Cerpen

Dongeng Enteng dari Pesantren (21) Ada Hantu di Pinggir Empang

Ahad, 5 Juli 2020 | 04:00 WIB

Dongeng Enteng dari Pesantren (21) Ada Hantu di Pinggir Empang

Ilustrasi: literaryfictions.files.wordpress.com

Oleh Rahmatullah Ading Afandie (RAF)

Dalam waktu dua tahun, aku menjadi santri, hanya sekali ada kejadian sangat heboh. Penyebabnya adalah iseng Si Usup dan Si Umar. Keisengan kedua santri itu lebih kepada menguji kepada Mang Udin, santri yang merupakan "asisten" Ajengan yang sangat galak.


Aku masih ingat, kejadian itu ketika tanggal lima bulan puasa. Penyebab aku tak akan lupa karena waktu itu aku baru datang dari rumah, berpuasa empat hari di kampung, sementara untuk yang kelima aku berpuasa di pesantren.


Sebelumnya aku menceritakan bahwa pada bulan puasa, ajengan memulai mengajar mengaji setelah waktu dhuhur. Hanya saja, waktu itu, Ajengan tidak mengajar seperti biasanya, melainkan bercerita tentang keagungan bulan Puasa. 


"Bulan puasa merupakan raja dari bulan-bulan yang lain, assiyamu sayyidul asyhar," katanya. “Saking agungnya bulan puasa, Allah memenjarakan semua setan agar tidak berkeliaran di alam dunia. Nanti pada saat takbir Lebaran sedang diucapkan oleh seluruh umat Islam, barulah setan-setan itu dilepaskan kembali. Dalam bulan puasa, malaikat-malaikat menghormatinya dengan menyemburkan weweangian di alam kubur. Untuk sementara siksa kubur dibebaskan.”


Ketika Ajengan bercerita seperti itu Si Usup dan Si Umar seperti saling berbisik, tak memperhatikan alur cerita. Aku tidak tahu apa yang mereka bicarakan karena aku berada di pojokan, bersandar ke dinding sambil terkantuk-kantuk.


Tanpa diduga, terdengar ada yang membentak. Aku kaget, tapi rasanya bukan suara ajengan. Ajengan sendiri sepertinya terkaget mendengar bentakan itu. Ternyata Mang Udin, asisten ajengan. Kemudian ajengan juga memarahi kedua anak itu.


Waktu di kobong, aku mempertanyakan hal itu kepada Si Umar. 


"Demi Allah, saya tidak usil. Awalnya Si Usup yang menjawilku, berbisik bahwa Mang Udin terkantuk-kantuk. Kebetulan, ketika Si Usup menertawakannya, Mang Udin melihatnya. Itu taktik Mang Udin saja ingin diperhatikan Ajengan. Padahal dia sendiri yang mengantuk."


Aku tidak tahu apa yang direncanakan Si Usup dan Si Umar untuk membalas sakit hati kepada asisten ajengan itu. Keduanya berbicara serius merencanakan suatu hal.


Sore hari, waktu aku ngabuburit, di dekat sawah aku melihat Si Umar di depan rumah Nyi Juariah. Weaktu itu Nyi Juariah berada di ambang jendela. Entah apa yang mereka obrolkan. Aku hanya melihat tangan Si Umar bergerak-gerak seperti turut menjelaskan sesuatu. Nyi Juariah tampak menggeleng-gelengkan kepala. 


Aku penasaran, mendekati kedua orang yang mengobrol. Namun sayang, ketika aku sampai ke situ, keduanya sudah mengakhiri obrolan. Hanya aku mendengar kalimat terakhir dari Nyi Juariah yang tak kumengerti


"... Tapi awas kalau kotor! Dan setelah tadarus, haru dikembalikan...!" katanya.


Waktu buka puasa, tak ada kejadian apa-apa. Namun, tampak Mang Udin bermuka masam kepada dua anak itu. Si Usup dan Si Umar pun tahu diri, tidak seperti biasanya. Keduanya tidak bercanda tawa.


