Cerpen

Dongeng Enteng dari Pesantren (24): Utang

Ahad, 26 Juli 2020 | 13:00 WIB

Dongeng Enteng dari Pesantren (26): Utang
Saat Nabi Muhammad mendekati sakaratul maut, ia sempat bertanya kepada para sahabatnya, apakah dirinya memiliki utang kepada mereka. 

“Sebelum meninggal, aku ingin membayar utang sebab di akhirat tak akan ada kesempatan untuk membayarnya,” kata Nabi Muhammad. 

Waktu itu ada seorang sahabat berdiri dan berkata bahwa Nabi punya tiga dirham. Seketika Nabi membayarnya. 

Begitulah aku mendengar kisah itu dalam pelajaran sejarah. Cerita Nabi mendekati sakaratul maut dipraktikan Si Usup saat, tampaknya menghadapi malakal maut.

Sudah masuk hari kedelapan Si Usup berada di Juragan Mantri Klinik. Menurut mantri, sakitnya tidak parah amat, hanya malaria biasa. Namun, entah kekeliruan diagnosa Juragan Kilinik atau karena kecengengan, Si Usup kelihatan parah sakitnya. Keadaannya hanya tiduran. Shalat pun hanya dengan isyarat mata dan bibir yang bergerak-gerak. Ia dipindahkan ke tempat yang terpisah dan saban malam dibacakan surat Yasin. Begitu keinginanya. Begitu juga aku sampai saat ini, jika sakit, aku ingin dibacakan surat Yasin. Aku merasa tenang kalaupun menghadapi maut.

Ajengan sudah beberapa malam berdoa di hadapan Si Usup. Keadaan pesantren terasa lain, agak sepi dari biasanya. Mereka sepertinya takut Si Usup meninggal karena bicaranya saja sudah seperti berbisik, bahkan sangat lemah.

Suatu ketika, selepas isya, semuanya berkumpul dekat Si Usup. Badannya panas. Aku mengkompres dahinya dengan air hangat dicampur jeruk nipis dan bawang bikinan Nyi Halimah sebelum magrib. Ajengan selepas dari masjid melayat santrinya yang sakit itu.

Dalam keadaan seperti itu, Si Usup memaksakan diri duduk. Meski ajengan melarangnya, ia tetap memaksakan diri duduk. Ia kemudian bersandar ke dinding yang dilapisi bantal tipis. Setelah ia mengusap muka tiga kali dan mengucap la haula wa la quwwata..., ia berbicara.  


"Ajengan, saya ingin disaksikan bahwa saya akan bertanya kepada saudara-saudarku ini apakah aku punya utang kepada mereka..."


"Nah, sekarang kalian sudah mendengarnya, aku berharap karena Allah agar kalian bercerita apakah pernah memberi utang kepadanya dan hingga saat ini belum dibayarnya. Namun, sebelum kalian berkata, aku ingin berkata terlebih dahulu. Usup, kamu punya utang kepadaku saat sebulan ke belakang aku menyuruhmu membeli tikar. Nah, saat ini aku membebaskannya. Uang itu mutlak aku memberikannya untukmu.  Semoga Allah menyaksikannya," kata ajengan.


Di pesantrenku, Si Usup terkenal sebagai santri yang banyak utang. Dia punya utang ke warung Imi saja sebanyak seringgit.
 

"Kepadaku, ia punya utang 16 ketip bekas membeli kopiah. Tapi malam ini aku mengikhlaskannya serta kuanggap lunas," kata Si Umar. 


"Semoga Allah Ta'ala menyaksikan," timpal Ajengan. 


“Amin...,” jawab santrisantri. 


Setelah itu, Mang Udin, Kang Haer, Si Ibro, Kang Hasim menjelaskan bahwa Si Usup punya utang kepada mereka. Semuanya mengikhlaskan dan menganggap lunas. 


Kepadaku, Si Usup punya utang tujuh talen saat membeli buku nahwu. Aku menalanginya. Sudah dua bulan ia tak membayarnya. Aku menjelaskan bahwa seperak utangnya kuikhlaskan, sementara yang tiga talen aku jadikan untuk membayar utang Si Atok kepada Si Usup. 


Kemudian Si Atok berbisik bahwa Si Usup bukan memberinya utang, tapi justru dia yang berutang. Pasalnya tiga bulan ke belakang Si Usup menjual baju kampret kepada Si Atok dengan harga 11 ketip, tapi baru dibayar tiga ketip lima sen. Aku berhitung dalam hati, utang Si Usup jumlahnya tujuh perak dua ketip dan ke warung Imi. Semuanya diikhlaskan.


Selepas tak ada lagi yang berkata, Ajengan berkata lagi, "Nah, sekarang sudah terdengar oleh semuanya anakku, bahwa utang-utnngmu sudah diikhlaskan. Selanjutnya sekarang kamu harus khusuk membayar utang-utangmu kepada Allahu Akbar”.


Lalu Si Usup tidur. Matanya terpejam. 


Ajengan kemudian memintaku memanggil mantri klinik. Aku segera memenuhi permintananya bersama Si Atok.


Juragan klinik datang. Semuanya agak heran ketika ia memeriksa Si Usup. Juragan klinik meminta sabun. Aku memberinya. Lalu ia meminta pisau. Lalu sabun itu diiris hingga sebesar jari telunjuk. Semuanya tak ada yang berani bertanya.


Semua santri terkaget saat juragan mantri meminta SI Usup bangun. Lalu Juragan Mantri dibantu Si Umar memapah Si Usup keluar. Seluruh santri tak ada yang berani berkomentar. Aku dan mereka mengikutinya. Ketika sampai di pintu, Juragan Klinik memberi isyarat agar sangkan santri-santri jangan ikut keluar. Hanya aku yang boleh ikut karena membawa damar. Aku merasa heran, Si Usup akan dibawa kemana.


Ternyata Juragan Mantri membawanya ke kolam. Juragan Mantri menyuruh Si Usup jongkok. Lalu Juragan Mantri menggunakan sabun sebesar jari telunjuk tadi.


Lalu, ikan-ikan di kolam memburu ke bawah Si Usup yang sedang jongkok. Setelah ikan-ikan merasa tak ada lagi makanan, Juragan Mantri  menyuruh Si Usup membersihkan diri di pancuran. Lalu dituntun kobong. 


 "Besok juga sembuh," kata Juragan Mantri. 


Allahu Akbar, keesokan harinya ternyata betul Si Usup kelihatan sembuhh. Bahkan ia meminta makan. Dua hari setelah itu ia sudah bisa jalan-jalan.


Si Umar sempat menghadap kepada Ajengan membicarakan utang Si Usup. 


"Semuanya sudah diikhlaskan..." kata ajengan agak membentak.
 

"Aku menyangka Si Usup bakalan mati. Tahu bakalan masih hidup mah tak mungkin diikhlaskan..." gerutunya. 


"Ah, nanti mah kalau aku banyak utang, akan pura-pura sakit saja..." komentar Si Ibro. 


Ada orang yang sangat jengkel, tapi tak mengungkapkannya, saat Si Usup sembuh adalah Mang Udin. Mang Udin memang terkenal pelit. Di hadapan banyak santri, selain membebaskan utangnya, ia berjanji akan membayar utang Si Usup ke warung Imi.