Nasional

Kalau Bukan Ulama, Siapa Lagi?

Sen, 31 Mei 2021 | 15:30 WIB


Jakarta, NU Online

Pada suatu siang di pendopo ndalem Gus Muwafiq di Yogyakarta, NU Online pernah bertanya kepada beliau “Mengapa para ulama kerap kali hanya disangkutpautkan atau diminta kehadirannya dalam urusan terorisme dan radikalisme saja kiai? Namun sepertinya jarang diajak rembug masalah lain seperti pendidikan, perekonomian dan urusan lain yang penting di bangsa ini?”.

Lalu Gus Muwafiq menjawab dengan santai dan sederhana. “Kalau bukan para Ulama yang meluruskan pemahaman khilafah, terus siapa lagi yang bisa?” jawab beliau. Sebab kata Gus Muwafiq, selama ini yang digunakan sebagai kebenaran ajaran kekerasan adalah agama, dan yang paling faham urusan agama adalah para ulama.

Jawaban Gus Muwafiq waktu itu juga menjadi keyakinan pimpinan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Direktur Pencegahan BNPT, Ahmad Nurwakhid, dalam sebuah kesempatan bersama para pemuka agama yang tergabung dalam  Lembaga Persahabatan Ormas Islam (LPOI) dan Lembaga Persahabatan Ormas Keagamaan (LPOK) menyatakan hal serupa.

“Kelompok mereka dalam menyebarkan pahamnya selalu membungkus dengan motif agama, maka keberhasilan penanggulangan radikal terorisme yang mengatasnamakan agama ujung tombaknya tentunya ada pada para pemuka agama,” kata ujar Brigjen Pol Ahmad Nurwakhid akhir pekan lalu.

Ia menambahkan bahwa gerakan yang menggunakan motif agama demi kepentingan politiknya ini merupakan wujud dari kegersangan dalam beragama karena tidak mempelajari spiritualisme dalam Islam. “Karena maraknya radikalisme ini merupakan cermin dari krisis spiritualitas,” ujarnya. Ia meminta agar para ulama menyebarluaskan ajaran ilmu Tasawuf yang mengajarkan spiritualisme agama, sehingga seorang muslim dapat mengerti ajaran cinta yang diajarkan dalam Islam.

Spritualitas agama yang diajarkan oleh ulama, lanjut dia, dicerminkan dalam perilaku akhlak yang terpuji, seperti tidak suka mencaci, tidak serta merta mengkafirkan, dan seterusnya. Para ulama yang mengerti tasawuf lanjut dia, mengajarkan kebaikan dengan cara yang baik kepada umatnya.

Memang benar, dalam banyak kesempatan disebutkan bahwa salah satu alasan seseorang melakukan aksi kekerasan atas nama agama berasal dari pemahaman yang salah tentang isi agama tersebut. Namun itu bukan satu-satunya alasan mengapa seseorang melakukan aksi kekerasan. Syafi’i Ma’arif, Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah 1999–2004, dalam buku Ilusi Negara Islam, Ekspansi Gerakan Transnasional di Indonesia (2009), yang menyebut setidaknya ada tiga teori yang menyebabkan adanya gerakan radikal dan tumbuh suburnya gerakan transnasional ekspansif. Pertama, adalah kegagalan umat Islam dalam menghadapi arus modernitas sehingga mereka mencari dalil agama untuk “menghibur diri” dalam sebuah dunia yang dibayangkan belum tercemar. Kedua, adalah dorongan rasa kesetiakawanan terhadap beberapa negara Islam yang mengalami konflik, seperti Afghanistan, Irak, Suriah, Mesir, Kashmir, dan Palestina. Ketiga, dalam lingkup Indonesia, adalah kegagalan negara mewujudkan cita-cita negara yang berupa keadilan sosial dan kesejahteraan yang merata.

Oleh karena itu, jika merujuk pada pendapat Saifuddin (2016) tugas berat untuk menghentikan gerakan radikalisme kekerasan ada pada semua pihak. Selain konsistensi ulama yang harus mencontohkan Islam yang ramah, pemerintah harus berupaya memperbaiki kondisi bangsa dan kinerja pemerintah sehingga lebih mengedepankan kepentingan dan kesejahteraan rakyat, mengingat salah satu faktor penyebab radikalisme dan terorisme adalah faktor politik dan ketidakpuasan terhadap berbagai penyelesaian masalah yang dilakukan oleh pemerintah dan politik global.

Editor: Ahmad Rozali