Selepas tarawih aku segera ke kobong. Aku absen tadarus sebab ingat ada kolak singkong bikinan Si Atok. Saat orang lain tarawih, Si Atok malah bikin kolak di kobong. Saat kolak hampir habis, terdengar teman-teman pulang tadarus. Mereka tergesa-gesa berebut kolak.


Saat itu, ketika teman-teman sedang sibuk menikmati kolak, kami mendengar ada yang berteriak-teriak. Benar, ada yang berteriak. Tak lama kemudian ada yang berlari di halaman kobong. Lalu ada yang menubruk pintu. 


Mang Udin. Ternyata Mang udin yang menubruk pintu. Mang Udin tengkurap dengan napas terengah-engah. 


Allahu robbi, biasanya santri-santri di zamanku kalau shalat tidak memakai celana. Begitulah keadaan Mang Udin berteriak, sambil lari, kemudian menubruk pintu, sehabis tarawih itu. Ia tengkurap tanpa celana. Sarungnya terlepas entah di mana. Sepertinya ia tak sadar karena saking kagetnya. Ia tengkurap hanya mengenakan baju koko. Untung saja ia sehabis menubruk pintu terjatuh dalam keadaan tengkurap, coba kalau telentang.


Kemudian seorang santri mengambilkan air putih. Tanpa ditanya, ia menjelaskan.


"Aku sedang berjalan sendirian, waktu berada di bawah pohon klewih di pinggir empang, ada bayangan putih. Ternyata hantu, hantu,  jelas, jelas hantu," ceritanya.


Santri-santri merasa takut mendengar cerita itu. Selepas Mang Udin bercerita, langsung mereka ngeloyor dan mendekam di kobong masing-masing. Bahkan sebagian ada yang tak berani tidur di kobongnya, tapi ikut berdesakan dengan di kobong lain. Aku juga kalau tak ingat Si Atok sedang gudikan, pasti berdesakan dengannya.


Pesantren sepi....


Namun, tak lama kemudian aku mendengar suara Si Usup Si Umar. Si Umar sepertinya masuk ke kobong Si Usup, letaknya tidak jauh dari kamarku. Aku menjadi curiga di saat santri lain merasa ketakutan, kedua orang ini malah cekikikan.


Keesokan harinya, saat aku berada di dapur ajengan, aku melihat Si Umar dan Si Usup menemui Ajengan. Aku mendengar Si Umar bercerita bahwa tadi malam ia menakutnakuti Mang Udin dengan mukena Nyi Juariah. Ia bercerita dengan beberapa kali mengutip perkataan Ajengan, terkait seluruh setan, hantu dipenjara saat bulan puasa. Aku mendengar ajengan tertawa.


Waktu mengaji, Mang Udin diarahi ajengan. 


"Udin..., kamu itu santri paling tua. Kenapa kamu tidak percaya bahwa di bulan puasa itu tidak akan ada hantu...?"


Begitulah... kalau Mang Udin sedang tidak berada di kobong, kisah dia dengan hantu di pinggir empang menjadi pemanis obrolan tiap santri. 


Sejak itu Si Atok menyebut Mang Udin sebagai hantu tak bercelana. 


Namun yang jelas, sejak peristiwa itu, Mang Udin, asisten ajengan tersebut, tidak terlalu galak.

 

Cerpen ini diterjemahkan dari bahasa Sunda ke bahasa Indonesia oleh Abdullah Alawi dari kumpulan cerpen otobiografi Dongeng Enteng ti Pesantren. Kumpulan cerpen tersebut diterbitkan tahun 1961 dan memperoleh hadiah dari LBBS di tahun yang sama. Menurut Adun Subarsa, kumpulan cerpen tersebut digolongkan ke dalam kesusastraan Sunda modern sesudah perang.    Nama pengarangnya Rahmatullah Ading Afandie sering disingkat RAF. Ia lahir di Ciamis 1929 M. Pada zaman Jepang pernah nyantri di pesantren Miftahul Huda Ciamis. Tahun 1976, ia muncul dengan sinetron Si Kabayan di TVRI, tapi dihentikan karena dianggap terlalu tajam mengkritik. Ketika TVRI cabang Bandung dibuka, RAF muncul lagi dengan sinetron Inohong di Bojongrangkong.