Opini

Di Balik Aksi Radikal dan Teror

Jum, 7 Mei 2021 | 10:00 WIB

Di Balik Aksi Radikal dan Teror

Ilustrasi terorisme. (Foto: NU Online)

Oleh Yanto Bashri

 

Aksi radikal dan teror yang terjadi pada akhir-akhir lalu memberi isyarat tentang bekerjanya sebuah ideologi. Meski berbeda dengan paham masyarakat umumnya, aksi-aksi yang dilakukan generasi milenial ini memperlihatkan betapa jumlah penerus telah disiapkan untuk jadi ‘calon pengantin’. Doktrinasi diterimanya memperkuat gairah para penerus untuk memperoleh surga yang telah dijanjikan.


Kisah radikalisme agama kini memasuki generasi baru di tengah aktor-aktor radikal dengan nama keren mulai surut karena dipenjara atau telah bertaubat. Ada sejumlah nama yang dapat kita saksikan seperti Noordin M. Top, Imam Samudra, Amrozi Nurhasyim, dan Ali Imron.


Kondisi ini bisa berdampak pada kevakuman jika regenerasi terputus. Kesuksesan mengisi kekosongan generasi memberi prakondisi positif sebagai ancaman serius bagi Pancasila dan UUD 1945 yang berarti memperpanjang pekerjaan rumah pemerintah dan tokoh-tokoh Islam.


Kekaguman terhadap tokoh-tokoh nasional baik masa lalu dan kini tidak ada, sebaliknya yang tumbuh justru kebencian ketika penggiat (influencer) menjalankan aksinya mendekati kaum milenial. Hanya berbekal “silaturahmi” seseorang memperoleh tiket untuk leluasa bertemu secara sporadis dan militan.


Gerakan ini menyasar pada generasi yang memiliki wawasan kenegaraan sempit, terhimpit ekonomi, dan menghadapi problem rumah tangga. Mereka mudah tergoda untuk memasuki jalan pintas setelah mengalami rekayasa yang mengedepankan kemasan ketimbang kandungan mutu.


Lonjakan radikalisme di kalangan pelajar SMA dan Perguruan Tinggi yang memperbanyak daftar anggota baru membuktikan tesis ini.


Kekuatannya tidak bisa dianggap remeh karena gerakannya dilakukan secara senyap (silent operation). Penelitian PPIM (Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (2021) di tiga PTKIN mengonfirmasi bahwa sebanyak 30,16 persen mahasiswa Islam negeri telah terindikasi memiliki sikap dan paham intoleran.


Situasi inilah yang membuat dunia keberislaman kita jadi sesak, tidak sehat, dan tidak otentik. Klaim kebenaran sebagai “penghuni surga” muncul mengoyak syari’at yang diajarkan pada ulama sejak abad ke-8.


Guru Besar University of California, Santa Cruz, Alan Richard (2002) menjelaskan empat ciri untuk memahami gerakan ini baik di Arab maupun Asia. Pertama, terkait pendidikan. Banyak dari kaum muda memperoleh pendidikan yang layak namun tidak merata. Di beberapa bagian lain masih tertinggal. Kedua, krisis otoritas. Di beberapa negara seorang insinyur dapat mengeluarkan fatwa, padahal sebelumnya menjadi prerogatif eksklusif kelompok kecil, elite yang memiliki hak istimewa yang berpendidikan tradisional.


Ketiga, mutu pendidikan masih jauh yang diinginkan. Pendidikannya banyak menekankan pada menghafal daripada penekanan pada pemikiran analitis dan pemecahan masalah. Harapan telah dibesarkan, tetapi keterampilan yang dibutuhkan untuk memenuhi harapan tersebut belum diberikan.  Keempat, angka kelahiran anak tidak dapat dibendung. Kondisi ini membuat negara kewalahan mengatasi angkatan kerja yang tumbuh paling pesat di dunia yang dimulai pada 1990.


Gambaran itu memperjelas siklus mediokritas untuk memenuhi kebutuhan Indonesia dan negara-negara Arab yang ditempatkan sebagai krisis otoritas (crisis of authority). Dalam situasi disorganisasi sosial akibat krisis, dunia umat Islam seolah digambarkan membutuhkan pemimpin baik (good leader) dan pemimpin agung (gread leader) untuk mengabdi, mengurus, dan mencerahkan. Negara dan pemimpinnya selalu diposisikan tidak benar.


Dalam situasi pengharapan pemimpin dengan kriteria tersebut yang tak kunjung tiba, umat Islam dituntut meningkatkan kualitas. Namun pilihannya jatuh pada kemajuan teknologi untuk menginputasi pengetahuan keagamaan. Pembelajaran ini dianggap mampu memenuhi kebutuhan pengetahuan sejuta umat manusia.


Seperti dinyatakan Francis Robinson dalam Crisis of Authority (2009) bahwa paruh kedua abad ke-20 perkembangan umat Islam mengarah pada pragmentasi otoritas dan pertumbuhan interpretasi yang luar biasa liar.  Tidak ada otoritas yang sebenarnya dimiliki umat Islam karena telah diserahkan ideologi transnasional, kepada audio, video, televisi, satelit, dan internet.  

 

Di masa lalu umat Islam mengkritik Barat dan negara-negara maju karena dominasinya yang membelenggu otoritas. Meski kemerdekaan diraih pada 1940-an, tetapi otoritas yang mereka kembangkan semu ketika pendidikan tidak bisa merekonstruksi peradaban-peradaban dan membangkitkan prerogatif eksklusif (exclusive prerogative) untuk ditanamkan pengetahuan tradisional.


Ada sejumlah persoalan mengemuka dari umat Islam, rendahnya pendidikan dan pengetahuan membuat banyak orang Islam lebih memilih ideologi radikal ketimbang ideologi tradisional dan modern. Selain ada paradoks antara preferensi tokoh tradisional dan modern yang mengarahkan mereka pada pemahaman keliru.


Dalam lemahnya sinar pencerahan, disorganisasi sosial, dan ekosistem kreativitas, ruang tumbuh individu untuk memperoleh guru sesungguhnya dipersempit oleh kekuatan teknologi digital dan keharusan bermedsos. Mereka tumbuh dalam suatu kondisi mentalitas tidak mendukung pertumbuhan otoritas, subyek berdaulat untuk berjalan dan menentukan daya pikirnya.


Pemerintah dan tokoh masyarakat dan agama sudah saatnya intensif duduk bersama membahas masa depan anak muda dan agama di Indonesia untuk mencegah aksi-aksi terjadi kembali di masa berikutnya. Mereka perlu diarahkan pada jalan yang tepat untuk menemukan jalan hidup dan paham keagamaan tumbuh fitrah.


Penulis adalah Wakil Sekretaris LP Ma’arif PBNU, penulis buku Dinamika Politik NU Era Presiden Gus Dur (2020)