Cerpen

Dongeng Enteng dari Pesantren (20): Perihal Nama

Ahad, 28 Juni 2020 | 16:00 WIB

Dongeng Enteng dari Pesantren (20): Perihal Nama

Begitu juga di pesantren. Mereka merasa terhormat jika menggunakan nama dari bahasa Arab

Oleh Rahmatullah Ading Afandie

Di tempat lain ada ungkapan, "what is in a name?" Apa artinya sebuah nama. Terpenting itu bukan nama, tapi siapa pemilik nama. Ungkapan itu bertolak belakang dengan kebiasaan di pesantren. Nama teramat penting. 


Soal nama, ada persamaan antara pesantren dengan di kota. Orang kota merasa rendah diri terhadap bangsa Eropa. Karenanya di kota orang-orang merasa bangga menggunakan nama saperti Eddy, Max, Hanny, Mammy dst. Mereka sepertinya merasa malu jika bernama Adung, Maksum, Haniah, Salamah, dst. Begitu juga di pesantren. Mereka merasa terhormat jika menggunakan nama dari bahasa Arab. Lebih-lebih seorang haji. Susah mencari haji yang namanya tidak berbahasa Arab. Tiada lain karena kebiasaan para haji mengganti nama sepulang melaksanakan ibadah rukun Islam kelima itu. Muncullah nama Haji Muhammad Badrudin, seorang kaya di Pengkolan. Sebelumnya ia bernama Sanukri. Pak Lurah, sebelum ke Makkah bernama Wihardi. Selepas pulang bernama Abdul Arief. Ia kemudian dikenal Haji Arip.


Tak heran kemudian, para santri punya nama alias. Biasanya bikinan ajengan. Ada aturannya, tak boleh menggunakan asmaul husna yang 99 tanpa diawali abdul. Asmaul husna yang 99 itu nama untuk Allah. Konon, 99 itu dicatatkan di tangan manusia, pada garis-garis di atas telapak. Coba saja perhatikan, pada telapak tangan kiri ada angka 81 dalam bentuk angka bahasa Arab. Pada telapak kanan 18. Kalau dijumlahkan antara kiri dan kakan maka jadi 99. 


Untuk mengambil nama dari asmaul husna harus diawali abdul saperti Abdullah, terdiri dari abdul dan Allah. Ghapur juga nama Allah. Jadi, tak boleh orang hanya bernama Ghafur, tapi harus Abdul Ghafur. Kata ajengan, tak boleh seseorang hanya bernama Rahman atau Rohim, tapi harus Abdurrahman, Abdurrahim.

Rata-rata para santri punya nama alias. Bahkan kebanyakan berganti nama. 
 

Ada yang terlewatkan. Aku pernah bertanya kepada ajengan, kenapa sebabnya tiap orang pulang berhaji kemudian mengganti namanya. 


"Orang yang berangkat haji punya tujuan mensucikan diri. Jadi, kalau orang berhaji, dosa yang diperbuat terhapus sudah. Jadi, orang berhaji suci kembali seperti bayi yang baru lahir. Karenanya sangat cocok kesucian diri dengan mengganti nama. Dia seperti memulai hidup dalam catatan baru. Itu sebabnya orang meninggal saat berhaji terbilang orang bahagia sebab ia dalam keadaan seperti bayi baru terlahir. Bersih dari segala dosa. Orang demikian tiada lain balasannya selain Firdaus. Karenanya tak heran kemudian sebagian orang kampung melaksanakan ibadah haji saat usia tua agar menjelang meninggal tak banyak lagi dosa diperbuat. Orang yang sudah tua umurnya kan tak lama lagi hidupnya. Bagian ini bukan pemahaman ajengan tapi, kata aku tadi, ada kepercaayaan demikian di tengah orang kampung.


Mang Udin katanya ketika datang ke pesantren bernama Kardun. Kemudian ajengan menggantinya Syamsuddin. Syamsu artinya matahari, sementara din agama. 


Menurut Si Atok, padahal untuk Mang Udin mah cocok bernama Kardun, cocok dengan mukanya, artinya monyet.


