Nasional

Pemerintah Harus Pantau Sekolah Rumah

Jum, 29 November 2019 | 12:15 WIB

Pemerintah Harus Pantau Sekolah Rumah

Penyampaian hasil riset berjudul Radikalisme dan Home Schooling: Menakar Ketahanan dan Kerentanan di Hotel San Pacific, Jalan MH Thamrin, Jakarta, Kamis (29/11) (Foto: NU Online/M Syakir NF)

Jakarta, NU Online
Sekolah rumah (home schooling) menjadi salah satu alternatif pendidikan masyarakat Indonesia. Namun dalam pelaksanaannya, keberadaan sekolah tersebut perlu peninjauan lebih lanjut oleh pemerintah. Pasalnya, Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta tidak mendapatkan data sekolah tersebut di dinas terkait.
 
Hal tersebut diungkapkan oleh Arif Subhan, koordinator penelitian, saat penyampaian hasil riset berjudul Radikalisme dan Homeschooling: Menakar Ketahanan dan Kerentanan di Hotel San Pacific, Jalan MH Thamrin, Jakarta, Kamis (29/11).
 
Dalam kesempatan tersebut, ia juga meminta agar pemerintah dapat meninjau dan memantau keberadaan sekolah tersebut sehingga mutunya dapat terjamin. "Kita ingin bagian dari pendidikan tapi tetap harus dimonitor dan dilihat mutunya oleh negara," ujarnya.
 
Penelitian yang dilakukan di kota Jakarta, Depok, Tangerang Selatan, Bandung, Solo, Makassar, dan Padang itu menemukan beberapa yang mengarah pada salafi eksklusif yang cenderung mengalami pengucilan diri lebih tinggi. Pasalnya, mereka enggan menjalin komunikasi dengan komunitas lainnya.
 
"Pada home schooling Islamic-based salafi-eksklusif kerentanan bagi siswa untuk mengalami 'spiral' pengucilan diri lebih besar karena saluran untuk memiliki engagement dengan komunitas rendah," katanya.
 
Penelitian ini membagi pada dua sekolah rumah, yakni sekolah rumah berbasis nonagama dan sekolah rumah berbasis agama. Pada jenis kedua ini, terdapat tiga bagian, yakni sekolah rumah berbasis agama Islam salafi inklusif, sekolah rumah berbasis Islam salafi eksklusif, dan sekolah rumah berbasis non-Islam.
 
Arif menyampaikan bahwa penelitian ini dilatarbelakangi oleh adanya kasus Bom Surabaya pada pertengahan 2018 yang dilakukan oleh semua anggota keluarga, kedua orang tua dan anak-anaknya. Sebagaimana diberitakan media massa, katanya, pelaku pengeboman tersebut adalah orang tua yang diduga tidak mengirimkan anaknya ke sekolah formal dan mendidik anaknya sendiri di rumah.
 
"Ini memberikan kesadaran sekaligus mengungkapkan fakta bahwa home schooling, layanan pendidikan alternatif yang sedang tumbuh di Indonesia, memiliki potensi kerentanan terhadap paparan pandangan keagamaan radikal," jelasnya.
 
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 129/2014 tentang Sekolah Rumah membaginya menjadi tiga jenis, yakni sekolah rumah tunggal yang diasuh sendiri oleh orang tuanya, sekolah rumah majemuk yang saling membantu antarorang tua dalam jaringan sekolah rumahnya, dan sekolah rumah komunitas yang dibentuk oleh pelaku sekolah rumah dengan kurikulum dan pengajar yang tertata.
 
Kepala Seksi Pendidikan Kesetaraan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Subi Sudarto sendiri mengaku sukar untuk mendata keberadaan sekolah rumah yang bersifat tunggal.
 
Pewarta: Syakir NF
Editor: Kendi Setiawan