Nasional

Kekerasan Seksual Bertentangan dengan Tauhid dan Risalah Kenabian

Sab, 28 Agustus 2021 | 23:00 WIB

Jakarta, NU Online
Wakil Ketua Lembaga Kemaslahatan Keluarga (LKK) PBNU, Nyai Hj Badriyah Fayumi menyatakan kekerasan seksual bertentangan dengan tauhid, sementara tauhid adalah inti ajaran Islam dan akhlak mulia sebagai misi risalah Nabi saw. Secara filosofis maupun teologis kekerasan seksual juga berlawanan dengan status manusia sebagai khalifah fil ardl.

 

"Mengapa bertentangan dengan tauhid, karena pelaku kekerasan seksual itu menunjukkan ketundukan pelaku kepada libido seksnya," ujar Ny Badriyah dalam Seminar dan Lokakarya daring Penghapusan Kekerasan Seksual Perspektif Keluarga Nahdlatul Ulama, Sabtu (28/8/2021).

 

Dia menilai, kekerasan seksual menunjukkan hilangnya akal budi pelaku yang menjadi inti kemanuasian. Hal tersebut berdampak pada hilangnya kemaslahatan korban di berbagai sendi kehidupan yang menjadi Maqashidus Syariah, khusunya hifdzun nafs (menjaga jiwa), hifdzul irdh (menjaga kehormatan), dan hifdzun nasl (menjaga kehormatan).

 

Menurutnya, terlalu mangada-ada kalau kemudian ada ketakutan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU-PKS) ini mengkriminalisasi hal-hal yang tidak kriminal. "Kita jaga bareng-bareng-lah, yang tidak kriminal jangan dikriminalisasi melalui ini," papar salah satu penggagas Jaringan Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) itu.

 

Islam, kata Ny Badriah, mempunyai hukum yang cukup kuat sebagai referensi teologis dan yuridik. Karenanya, ia sangat mendukung pengesahan RUU-PKS untuk menjadi UU. Pengesahan ini bagian dari mandat negara untuk melakukan perlindungan mewujudkan kemanusiaan yang adil dan beradab. Sebab, kekerasan seksual dalam bentuk apapun diharamkan oleh Islam, karena menimbulkan kemudaratan baik dilakukan di dalam maupun di luar pernikahan. Sehingga, tidak relevan jika kemudian RUU-PKS bisa mengganggu dan merusak harmoni keluarga.

 

"Justru ketika kekerasan seksual itu terjadi di dalam keluarga, sesungguhnya telah terjadi manipulasi dan pengebirian terhadap substansi ajaran Islam (maqashidus syariah) dan tujuan perkawinan itu sendiri," kata Mufasir lulus Al Azhar Kairo, Mesir itu.

 

Kekerasan seksual merupakan salah satu bentuk pelanggaran hak-hak asasi yang dimiliki perempuan sebagai seorang manusia. Berbagai bentuk kekerasan kepada perempuan terus berkembang dalam kehidupan masyarakat, dari mulai kekerasan luring yang memerlukan kontak fisik hingga kekerasan daring melalui media virtual.

 

Penegakkan hak asasi perempuan tentulah harus dilaksanakan sesuai dengan amanat Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia yang tidak membolehkan adanya diskriminasi pada suatu kaum tertentu. Hal inilah yang kemudian membuat masyarakat mendorong pemerintah untuk menetapkan suatu Undang-Undang yang dapat berlaku secara luas dalam rangka menghapuskan berbagai macam kekerasan.

 

Oleh sebab itu, ditegaskan, urgensi pengesahan RUU-PKS menjadi salah satu instrumen kesetaraan gender dan kehakikian dalam keluarga maslahah yang mengandung prinsip muasyarah bil ma'ruf. "Karena prinsip itu tidak mungkin terjadi kalau ada kekerasan seksual di dalamnya, dan dalam fiqih Islam kita sudah mengenalnya dengan sangat baik, larangan mempergauli istri pada saat haid, nifas, dan berbagai hubungan seksual yang membawa mudarat lainnya, itu adalah haram," tegas istri dari KH Abu Bakar Rahziz itu.

 

Ia menjelaskan, konsep mu’asyarah bil ma’ruf dalam rumah tangga di masyarakat, seringkali dimaknai sebagai pergaulan baik yang harus dilakukan suami istri bahkan lebih khususnya lagi hanya dipahami sebagai perintah Allah kepada para suami untuk mempergauli istrinya dengan baik tidak menyakitinya baik dengan ucapan maupun perbuatan. Oleh karena itu, para ulama menetapkan hukum melakukan itu merupakan kewajiban yang harus dilakukan oleh para suami agar mendapatkan kebaikan dalam rumah tangga.

 

Ia menambahkan, jika dipahami secara komperhensif, mu’asyarah bil ma’ruf pun bisa seperti yang digambarkan Rasulullah saw bahwa pernikahan merupakan sarana untuk mengatur hubungan seksual secara legal.  Karena itu keduanya memiliki kepentingan dan tujuan yang sama, tidak mengandung unsur subordinal dan memarjinalisasikan salah satu dari keduanya. 

 

"Dan Islam hanya membenarkan hubungan seksual yang halal, yaitu satu-satunya melalui pernikahan heteroseksual," imbuh perempuan kelahiran Pati, 5 Agustus 1971.

 

Kontributor: Syifa Arrahmah
Editor: Kendi Setiawan