Cerpen

Petuah dari Emak

Ahad, 3 Januari 2021 | 06:00 WIB

Petuah dari Emak

Ilustrasi: Upick Mutholib

Cerpen Primalita Susilowati
Telah kuselesaikan materi tahfidz hari ini. Langit sudah tampak berseri dengan warna jingganya. Sejenak terlintas dalam pikiranku beberapa pilihan tempat untuk berbuka hari ini.

 

"Yang murah dan banyak," celetukku dalam hati. Tapi yang begitu itu sudah pasti ramai oleh pembeli di jam segini. 


Akhirnya sudah pasti dan sudah jelas pilihanku jatuh pada masjid akbar yang ada di sekitar kampusku. Sekalian shalat Maghrib, sekalian pula aku berbuka dengan makanan yang disediakan cuma-cuma di sana. Sekali mendayung, dua tiga pulau terlampaui. Akhir-akhir ini aku memang sedang giat-giatnya menabung untuk tiket pulang kampung nanti. 


Sudah enam semester aku tak pulang. Maklum, biaya bolak-balik dari tempatku menuntut ilmu ke kampung halaman, tidaklah murah. Walaupun mungkin jumlahnya hanya setara uang saku 2-3 bulan teman-temanku, tapi memang begitulah kondisiku.

 

Emak adalah janda buruh cuci yang sedang bergulat dengan jasa cuci modern. Emak hanya bisa bertahan dari pelanggan-pelanggan setianya sejak dulu dan dari hasil kerja bersih-bersih serta merawat anak di rumah Pak Kades.


"Jangan tinggalkan shalat dan Al-Qur'an," begitu pesan emak setiap kami bercakap. Emak bahkan tak tamat SD. Namun, nilai-nilai agama dan akhlak selalu beliau pegang teguh dan beliau harapkan selalu ada pada anak semata wayangnya ini.


Mungkin emak khawatir. Di zaman yang serba modern ini, manusia serba sibuk dengan segala apa yang ingin diraihnya. Baik sibuk menimbang ingin lanjut studi di sini maupun di situ, ikut rapat organisasi yang ini atau yang itu, mengambil sikap begini atau yang begitu. Sampai sibuk memikirkan untuk memilih melanjutkan integritas atau justru menghapus rasa welas.


Kesibukan-kesibukan itu yang membuatku sering lupa waktu bahkan sekadar untuk bersyukur. Bahkan aku pun sadar masih sering mengeluh. Padahal masih utuh dan sehat secara jasmaniah saja sudah suatu bentuk kenikmatan yang kita sebagai manusia tentu tidak pantas mengingkari nikmat dan kufur atas kasih sayang-Nya.

 

Ustadz bilang, bila rasa syukur menipis, sudah semakin dekat lah kita dengan kelalaian untuk beribadah dengan-Nya. Memilih untuk melanjutkan rapat kepanitiaan dari pada bergegas menjalankan shalat, mengurangi nominal infak bulanan kita karena ingin beli barang yang cuma biar keliatan keren saja. Atau bahkan sudah berani-berani berbicara "Ah" pada orang tua padahal Al-Qur'an selalu kita baca seiring mulut berdzikir kepada-Nya.


Emak pun sejak kecil banyak bercerita, bahwa kami sebagai umat Muslim hendaklah abid yang taat kepada Allah dan mengamalkan Al-Qur'an baik secara kualitas ibadah maupun akhlak. Tidak sopan rasanya bila sebagai generasi muda kita dekat dengan Al-Qur'an secara lahiriah, membacanya saja, apalagi hanya agar saat Ramadhan dapat 'berapa kali' khatam saja.


Bagaimana mungkin anak muda tidak tersesat bila mereka tidak dekat dengan Al-Qur'an padahal ia Al Hudaa, petunjuk, yang menunjukkan manakah jalan yang Allah ridai bagi umatnya? Jalan mana lagi selain jalan Allah yang kita hendak ikuti. Aku ingat emak berkata mengutip Al-Qur'an,"Qul inkuntum tuhibbun Allah fattabi’uni yuhbibkumullah... Katakanlah [Muhammad], “Kalau kamu benar-benar mencintai Allah, ikutilah aku, maka Allah akan mencintaimu."

 

Kata emak, bagaimana mungkin kita sebagai hamba yang mengimani tiada Tuhan selain Allah tidak mengimani kitab-Nya dalam sukma kita? Padahal ia Asy Syifaa, artinya penawar, penyembuh. Terkadang bila sakit secara jasmani, datang lah kita ke dokter untuk mendapat kesembuhan atas izin-Nya.

 

Namun, bila sakit secara batiniah, Al-Qur'an-lah Asy Syifaa itu, yang menyembuhkan penyakit di hati, seperti syirik, bersikeras untuk terus bermaksiat, putus asa dari rahmat Allah, dan merasa aman dari pembalasan Allah. Bagaimana kita dapat terhindar dari penyakit di hati padahal mereka membawa kita pada dosa-dosa yang besar bila kita tidak dekat dengan 'penyembuh' itu?

 

Terkadang tidak sedikit yang miris dengan ku karena tidak bisa bertemu emakku satu-satunya hampir tiga tahun ini, padahal sedari dulu aku selalu jadi tempat keluh kesah emak sejak bapak meninggal. Ya, bapak pergi saat aku justru baru saja bisa memanggil "Bapak". Padahal, kawanku bahkan satu minggu pun tak tahan berjauhan dengan emak mereka sehingga rela bolak-balik satu minggu sekali melawan panas dan hujan di atas motor setengah butut untuk lintas provinsi agar dapat kehangatan emak di kampung.

 

Untuk menjawab rasa miris mereka, aku hanya bisa tersenyum. Sudah sepatutnya aku menjadi anak laki-laki yang kuat dan tegar. Terlebih karena emak selalu mengingatkanku kala dulu tak bisa beli layang-layang baru kalau sudah tersangkut di pohon atau genting tetangga. Kala dulu sudah hampir sebulan tak bisa makan daging ayam.

 

Atau kala dulu aku diam-diam dipergoki menangis karena sedih tak tahu rasanya diajari bersepeda atau memancing dengan sosok seorang bapak. Maka emak selalu menghiburku dengan firman Allah, "Janganlah kamu lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, karena kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman." 

 

Ah, jadi kangen emak.

 

 

Primalita Susilowati, mahasiswa Kedokteran Gigi, Universitas Diponegoro, bergiat di PMII Rayon Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, Public Relations AIESEC in Semarang, dan BEM Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro.

 

 

Â