Ajengan memberi aku nama sangat bagus, Rochmatullah. Sampai sekolah menengah kelas II kalau tak salah, aku masih menggunakan nama itu di depan nama pemberian ayahku. Belakangan aku hanya membubuhkan R saja. Sampai sekarang. R pada R.A.F sebetulnya Rochmatullah, nama pemberian ajengan. Temanku yang pernah bersekolah di sekolah tani Ungaran (Semarang), tentu masih ingat bahwa namaku menggunakan Rochmat di depan.


Suatu ketika, urusan nama di pesantren pernah menjadi perkara. Ajengan sampai dipanggil Juragan Camat. Sabab musababnya si Si Umar.


Seorang anak camat — aku pernah menceritakannya, namanya Dang Engkos — pernah masuk ke luar pesantren. Menurut Si Atok Dang Engkos menyukai Nyi Halimah, putri ajengan. Dalam perkara ini aku termasuk bagian dari penyebabnya. Tapi menurut perasaanku, tidak betul-betul salah, melainkan tidak tahu duduk perkara saja.


Waktu itu aku sedang pulang ke rumah. Jadi perkara ini aku hanya mendengar cerita dari santri lain. Suatu ketika, Dang Engkos menginap di pesantrenku. Ia ngobrol di kobong. Entah apa mulanya, dalam obrolan itu, menyabit-nyabit soal nama. Dang Engkos waktu itu meminta nama dari bahasa Arab. Ia meminta nama Arab kepada Mang Udin. Begitu kabar yang aku terima dari Si Atok. 


Ternyata Mang Udin tak menemukan nama bagus untuknya. 


"Bagaimana jika kamu bernama Muhammad Khinjir saja," kata Si Umar. 


Para santri yang mendengar kaget. Mereka tahu canda Si Umar keterlaluan. Namun, bagi Dang Engkos lain lagi. Tak dinyana, ia menyukai nama itu. 


“Iya bagus kalau aku bernama Raden Kosasih Muhammad Khinjir,” katanya. 


Sampai Dang Engkos pulang, tak ada satu pun santri yang berani berbicara dan menjelaskan nama itu. Namun, setelah ia pulang, Si Umar dimarahi para santri. Ia malah cekikikan. Ia tak menyangka tak bakal ada buntutnya.
 

Suatu hari, aku ke kecamatan. Aku mendapati Juragan Camat dan istrinya sedang mengobrol. 


"Si Engkos ada yang memberi nama sangat bagus, Mohammad Khinjir. Dia ingin selamatan bikin tumpeng,” begitu dalam obrolan keduanya. 


"Bagaimana mungkin Khinjir sebab artinya babi,” aku gatal untuk tak menyela obrolan mereka.


Seketika muka Juragan Camat memerah menahan amarah.


Begitulah, gara-gara Si Umar yang bikin perkara. Ajengan dipanggil karena kasus itu akan diproses. Aku lupa bagaimana kelanjutan perkara itu. Namun, yang masih kuingat, Si Umar selama dua bulan menghilang dari pesantren. Kabur entah kemana. Kemudian ia muncul lagi setelah tahu bahwa segala urusannya udah selesai karena tidak jadi diperkarakan.

 

Cerpen ini diterjemahkan dari bahasa Sunda ke bahasa Indonesia oleh Abdullah Alawi dari kumpulan cerpen otobiografi Dongeng Enteng ti Pesantren. Kumpulan cerpen tersebut diterbitkan tahun 1961 dan memperoleh hadiah dari LBBS di tahun yang sama. Menurut Adun Subarsa, kumpulan cerpen tersebut digolongkan ke dalam kesusastraan Sunda modern sesudah perang.   
Nama pengarangnya Rahmatullah Ading Afandie sering disingkat RAF. Ia lahir di Ciamis 1929 M. Pada zaman Jepang pernah nyantri di pesantren Miftahul Huda Ciamis. Tahun 1976, ia muncul dengan sinetron Si Kabayan di TVRI, tapi dihentikan karena dianggap terlalu tajam mengkritik. Ketika TVRI cabang Bandung dibuka, RAF muncul lagi dengan sinetron Inohong di Bojongrangkong.