Fragmen

Mengenang Tragedi Mina 1990: Detik-Detik Paling Mematikan dalam Terowongan

Sab, 1 Juli 2023 | 12:00 WIB

Mengenang Tragedi Mina 1990: Detik-Detik Paling Mematikan dalam Terowongan

Ilustrasi: perjalanan dalam terowongan menuju jamarat pada 12 Dzulhijjah 1444 untuk melontar jumrah bagi mereka yang mengambil Nafar Awal, Jumat (30/6/2023) sebelum subuh. (Foto: NU Online/Mahbib Khoiron)

Menyaksikan ribuan jamaah haji yang 24 jam mengalir di terowongan Mina menuju jamarat adalah menyaksikan semangat ibadah yang tak kunjung surut meski tampak melelahkan. Seruan talbiyah dan doa beradu keras dengan deru mesin kipas raksasa yang menempel di langit-langit. Namun, siapa sangka di balik kesyahduan itu, ada kenangan mengerikan yang sukar terlupakan.


Mina pada 2 Juli 1990 menorehkan peristiwa paling mematikan dalam sejarah penyelenggaraan ibadah haji di Arab Saudi. Tragedi itu bermula ketika terowongan al-Muaisim disesaki sekitar 50 ribu orang yang sedang berangkat ke tempat lempar jumrah (jamarat). Lalu, arus jamaah tiba-tiba tidak bisa bergerak. Sementara mereka yang berada di jamarat pun tak sanggup beranjak. Terjadilah saling desak antara jamaah yang menuju dan yang hendak keluar dari jamarat yang berjarak sekitar 200 meter dari mulut terowongan.


Menurut Komandan Keamanan Haji Pemerintah Arab Saudi saat itu, Mayor Jenderal Abdulkader A. Kamal, seperti diberitakan Harian Kompas, 29 Juli 1990, terowongan ini sebetulnya berkapasitas hanya 26.000 orang. Artinya, kala situasi penuh sesak itu terowongan telah diisi hampir dua kali lipat dari daya tampung seharusnya.


Dalam terowongan berbentuk setengah silinder dengan panjang 600 meter, lebar 15 meter, dan tinggi 9 meter ini, puluhan ribu manusia merasakan kondisi amat sesak nan pengap. Oksigen minim dan udara panas. New York Times, 3 Juli 1990, melaporkan, jamaah haji terlibat saling dorong karena ingin menghindari panas 112 derajat Fahrenheit atau 44,44 derajat celsius. Ventilasi udara kala itu juga diduga mati.


Walhasil, korban mulai berjatuhan. Jamaah yang kehabisan napas akhirnya pingsan. Dalam situasi tak terkendali itu, mereka yang tak sadarkan diri bukannya mendapat pertolongan malah tergencet lautan manusia. Yang jatuh pun akan segera terinjak-injak jamaah lain. Buntutnya, mayat bergelimpangan dan seolah tidak ada yang peduli.


Buku Haji Kita: Fakta & Problema Penyelenggaraan Haji Indonesia 1990-2000 yang diterbitkan Asosiasi Wartawan Muslim Indonesia (S. Satya Dharma, 2000) mengungkap penjelasan saksi mata atas tragedi itu. Kepanikan terjadi karena di mulut terowongan dekat jamarat, 7 jamaah terjatuh ke bawah jembatan akibat desak-desakan. Teriakan orang jatuh disambut jeritan orang-orang yang melihatnya. Keadaan serbatakut dan bingung ini lantas membuat jamaah yang masuk dan keluar bercampur aduk. Jalur keluar-masuk pun menjadi kacau. 


"Saya didorong dan jatuh menimpa sekitar 20 mayat dan orang-orang masih saja menggencet saya dalam dua arah dan berjalan di atas tubuh saya," kata salah seorang penyintas yang tampaknya berasal dari Lebanon saat diwawancarai Televisi Saudi, seperti dikutip Washington Post, 3 Juli 1990.


Korban dari Indonesia

Mula-mula tak ada keterangan resmi apa pun dari pemerintah Arab Saudi pascainsiden itu. Negara monarki ini juga tak terlalu terbuka dengan media. Pemberitaan tentang tragedi terowongan Mina oleh media-media internasional saat itu mayoritas diperoleh dari para saksi mata yang tak mau disebutkan namanya.


Satu-satunya angka definitif korban muncul dari keterangan Menteri Dalam Negeri Arab Saudi, Pangeran Nayef, 36 jam setelah kejadian, yang menyebut korban meninggal dunia mencapai 1.426 jamaah, tanpa melaporkan jumlah korban luka-luka. Sebelumnya, seorang pejabat Saudi menyebut laporan awal 1.400 kematian oleh sejumlah media massa sebagai "berlebihan".


Khusus soal jumlah korban dari Indonesia, media-media mengumumkan angka yang berbeda-beda. Ada yang mengatakan 560, ada juga yang menyebut lebih dari 600. Menurut Majalah Tempo edisi 14 Juli 1990, dari total korban jiwa, 631 orang adalah jamaah haji Indonesia. Sementara Harian Kompas, 13 April 1991, melaporkan angka 649 jiwa. Dibanding negara lain, korban dari Indonesia adalah terbanyak.


