Nasional

Menyempitnya Ruang Demokrasi Sebab Teror dan Intimidasi

Ahad, 6 Juni 2021 | 12:00 WIB

Menyempitnya Ruang Demokrasi Sebab Teror dan Intimidasi

Serangan-serangan yang dialami para aktivis tersebut berupa peretasan akun WhatsApp dan Telegram, panggilan berulang-ulang dari nomor tidak dikenal, hingga pembajakan akun untuk pemesanan makanan dan layanan transportasi.

Jakarta, NU Online
Babak baru dari fenomena menurunnya kualitas demokrasi di Indonesia yang beberapa waktu lalu sangat nampak adalah serangan digital yang dihadapi oleh sejumlah aktivis anti-korupsi yang secara lantang menolak Tes Wawasan Kebangsaan. Serangan-serangan yang dialami para aktivis tersebut berupa peretasan akun WhatsApp dan Telegram, panggilan berulang-ulang dari nomor tidak dikenal, hingga pembajakan akun untuk pemesanan makanan dan layanan transportasi.
 

Fenomena serangan digital ini diangkat dalam diskusi bertema Penyempitan Ruang Kebebasan Internet: Peretasan, Pemblokiran, dan Penutupan Internet di Era Jokowi yang digelar oleh kerja sama Public Virtue Research Institute (PVRI) dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Ahad (6/6).

 

Diskusi ini menghadirkan pembicara Anita Wahid (Public Virtue Research Institute), Sujanarko (Direktur Pembinaan Jaringan Kerja Antar-Komisi dan Instansi [PJKAKI] KPK), Edho Sinaga (Aliansi Jurnalis Independen), Donny BU (Tenaga Ahli Kominfo dan founder ICT Watch), dan Stanislaus Axel Paskalis (DEMA Fisipol UGM).

 
Dalam diskusi tersebut, Anita Wahid membenarkan adanya upaya sistematis untuk melakukan penyempitan ruang publik terutama di platform digital yang selama ini menjadi ruang berekspresi dan menyatakan pendapat. Salah satunya seperti pembobolan akun. Bahkan tidak cukup di situ kata Anita, akun yang telah diretas digunakan untuk menyebarkan pesan tertentu yang membuat seolah-olah pemilik akun melakukan melanggar hukum seperti menyebarkan ajakan pengeboman, atau ajakan kriminal lain.

 
Nggak cuma masalah akun kita diambil, namun juga bagaimana pesan-pesan tertentu disusupkan pada gawai kita untuk membuat seolah-olah kita memiliki niatan untuk melakukan tindak pidana. Nah ini yang berbahaya sekali. Seperti dua minggu lalu saat teman-teman ICW terlempar dari akun-akunnya,” kata dia.

 
Anita menegaskan bahwa fenomena seperti ini membuat masyarakat menjadi khawatir untuk menyatakan pendapatnya secara luas melalui ruang-ruang publik dalam platform digital yang tersedia saat ini.

 

“Karena semakin kita digituin (mendapat serangan), maka tentu saja tekanan bagi orang untuk bersuara menjadi sangat berkurang,” ujarnya sembari menambahkan bagaimana UU ITE terutama pasal pencemaran nama baik digunakan untuk melakukan pembungkaman pada suara kritis.

 
Selain serangan digital, penurunan ruang demokrasi digital juga dilakukan dengan menggunakan propaganda terkomputasi (computational propaganda) baik melalui bentuk mengerahkan bots atau akun anonim, buzzers, influencers, microtargeting, upaya memanipulasi media, dan penyebaran hoaks.

 
Anita mencontohkan salah satunya yakni cara kerja bots dalam memanipulasi ruang suara publik dan sekaligus mempengaruhi kebijakan publik. Walaupun nampak sepele, namun dalam proses pembuatan kebijakan, akun anonim atau bots sangat berbahaya. Akun bots ini dengan jumlah yang besar memiliki implikasi besar pula dalam proses pengambilan kebijakan, karena sering dijadikan justifikasi (pembenaran) dalam mengambil kebijakan publik.

 
Ia mencontohkan pada saat publik melakukan penolakan terhadap sebuah kebijakan yang sedang diproses baik oleh pemerintah atau DPR biasanya, akun anonim atau bots akan digunakan untuk mengalahkan narasi yang dibuat oleh publik ini. Selanjutnya, ‘kemenangan’ bots atas suara publik dijadikan justifikasi atau pembenaran terhadap kebijakan tersebut.

 
“Maka bots akan dipergunakan untuk mengangkat narasi seakan-akan ada persetujuan dari mayoritas masyarakat terhadap kebijakan tersebut. Jadi volumenya dibesarkan menggunakan bots. Lalu mereka yang mendukung kebijakan ini bilang ‘lihat nih pendukungnya banyak kok,” kata Anita.

 
Anita melanjutkan, ada dua cara yang kerap digunakan untuk melakukan serangan. Pertama dengan menggunakan kelompok yang mahir dalam serangan digital, termasuk menggunakan aplikasi mutakhir yang canggih seperti aplikasi yang bernama Pegasus. Cara kedua dengan menunggangi polarisasi yang sudah kadung ada di dalam masyarakat Indonesia.

 

Cara kedua ini menurut dia, nampak sekali digunakan selama perdebatan kebijakan publik terakhir seperti kasus Omnibus Law, Revisi UU KPK hingga TWK. “Yang paling besar digunakan di dalam ranah digital adalah pemanfaatan polarisasi, supaya publik yang terjebak dalam polarisasi ikut mendorong amplifikasi narasi dan serangan,” jelas Anita.

 


Pewarta: Ahmad Rozali
Editor: Muhammad Faizin