas makian. Mereka cuek aja tuh," katanya.
Â
Persoalan pidana tidak, Makyun menegaskan bahwa penggunaan kata itu tergantung konteks pemakaiannya. "Pakai idiom sandal jepit aja bisa dipidana kalau konteksnya buat makian," pungkas akademisi alumnus Pondok Pesantren Ash-Shiddiqiyah Jakarta itu.
Â
Pewarta: Syakir NF
Editor: Kendi Setiawan
Terpopuler
1
Rais Aam PBNU dan Sejumlah Kiai Terima Penghargaan dari Presiden Prabowo
2
DPR Ketok Palu, BP Haji Kini Sah Jadi Kementerian
3
Penerapan Sumpah dan Bukti di Pengadilan Islam: Studi Qasamah dalam Kasus Pembunuhan
4
Wajib Selektif! Ini Tips Islam Memilih Calon Pasangan Hidup yang Tepat dan Berkah
5
DPR-Pemerintah Sepakati RUU Haji dan Umrah Dibawa ke Paripurna untuk Disahkan
6
Gus Faiz Sampaikan Cara Rayakan Bulan Lahir Nabi Muhammad
Terkini
Lihat Semua