Balitbang Kemenag RISET BALITBANG KEMENAG

Pesantren, Penopang Keberlangsungan Indonesia

Kam, 27 Agustus 2020 | 08:00 WIB

Pesantren, Penopang Keberlangsungan Indonesia

Pesantren harus mengukuti budaya yang ada tanpa menghilangkan budaya-budaya yang sudah ditanamkan di dalam pesantren tersebut. (Foto: NU Online/Ramzy)

Indonesia terbentuk oleh beragam suku, budaya, dan berbagai macam agama yang ada di dalamnya. Ketiganya menjadi penopang bagi keberlangsungan negara merdeka sekitar 75 tahun. 

 

Terkait dengan agama, Kiai Afifuddin Muhajjir dalam bukunya Fiqih Tata Negara menjelaskan bahwa Indonesia adalah negara agama, bukan negara beragama, karena banyaknya agama-agama yang ada di Indonesia sendiri. Hal itu juga terbukti dengan adanya enam agama yang ada di Indonesia yang diakui dan boleh menjadi kepercayaan warga negaranya. Keenam agama tersebut adalah Islam, Kristen, Hindu, Budha, Protestan, dan Konghucu.

 

Namun, di antara enam agama tersebut yang paling pesat perkembangannya adalah Islam. Salah satu yang memengaruhi pesatnya agama Islam adalah banyaknya pesantren yang berkembang di Indonesia. Pesantren menjadi pusat peradaban terbesar Islam di Indonesia. Pesantren terkenal dengan pendidikan karakter seperti sopansantunnya ketika terjun ke dalam masyarakat. Apalagi ada sebuah pepatah mengatakan bahwa 'Kesopanan lebih tinggi nilainya daripada kecerdasan'. Itulah yang membuat pesantren semakin eksis di kalangan masyarakat khususnya bagi Muslim di Indonesia. 

 


Namun demikian, ada hal menjadi tantangan dan implikasi bagi pesantren sekarang. Pesantren harus bisa mengikuti perubahan zaman yang semakin hari semakin drastis. Pesantren harus mengukuti budaya yang ada tanpa menghilangkan budaya-budaya yang sudah ditanamkan di dalam pesantren tersebut. 


Pesantren juga adalah lembaga besar yang menghasilkan ulama-ulama di Indonesia. Di era kini, salah satu ulama yang lahir dari pesantren adalah KH Ahmad Bahauddin Nursalim (Gus Baha). Gus Baha dikenal sebagai penceramah andal di Indonesia yang menyebarkan moderatisme dalam ceramah-ceramahnya.

 
Pentingnya mempertahankan budaya yang baik dalam sebuah tradisi pesantren adanya sebuah kaidah yang digunakan untuk mengikuti sebuah gerakan perubahan zaman yang sering kali dibuat sebagai rujukan. Kaidah itu adalah Al-muhafazhat ala al-qadim ash-shalih wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah. Sesuatu yang baru tidak selalu dimaknai sebagai hal yang lebih baik ketimbang yang lama. Karena itu, pesantren perlu untuk terus menerus secara kreatif merespons tantangan perubahan dalam pengelolaan pendidikan sekaligus menemukan pilihan yang lebih relevan, sesuai kebutuhan zaman.

 

Dengan adanya sebuah kaidah tersebut pesantren harus bisa memanifestasikan sebuah gerakan baru yang lebih kreatif dalam menjawab sebuah tantangan perubahan jaman sekarang ini. Apalagi Peraturan Menteri Agama RI Nomor 13 Tahun 2014 tentang Pendidikan Keagamaan Islam telah menguatkan kelembagaan pesantren dengan merumuskan kriteria sebuah lembaga pendidikan yang layak dianggap pesantren. Unsur-unsur yang terdiri atas: a) kiai atau sebutan lain yang sejenis; b) santri; c) pondok atau asrama pesantren; d) masjid atau musholla, dan e) pengajian dan kajian kitab kuning atau dirasah islamiyah dengan pola pendidikan mu'allimin.

 

Unsur tersebut membuktikan bahwa negara sangat mendukung keberadaan pesantren-pesantren di Indoensia untuk bisa menopang keberlangsungan negara dan agama khususnya agama islam. 
Karena tanpa disadari bahwa kontribusi pesantren bagi bangsa ini sangat luar biasa, bahkan sejak ratusan tahun yang lalu, sepanjang sejarah perjuangan Kemerdekaan Indonesia.

 

Penelitian oleh Badan Litbang dan Diklat Kemenag RI tahun 2019 membuktikan bahwa negara dan pesantren harus saling menguatkan satu sama lainnya. Hal itu demi kemasalahatan bersama, juga untuk perbaikan sebuah moral manusia Indonesia itu sendiri. 

 

Hal yang juga perlu diperhatikan dengan adanya Peraturan Menteri Agama tersebut adalah pesantren harus bisa mengawal turunan UU ke PP dan Permenag agar mencerminkan rekognisi pesantren. Tujuannya supaya tidak ada sebuah intervensi kepada pesentren untuk melakukan segala budaya yang ada dalam pesantren tersebut. Serta juga harus aktif sebagai aktor yang paling penting bagi pemberdayaan perkembangan masyarakat khususnya dalam hal pencapaian pembangunan, SDGs, juga pencapaian akses dan kualitas pendidikan,  demi mengurangi angka kemiskinan yang ada di Indoensia. 

 

Penulis: Wildan Rofikul Anwar
Editor: Kendi Setiawan