Opini

Indonesia, Islam, dan Terorisme

Kam, 6 Mei 2021 | 15:01 WIB

Indonesia, Islam, dan Terorisme

Ilustrasi terorisme. (Foto: NU Online)

Oleh Hasin Abdullah

 

Presiden Joko Widodo mungkin saja adalah salah satu kepala negara yang kerap berani melakukan resistensi kepada kelompok radikal-separatis-teroris. Ia berkali-kali menegaskan pentingnya sinergi Polri, TNI, BIN, BNPT, dan institusi lainnya dalam mencegah dan melawan terorisme. Aksinya yang sangat keji dan biadab selalu dianggap sebagai  jihad.


Pelbagai pendekatan telah ia dorong untuk menciptakan ruang kehidupan yang bersih dari praktik terorisme. Karena terorisme bukan masalah baru yang selalu merusak sendi-sendi kehidupan kemanusiaan dan kebangsaan. Alih-alih, presiden pun menuturkan agar aparatur negara dalam menangani terorisme memakai pendekatan hard-power, dan soft-power.


Namun, apakah dua model pendekatan itu mampu melawan aksi terorisme dewasa ini? Pada kenyataannya, masih fifty-fifty karena aksi kekerasan, sweeping, pengeboman, dan aksi lainnya cukup dominan terjadi sampai menelan banyak korban. Di sisi lain, modus pengerasan ideologi transnasional tidak sekedar marak di depan mata, melainkan juga di dunia maya.


Menurut Divisi Humas Polri, Kombes. Pol. Ahmad Ramadan, selama Januari-Maret 2021 ada 94 terduga teroris itu ditangkap oleh Densus 88 Antiteror (tribratanews). Dengan jumlah indikator teroris yang relatif fantastis tentu menunjukkan motif teror begitu kompleks, dan multiwajah. Tak heran, belakangan ini masyarakat kita merasa resah, dan takut.


Mendekati bulan puasa ramadan aksi terorisme terjadi di mana. Pertama, pelaku teror adalah perempuan yang menyerang Mabes Polri [31/03/21]. Kedua, teror berupa aksi bom bunuh diri di Gereja Katedral Makassar [28/03/21]. Pelaku teror itu adalah  afiliasi kelompok-kelompok Islam radikal, baik ISIS, Jamaah Ansharut Daulah (JAD), dan Jamaah Islamiyah (JI).


Dalam konteks ini, teroris di Indonesia sering kali menggunakan baju agama, yaitu Islam. Mereka adalah teroris-teroris handal yang aktif melakukan pelbagai aksi terorisme di kehidupan nyata, dan dunia maya. Hal paling ironis, segelintir kelompok teroris memakai syariat, dan doktrin jihad sebagai dalil illegalitas dalam menghalalkan kekerasan, dan pengeboman.


Terorisme (Tak) Beragama

 

Semua agama melarang aksi terorisme dalam bentuk apapun. Jika kesaksian para teroris meyakini tindakannya dibenarkan dalam salah satu agama apapun. Itu hanya dapat merusak fitrah dan praktek keberagamaan kita dalam sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Terorisme berjubah agama sebenarnya untuk mencari dalih, dan pembenaran kaum tertentu.


Pepatah agung Sayyidina Ali bin Abi Thalib as menuturkan., “an-nasu ṣinfani, imma akhun laka fi ad-din aw naẓirun laka fi al-khalqi (manusia terdiri dari dua jenis, baik saudaramu dalam satu iman atau sederajat (saudaramu) dalam kemanusiaan).” Dengan kata lain, “mereka yang bukan saudaramu dalam satu iman adalah saudaramu dalam kemanusiaan.”


Oleh karena itu, terorisme merupakan kejahatan kemanusiaan (al-jinayah al-insaniyah/human crimes) yang bertentangan dengan norma agama. Di sisi lain, norma agama itu sendiri adalah sumber moral yang menjadikan kita sebagai manusia yang penuh rendah hati, manusiawi, dan baik. Sehingga terorisme bukan karena faktor simbolik, tapi faktor sosial politik.


Argumen konstruktif tersebut berdasarkan pendapat ulama dan pakar hukum Islam internasional, Mohammad Hashim Kamali dalam buku (Membumikan Syariah: Pergulatan Mengaktualkan Islam; 2013) menyampaikan, aksi terorisme yang bersentuhan dengan fenomena bom bunuh diri adalah bukan fenomena teologis, tapi hal itu fenomena sosio-politis.


Tentu, fenomena terorisme bom bunuh diri karena atas dasar faktor-faktor keinginan kelompok tertentu yang menghendaki adanya perubahan drastis meliputi aksi keji. Inilah fenomena sosio-politis yang seharusnya tidak boleh dikait-kaitkan dengan semua agama, khususnya Islam. Mereka adalah kelompok teroris yang hanya ingin merusak citra agama.


Menurut ulama NU Kiai Hasyim Muzadi (2002) mengatakan, pada dasarnya peledakan bom yang beruntun di Indonesia bukan bagian dari ajaran agama. Tapi, hal itu merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan. Sehingga perbuatannya tidak boleh dibelokkan pada komunitas agama mana pun. Terutama, ajaran Islam sebagai agama yang rahmatan lil ‘alamin.


Sinergi Institusi

 

Negara dalam melawan terorisme di Indonesia telah memakai pelbagai macam pendekatan, baik pendekatan preventif, represif, persuasif, dan edukatif. Hal itu dapat dioptimalisasi oleh partisipasi TNI, Polri, BIN, BNPT, dan Kemeterian Agama. Selain itu, melibatkan ormas-ormas Islam moderat di negara ini. Seperti halnya, NU, Muhammadiyah, Persis, dan lain-lain.


Indonesia memerlukan peran sinergis dalam konteks melawan dan mencegah radikalisme-terorisme. Tampaknya, pendekatan persuasif, dan edukatif menjadi indikator keberhasilan semua institusi negara untuk meminimalisir potensi teror. Seseorang untuk menjadi teroris memang awal mulanya selain karena faktor ekonomi, juga faktor terpapar oleh ideologi transnasional.


Ditambah lagi, Presiden Joko Widodo melibatkan TNI dalam menangani ancaman terorisme yang tidak hanya dari luar negara. Tetapi, pelibatan tersebut ketika potensi teror muncul di internal. Kebijakan politik inilah yang sesungguhnya membuat bangsa Indonesia berpikir optimis bahwa tidak akan ada lagi kekerasan, kejahatan kemanusiaan, dan pengeboman.


Alhasil, dukungan dan peran institusi negara dan ormas-ormas di Indonesia menjadi keyakinan semua elemen dalam pemerintahan guna mewujudkan negara yang tertib, dan aman dari segala ancaman apa saja. Terutama, bahaya teror. Paling tidak, umara juga mendorong pencegahan paham-paham radikal-teror melalui peran para ulama, dan tokoh lintas agama.


Pada akhirnya, agama merupakan ajaran yang mendahului kemanusiaan sebelum kebinekaan dan keragaman. Hal itu disampaikan oleh ulama Aswaja dunia asal Yaman, Habib Ali al-Jufri. Pandangan demikian, terinspirasi pada negara Indonesia yang terdiri dari beragam agama, aliran, dan kultur. Sehingga negara ini adalah sumber teladan bagi negara lain.


Penulis adalah Fungsionaris Gerakan Indonesia Optimis, Kader Muda NU