Terlepas dari perbedaan versi jumlah, tragedi terowongan Mina tahun 1990 menimbulkan duka mendalam bagi bangsa Indonesia. Dalam catatan Satya Dharma (2000), pemerintah RI menetapkan hari itu sebagai hari berkabung nasional. Usai shalat Jumat, masjid-masjid di Tanah Air menggelar shalat ghaib bagi jamaah haji yang gugur di Mina.


Kepada pemerintah Arab Saudi, pemerintah Indonesia meminta agar jamaah haji Indonesia yang meninggal di terowongan al-Muaisim dimakamkan dalam satu tempat. Permintaan itu diajukan Munawir Syadzali selaku Amirul Hajj dan Wahono sebagai wakilnya kepada Menteri Urusan Haji dan Wakaf Arab Saudi.


Dimensi Politik Tragedi Mina

Di dalam negeri Indonesia, tragedi terowongan al-Muaisim mengundang gelombang protes. Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), organisasi yang berafiliasi dengan Nahdlatul Ulama, misalnya, lewat ketua umumnya M. Iqbal Assegaf meminta Menteri Agama Munawir Syadzali mengundurkan diri. Meskipun, menurut Ketua PBNU Bidang Hubungan Kelembagaan Negara Cholid Mawardi, pejabat mundur karena gagal menjalankan tugas belum pernah terjadi selama Orde Baru.


NU sendiri berseru bahwa pemerintah Arab Saudi mesti bertanggung jawab atas terjadinya peristiwa terowongan Mina itu. Langkah protes NU itu ternyata diikuti sejumlah organisasi massa lainnya. Sejumlah pimpinan ormas pemuda Indonesia, melalui kedutaan besar Arab Saudi di Jakarta, memprotes keras perlakukan, tindakan, dan penjelasan yang tidak tuntas tentang musibah tersebut dari pemerintah Arab Saudi. Dewan Pimpinan Pusat Ikatan Advokat Indonesia (Ikadin) bahkan lebih keras lagi. Pemerintah Arab Saudi, kata Ikadin, sesuai dengan asas hukum internasional, bertanggung jawab atas segala kerugian material dan imaterial yang diderita jamaah haji di terowongan al-Muaisim.


"Keluarga korban dan pemerintah Indonesia dapat menuntut pemerintah Arab Saudi di pengadilan internasional di Den Haag, Belanda," seru Ikadin. 


Enam bulan setelah itu, persisnya pada 3 Januari 1991, Ketua Misi Persahabatan non-Pemerintah Arab Saudi Mohammad Abduh Yaman berkunjung ke Presiden Soeharto dan mengatakan, pemerintahnya sedang mempersiapkan pembangunan 17 terowongan baru. Katanya, tidak mustahil satu di antaranya untuk jamaah haji dari Indonesia. Wacana ini tidak sepenuhnya terealisasi hingga sekarang.


Tragedi yang memakan korban ribuan jiwa ini juga seperti memberi amunisi kepada Iran yang dalam beberapa tahun sebelumnya melancarkan kritik atas pengelolaan eksklusif oleh Arab Saudi terhadap ibadah haji. Iran menghendaki internasionalisasi ibadah haji dan umrah, yang otoritasnya juga bisa melibatkan negara-negara muslim lain.


Pasrah dan Kasus yang Menguap

Pemerintah Arab Saudi memang meminta maaf dan menyebut kejadian itu sebagai kecelakaan yang tidak disengaja. Namun, Raja Arab Saudi Fahd bin Abdulaziz Al Saud menyalahkan jamaah yang ia nilai gagal mengikuti aturan keselamatan yang pihaknya keluarkan menjelang musim haji.


Alih-alih memenuhi tuntutan ganti rugi, Fahd menyebut mereka yang meninggal dunia di terowongan al-Muaisim sebagai syuhada (mati syahid). "(Kecelakaan itu) adalah kehendak Tuhan, yang di atas segalanya. Itu adalah takdir. Seandainya mereka tidak mati di sana, mereka akan mati di tempat lain dan pada saat yang sama," katanya seperti dirilis kantor berita Arab Saudi sebagaimana dikutip Washington Post.


“Tidak ada yang bisa menyalahkan Arab Saudi atas kecelakaan ini karena pihak otoritas dan masyarakatnya telah menyediakan semua fasilitas untuk jamaah,” kata Fahd. 


Menurut raja yang memimpin dalam kurun 1982-2005 ini, tragedi tersebut adalah sebuah kecelakaan dan tidak disengaja. Ia mengaku percaya bahwa setiap muslim merasakan kesedihan yang sama seperti yang dialami Arab Saudi.


Terkait hal ini, pemerintah Indonesia tidak melayangkan protes keras kepada Arab Saudi. Sejumlah tuntutan warga dalam negeri, seperti soal ganti rugi material dan nonmaterial, seperti hilang begitu saja. Indonesia memilih jalur damai hingga pelaksanaan haji tahun berikutnya terlaksana sebagaimana biasa. Ketegangan mereda dan kasus pun menguap begitu saja.

 

Penulis: Mahbib Khoiron

Editor: Fathoni Ahmad