Nasional

Perusakan Masjid Ahmadiyah Bukti Perlunya Dialog Antargolongan 

Sab, 11 September 2021 | 08:30 WIB

Perusakan Masjid Ahmadiyah Bukti Perlunya Dialog Antargolongan 

Wakil Katib Syuriyah Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) DKI Jakarta, KH Taufik Damas saat mengisi acara di TVNU.

Jakarta, NU Online

Wakil Katib Syuriyah Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) DKI Jakarta, KH Taufik Damas berpendapat bahwa membuka dialog dapat menjadi salah satu jalan untuk lebih mengenal pemahaman beragama Ahmadiyah. Adanya dialog diharapkan dapat mendorong kepercayaan, menemukan titik temu, serta membuat pihak lain tidak bertindak anarkis dan lebih bertoleran.

 

"Bicara soal Ahmadiyah ini agak rumit. Istilah yang tersebar (di masyarakat) adalah yang menabrak keyakinan umat Islam. Contoh, Mirza Ghulam Ahmad dianggap sebagai nabi. Yang begini agak sulit dipahami (pihak lain), jika tidak Ahmadiyah sendiri yang menjelaskan," ujarnya saat mengisi kajian Perusakan Masjid Ahmadiyah: Tantangan Kerukunan dan Problem Penegakan Hukum, Kamis (9/9/2021). 

 

Sejalan dengan pendapat Kiai Taufik, Sekretaris PP Muhammadiyah Prof Abdul Mu'ti mengimbuhkan bahwa membuka dialog atau memperbanyak perjumpaan di ruang publik dapat menciptakan kerukunan yang otentik. 

 

"Seperti yang disampaikan Gus Taufik, bagaimana masyarakat memahami keyakinan Ahmadiyah secara keliru itu karena memang kurangnya perjumpaan. Karena, sering kali kita melihat orang lain dari luar dan tidak ada keberanian bertanya dari dalam," kata Abdul Mu'ti.

 

Pada videonya yang diunggah beberapa waktu lalu terkait perusakan masjid di Sintang, Sekertaris Jendral (Sekjen) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Helmy Faishal Zaini turut menyampaikan hal yang sama. 

 

Ia mengatakan, membuka dialog ini senantiasa dapat membuat masyarakat agar lebih merasa hidup dalam satu ikatan keluarga dan kebangsaan antar umat beragama, mazhab dan keyakinan. Ia menjelaskan, membuka dialog yang dimaksud yakni tidak melulu dalam pengertian formal, tapi bisa dilakukan melalui kegiatan kemasyarakatan. 

 

"Harus diselesaikan dengan secara terus menerus, secara intensif membangun dialog. Tidak harus dalam pengertian formal, tapi bisa dengan saat 17 Agustusan, ada lomba balap karung antarkelompok," paparnya. 

 

Peristiwa perusakan masjid di Sintang adalah tidak semestinya terjadi, mengingat tindakan tersebut bertentangan dengan nilai agama, terlebih Indonesia adlah negara hukum. Ia mengajak kepada segenap pihak untuk menghormati undang-undang yang berlaku. 

 

"Indonesia adalah negara hukum, mari kita selesaikan dengan musyawarah untuk mufakat. Tidak kemudian main hakim sendiri. Kita bukanlah negara barbar," jelasnya.

 

Diberitakan sebelumnya, perusakan Masjid Miftahul Huda milik Jemaah Ahmadiyah oleh sekitar 200 orang di Sintang terjadi usai salat Jumat pada 3 September 2021.

 

Kontributor: Nuriel Shiami Indiraphasa
Editor: Kendi Setiawan