Internasional

Rakyat Palestina Harapkan Keadilan atas Penyelidikan Mahkamah Pidana Internasional

Sab, 6 Maret 2021 | 06:35 WIB

Rakyat Palestina Harapkan Keadilan atas Penyelidikan Mahkamah Pidana Internasional

Investigasi Mahkamah Pidana Internasional turut mencakup pertempuran selama 50 hari antara milisi Palestina dan pasukan Iserael di Gaza tahun 2014. (Foto: Reuters)

Jakarta, NU Online

Rakyat Palestina melihat bahwa penyelidikan yang dilakukan oleh Mahkamah Pidana Internasional (ICC) atas kejahatan perang yang dilakukan oleh Israel mewujudkan rasa keadilan.


Dikutip dari Reuters, penyerangan yang dilakukan oleh Israel selama ini menimbulkan banyak korban, terutama warga sipil.


Sebelumnya, Jaksa Mahkamah Pidana Internasional ICC di Den Haag, Fatou Bensouda secara resmi telah membuka penyelidikan atas kejahatan perang yang dilaporkan di wilayah Palestina.


Fatou Bensouda mengatakan, penyelidikan itu akan dilakukan "secara independen, tidak memihak dan obyektif, tanpa rasa takut atau pilih kasih. Otoritas Palestina  menyambut baik keputusan tersebut dan berharap penyelidikan itu akan mencapai akuntabilitas dan keadilan.

 


Sebaliknya Israel menuduh ICC sebagai "anti-Semitisme". Israel sebelumnya telah melakukan lobi intensif di belakang layar dan melancarkan kampanye media untuk memblokir penyelidikan itu.


Pada 5 Februari lalu, ICC telah memutuskan bahwa pihaknya memiliki yurisdiksi dalam kasus-kasus kejahatan perang, apalagi keputusan ICC untuk membuka penyelidikan tersebut menyusul pemeriksaan pendahuluan yang melelahkan selama hampir lima tahun. Tetapi klaim itu ditolak keras oleh Amerika Serikat dan Israel.


Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menuduh ICC melakukan "kemunafikan dan anti-Semitisme'' dan berjanji akan sekuatnya "memperjuangkan kebenaran" sampai "keputusan yang memalukan ini" dibatalkan.


Sementara Kementerian Luar Negeri Pemerintahan Otonomi Palestina menyebut penyelidikan ICC sebagai "langkah yang telah lama ditunggu, dan melayani upaya tak kenal lelah Palestina untuk keadilan dan akuntabilitas."


Mahkamah Pidana Internasional memiliki kewenangan untuk menuntut mereka yang dituduh melakukan genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang di wilayah negara pihak pada Statuta Roma, perjanjian pendiriannya.

 


Israel tidak pernah meratifikasi Statuta Roma, tapi mahkamah memutuskan bahwa pihaknya memiliki dasar yurisdiksi. Mereka merujuk keputusan Sekretaris Jenderal PBB yang mengizinkan Palestina menjadi negara pihak dalam perjanjian tersebut pada 2015.


Israel menduduki Tepi Barat, Gaza, dan Yerusalem Timur dalam perang Timur Tengah tahun 1967. Palestina mengklaim wilayah itu sebagai bagian dari negara merdeka mereka di masa depan.


Pemeriksaan awal Bensouda diyakini berfokus pada masalah seperti operasi militer Israel di Gaza dan pembangunan permukiman Yahudi di Tepi Barat.


Sebagian besar komunitas internasional menganggap langkah Israel itu tidak sah menurut hukum internasional. Namun Israel selalu membantahnya tudingan itu.

 


Saat Palestina mengajukan diri menjadi penandatangan Statuta Roma, mereka mengakui yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional untuk menuntut pelaku kejahatan sejak 13 Juni 2014 dan seterusnya.


Tanggal tadi tepat sekitar satu bulan sebelum perang antara Israel dan militan Palestina di Gaza pecah. Dalam pertempuran itu, sebanyak 2.251 warga Palestina, di antaranya 1.462 warga sipil, tewas. Sementara di pihak Israel setidaknya 67 tentara dan enam warga sipil tewas.


Setelah investigasi pendahuluan, Bensouda menilai ada dasar yang masuk akal untuk meyakini bahwa kejahatan perang terjadi dalam pertempuran itu.


Dia merasa dakwaan dapat diajukan terhadap personel Pasukan Pertahanan Israel (IDF) dan anggota Hamas serta kelompok bersenjata Palestina lainnya.


Bensouda juga menyimpulkan bahwa ada dasar untuk meyakini bahwa dalam konteks pendudukan Israel di Tepi Barat, pejabat Israel telah melakukan kejahatan perang.


Pewarta: Fathoni Ahmad

Editor: Muchlishon