KH Miftahul Achyar: Menjadi Khalifah di Bumi Harus Dimulai dari Pemahaman dan Keadilan
NU Online · Sabtu, 21 Juni 2025 | 14:00 WIB

Pembukaan Akademi Kepemimpinan Nasional (AKN NU) di Jakarta Pusat pada Sabtu (21/6/2025). (Foto: NU Online/Suwitno)
M Fathur Rohman
Kontributor
Jakarta, NU Online
Rais Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH Miftachul Achyar menyampaikan taujihat mendalam tentang pentingnya pemahaman geopolitik, kematangan spiritual, serta kesiapan kader NU dalam memikul amanah kekhalifahan.
Rais Aam menjelaskan bahwa pengalaman baik yang baik maupun yang buruk merupakan bagian dari proses pendidikan ruhaniyah.
"Kita diberikan beberapa pengalaman-pengalaman. Bukan hanya pengalaman yang baik, tapi pengalaman-pengalaman yang tidak baik. Kenapa? Biar kita bisa mengantisipasi, bisa mengulai," ujar Kiai Miftach dalam taujihat-nya di forum Akademi Kepemimpinan Nasional (AKN NU) di Jakarta Pusat pada Sabtu (21/6/2025).
Kiai Miftach mengutip perkataan Imam al-Ghazali yang mengatakan bahwa belajar keburukan bukan berarti mempelajari hal buruk tetapi belajar cara mengantisipasi keburukan.
"Saya belajar terhadap kejelekan, bukan karena kejelekannya yang saya pelajari, tapi bagaimana cara saya bisa menolak, mengantisipasinya,” tuturnya.
Pengasuh Pondok Pesantren Miftachus Sunnah Surabaya itu juga menegaskan bahwa memahami masa jahiliyah menjadi penting agar bisa mengenal hakikat Islam.
"Kalau kita tidak ketemu dengan hal-hal yang jelek, kita tidak akan tahu bagaimana cara. Bahkan sahabat Umar bin Khattab menyatakan, orang yang tidak mengerti tidak tahu bagaimana keadaan-keadaan jahiliah, perilaku-perilaku jahiliah itu, maka dia tidak akan mengenal Islam secara sembunyi,” terangnya.
Dalam pandangan Kiai Miftach, Rasulullah Saw merupakan simbol tertinggi pendidikan ruhani yang mengubah masyarakat jahiliah menjadi umat yang mengenal tujuan hidup.
"Rasulullah Saw menyatakan dalam satu hadits: Innama bu’itstu mu’alliman. Bahwasanya aku diutus hanyalah untuk sebagai pengajar, pendidik. Hampir sama dengan hadits Innama bu’itstu liutammima makarimal akhlak," katanya
Ia menegaskan bahwa Rasulullah Sw adalah al-Murabbi al-Awwal, al-Muallim al-Awwal.
KH Miftachul Akhyar menyinggung kisah Sahabat Abdullah bin Mas’ud yang awalnya hanya menggembala kambing, namun setelah menyerap pendidikan Rasulullah, kelak dijadikan rujukan utama pendidikan fiqih di Kufah.
"Dia tahunya hanya berapa jumlah domba yang warna ini, warna itu. Tapi setelah meminum air pendidikan Rasulullah Saw, akhirnya bagaimana Imam Abu Hanifah di Kufah mendirikan yayasan pendidikan dengan nama sahabat Abdullah bin Mas’ud," jelasnya.
Begitu pula dengan Umar bin Khattab yang dikenal sebagai sosok keras dan hidupnya dihabiskan untuk kesenangan dunia, akhirnya berubah total menjadi pemimpin besar setelah memeluk Islam.
"Bahkan siap untuk menjadi bodyguard. Tapi begitu memeluk Rasulullah, akhirnya menjadi orang yang disebut-sebut: andai ada Nabi lagi, Umarlah orangnya," ujarnya.
Rais Aam mengingatkan bahwa kondisi umat hari ini banyak dihiasi kritik yang tidak membangun.
“Yang ada bukan kritik konstruktif, tapi kritik destruktif. Yang ada hanya menyalahkan, membohongkan. Yaitu karena penyakit Bani Israil. Karena dia tidak mau mengakui Rasulullah sebagai Nabi padahal dia tahu," tuturnya.
Kiai Miftach mengutip hadits Nabi tentang kapal yang ditumpangi banyak orang dengan perilaku berbeda-beda.
"Kalau tidak segera orang ini ditangkap, diamankan, dia tenggelam semuanya. Dia tenggelam, penumpang yang lain juga. Tapi kalau dengan sigap ditangkap dan diamankan, maka seluruh penumpang ini akan selamat,” jelasnya.
Rais Aam menjelaskan bahwa memahami geopolitik dan geoekonomi menjadi bagian tak terpisahkan dalam memaknai misi kekhalifahan.
"Indonesia dijajah berganti-ganti penjajahnya karena keyakinan bahwa ekonomi adalah Tuhannya. Hegemoni ekonomi. Mereka memasukkan kepentingan politik hanya sebagai pintu masuk untuk ekonomi," ungkapnya.
Kiai Miftach berpesan dan menekankan bahwa setiap kader NU harus memahami tiga misi utama kehidupan.
"Pertama, kita ingin menjadi khalifatullah. Lalu, Allah memerintahkan kalian memakmurkan bumi ini. Dan yang terakhir, semua itu harus bernilai ibadah," ujarnya.
Ia menegaskan bahwa konsep kekuasaan dalam Islam bukan sekadar teritorial, melainkan berskala global dan penuh misi kemanusiaan.
Kiai Miftachul Achyar menutup taujihatnya dengan mengisahkan Kaisar Anusyirwan yang memimpin dalam keadilan dan kemakmuran, meski bukan seorang Muslim.
"Sampai Rasulullah mengucapkan: Tiasatul alamu tiyyabatun minal kuffar. Anusirwan li adlihi, wa Hatim li shakha'ihi, wa Imru'ul Qais li syi'rihi, wa Abu Thalib li da'wahihi.” katanya.
Ia menjelaskan yang berarti "Sembilan orang termasyhur (di dunia) yang baik dari kalangan orang kafir: Anusyirwan karena keadilannya, Hatim karena kedermawanannya, Imru'ul Qais karena syairnya, dan Abu Thalib karena dakwahnya.
Kiai Miftach menegaskan, perilaku mereka adalah sifat lazim yang seharusnya dimiliki oleh seorang Muslim yaitu dermawan, adil dan jujur.
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Inilah Obat bagi Jiwa yang Hampa dan Kering
2
Khutbah Jumat: Bahaya Tamak dan Keutamaan Mensyukuri Nikmat
3
Khutbah Jumat: Belajar dari Pohon Kurma dan Kelapa untuk Jadi Muslim Kuat dan Bermanfaat
4
Kontroversi MAN 1 Tegal: Keluarkan Siswi Juara Renang dari Sekolah
5
PBNU Tata Ulang Aset Nahdlatul Ulama Mulai dari Sekolah, Rumah Sakit, hingga Saham
6
Ekologi vs Ekstraksi: Beberapa Putusan Munas NU untuk Lindungi Alam
Terkini
Lihat Semua