Nasional

Ketimpangan Ekonomi Melebar, Rakyat Makin Terpinggirkan

NU Online  ·  Rabu, 27 Agustus 2025 | 18:01 WIB

Ketimpangan Ekonomi Melebar, Rakyat Makin Terpinggirkan

Ilustrasi masyarakat ekonomi bawah. (Foto: NU Online/Suwitno)

Jakarta, NU Online 

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid menilai perjalanan kemerdekaan Indonesia masih jauh dari cita-cita awal. Setelah hampir delapan dekade merdeka, ia menegaskan masih banyak kelompok yang tersisih, terutama perempuan, buruh, dan masyarakat miskin.


"Kalau ditanya apakah setelah 80 tahun merdeka perempuan sudah benar-benar merdeka? Rasanya masih jauh. Representasi, partisipasi, dan kepemimpinan perempuan tetap rendah. Bahkan, banyak politisi konservatif memakai dalih teologis untuk menempatkan perempuan di ranah domestik, seolah-olah perempuan tidak bisa memimpin," ujar Usman dalam diskusi DPR, Demokrasi, dan Perempuan: Merdeka untuk Siapa? melalui akun Instagram RumahKitab, Rabu (27/8/2025).


Menurutnya, hal ini ironis mengingat sejarah Indonesia justru sarat dengan peran perempuan, mulai dari gerakan Kartini, Kongres Pemuda, hingga keterlibatan tokoh-tokoh perempuan dalam perumusan konstitusi dan Konferensi Asia Afrika.


"Sayangnya, setelah itu peran perempuan tenggelam. Mereka dipandang sebelah mata, bahkan pernah diberangus di tahun 1960-an," tambahnya.


Usman juga mengkritik sikap Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang dinilai tidak peka terhadap penderitaan rakyat.


"Ketika rakyat kesulitan, DPR justru mengusulkan kenaikan tunjangan. Apa sih kurangnya gaji mereka? Di tengah harga beras melambung, daya beli menurun, mereka malah menambah fasilitas. Itu memperlihatkan betapa kecilnya kepekaan anggota dewan," ujarnya.


Ia menambahkan, Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga pun tak kunjung disahkan. Padahal buruh domestik, mayoritas perempuan, sangat rentan dieksploitasi. 


"Sering kali pejabat yang harusnya membela mereka malah justru menyalahkan korban. Pernah ada Ketua Satgas TKI yang menyebut perempuan Indonesia wajar diperlakukan buruk di luar negeri karena nakal. Itu logika pelaku, bukan pembela korban," tegas Usman.


Lebih jauh, Usman menyoroti ketidakadilan ekonomi. Ia mengisahkan pengalamannya di Solo, ketika melihat seorang pemulung mengambil makanan bekas dari tempat sampah untuk dicuci dan dimasak ulang.


"Bayangkan, setelah 80 tahun merdeka, rakyat masih makan dari sisa sampah. Sementara akses kekayaan negara dikuasai segelintir orang. Sekitar 165–170 juta orang hidup di bawah garis kemiskinan," ucapnya.


Ia memaparkan, 98 persen masyarakat hanya punya rekening maksimal Rp100 juta, sementara sisanya menyimpan lebih dari Rp5 miliar.


"Ironisnya, yang sering diblokir rekeningnya justru masyarakat kecil. Ini menunjukkan jurang ketimpangan yang semakin melebar," katanya.


Usman juga menyinggung kebijakan fiskal yang dinilai menambah beban masyarakat. "Harga naik, pajak bumi naik, daya beli turun. Tapi pengemplang pajak besar-besaran dibiarkan. Pemerintah seolah panik, lalu menekan yang lemah. Ada rekening kecil yang diblokir tanpa pengadilan, sementara konglomerat tak tersentuh," jelasnya.


Menurutnya, jika kebijakan pajak dibuat adil, seharusnya justru masyarakat mendapat keringanan. "Di negara lain pajak buku dihapuskan agar literasi meningkat. Di sini malah semua serba naik," tambahnya.


Demokrasi Melemah, Fasisme Menguat

Kondisi ini, menurut Usman, bukan hanya terjadi di Indonesia, melainkan juga menjadi tren global. Ia menyinggung fenomena Donald Trump di Amerika, Narendra Modi di India, hingga kasus Myanmar.


"Trump mengutamakan kulit putih dan Kristen, Modi menempatkan Hindu sebagai identitas asli India, sementara Muslim apalagi perempuan Muslim jadi sasaran persekusi. Di Myanmar, Buddhisme ekstrim menindas Muslim. Itu gejala fasisme global, arus balik terhadap demokrasi dan kesetaraan,” paparnya.


Usman menegaskan, semua masalah ini harus menjadi peringatan bagi bangsa. "Kemerdekaan sejati bagi perempuan, kelompok rentan, dan masyarakat miskin masih jauh. Tapi kita tidak boleh diam. Kita harus bersuara, mengambil peran, paling tidak menahan laju kemunduran politik di Indonesia," tegasnya.


Ia mengutip filsuf Amerika Richard Rorty yang menyebut ukuran moralitas manusia bukan pada filsafat atau teologi, melainkan pada kepekaan terhadap penderitaan orang lain.


"Pertanyaannya, apakah DPR kita hari ini masih punya kepekaan itu?" pungkas Usman.


Di forum yang sama, Ketua Perempuan Mahardhika, Mutiara Ika Pratiwi menambahkan bahwa persoalan ketimpangan erat kaitannya dengan sistem politik yang cenderung oligarkis dan menyingkirkan rakyat, termasuk perempuan.


"Ketika kita bicara soal perjuangan pembebasan perempuan ini sebenarnya tidak hanya representasi, tapi juga harus substantif. Artinya, tidak semua pemimpin perempuan itu bisa dipastikan membawa suara perempuan. Salah satunya seperti Sri Mulyani. Menteri Keuangan itu, kalau saya lihat, sering menyampaikan statemen-statemen yang arogan," kata Ika.


Menurutnya, Indonesia saat ini berada dalam sistem politik yang oligarkis sehingga cita-cita reformasi justru gagal diwujudkan.


"Kita berada dalam sistem politik yang oligarki. Saya senang sekali dengan munculnya pertanyaan: apakah sistem politik di Indonesia ini penyebab selalu gagalnya cita-cita reformasi? Saya setuju, karena sistem politik yang ada sekarang adalah sistem politik yang menyingkirkan rakyat, termasuk perempuan," ujarnya.


Ika menekankan bahwa salah satu indikator paling mencolok dari sistem politik yang menyingkirkan rakyat adalah penguatan militer dalam ruang sipil.


"Salah satu indikatornya bisa kita lihat dari perluasan dan penguatan struktur militer. Ini sangat masif, dan saya pikir menjadi salah satu prioritas Presiden Prabowo sejak awal pelantikannya pada Oktober 2024. Baru-baru ini menjelang kemerdekaan, kita lihat ada penambahan Kodam dan batalion di beberapa daerah. Bahkan militer menggantikan peran petani. Ini ancaman serius bagi demokrasi kita," tegasnya.