Nasional

Runtuhnya 5 Pilar Perkawinan karena Kekerasan Seksual

Ahad, 29 Agustus 2021 | 00:00 WIB

Jakarta, NU Online
Dalam konsep keluarga sakinah terdapat lima pilar perkawinan, yang kapan saja bisa runtuh akibat adanya kekerasan seksual dalam rumah tangga. Kelimanya adalah mitsaqan ghalida (ikatan janji kokoh), zawaj (kesalingan), mu’asyarah bil ma’ruf (perlakuan baik pada pasangan), masyawarah (diskusi), dan taradhin (saling meridhai).

 

Hal itu disampaikan Nya Hj Badriyah Fayumi dalam Seminar dan Lokakarya bertajuk Penghapusaan Kekerasan Seksual dalam Perspektif Keluarga Nahdlatul Ulama. Acara diadakan bersama Lembaga Kemaslahatan Keluarga (LKK) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (NU) secara daring, Sabtu (28/8/2021).

 

"Semua kekerasan seksual tidak bisa dilepaskan dalam keluarga. Jadi, ketika kita ngomong kekerasan seksual dalam keluarga jangan berpikir hanya sebatas marital rape (perkosaan perkawinan). Kalau ditariknya ke situ akan terus memancing penolakan," kata Wakil Ketua LKK PBNU itu.

 

Selama ini, pasal tentang perkosaan dalam perkawinan (marital rape) oleh sebagian kalangan yang menentang bukanlah suatu tindak pidana. Padahal KS (rudapaksa), dijelaskan Ny Badriyah, berdampak sangat fatal bagi keharmonisan rumah tangga. Misalnya, ketika salah satu pasangan suami-istri melakukan kekerasan seksual kepada pihak lain, secara otomatis pilar-pilar dan prinsip dalam perkawinan akan rusak.

 

"Artinya, kelima pilar perkawinan ini bisa runtuh ketika salah satu saja dari anggota keluarga melakukan kekerasan seksual," jelas Pengasuh Pondok Pesantren Mahasina Kota Bekasi ini.

 

Dituturkan, secara filosifis KS merupakan pelanggaran serius terhadap Ketuhanan yang Maha Esa dan Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Karena sejatinya semangat pembahasan RUU PKS adalah menghadirkan hak penuh bagi seluruh masyarakat, khususnya perempuan. Rakyat Indonesia harus mendapatkan perlindungan dari ancaman pelaku seksual. Sehingga ketika ada narasi bahwa Rancangan Undang-Undang Pencegahan Kekerasan Seksual (RUU PKS) bertentangan dengan Pancasila, dapat dipastikan anggapan tersebut salah.

 

"Jadi, perlu kita bangun narasi, justru kalau kita tidak punya RUU ini artinya kita masih kurang Pancasilais. Masa ada korban kekerasan seksual yang bergelimpangan dibiarkan," tutur Wakil Sekrertaris Jenderal MUI Pusat itu.

 

Selanjutnya, ia menyampaikan bahwa kekerasan seksual dalam perspektif keluarga maslahah merupakan tindakan yang tidak sesuai dengan ajaran-ajaran pokok Aswaja An-Nahdliyah, yakni tawassuth (moderat), tawazun (seimbang), i’tidal (adil), dan tasamuh (lemah lembut). Sebab, bagaimana pun tindakan itu cenderung ekstrem karena menghilangkan keseimbangan relasi dan hak untuk sama-sama diperlakukan baik. 

 

"Dari sini, jelas nilai-nilai NU kita itu sudah sangat bertentangan dengan kekerasan seksual," ujar Ny Badriyah.

 

Ketua PBNU Eman Suryaman mengungkapkan sikap NU sebagai ormas Islam terbesar di Indonesia, bahkan seluruh dunia memperhatikan betul soal kedudukan perempuan. Hal itu tampak dari hasil Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama di Lombok pada 1997 silam, tentang kedudukan perempuan dalam Islam. Keputusan tersebut direkam dalam dokumen Makanah al-Mar’ah fi al-Islam (kedudukan perempuan dalam Islam).

 

"Hal ini menunjukkan bahwa NU sangat memberikan ruang pada perempuan untuk berkiprah di berbagai bidang," ungkapnya.

 

Hingga pada Munas NU pada 2019 di Citangkolo, Kota Banjar, lanjutnya, para alim ulama bersepakat untuk segera mengesahkan RUU PKS agar tercipta bentuk payung hukum yang lebih memperhatikan kebutuhan korban pasca mengalami pelecehan seksual. Karena pada dasarnya kekerasan seksual tidak hanya membuat korban terluka secara fisik, tetapi juga psikis. 

 

"(Munas) itu menghasilkan kesepakatan RUU PKS segera disahkan untuk melindungi para korban kekerasan seksual," imbuhnya.

 

Kontributor: Syifa Arrahmah
Editor: Kendi Setiawan