Wawancara

Pesantren Perlu Hidupkan dan Sebarkan Ilmu Manthiq untuk Tangkal Hoaks

Kam, 4 April 2019 | 02:00 WIB

Belakangan ini, dunia maya semakin gencar dipenuhi ragam konten. Meski ada yang bermuatan positif, tapi kebanyakan jurstru berita, video, foto palsu atau biasa disebut hoaks. Masih mending jika konten tersebut untuk guyonan, kebanyakan menyebabkan permusuhan, kebencian, dan perpecahan. 

Jika dibiarkan hal semacam itu bisa menyebabkan disintegrasi bangsa sehingga semua pihak perlu bekerja sama mencegahnya. Paling tidak meminimalisasinya. Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia (Lakpesdam) dan Lembaga Ta’lif wan Nasyr PBNU Kementerian Komunikasi dan Informasi melalui program Ngaji Teknologi berupaya untuk hal itu. Sasaran Ngaji Teknologi adalah para santri dengan pendekatan ilmu manthiq.
 
Untuk mengetahui lebih jauh mengenai program tersebut, Abdullah Alawi dari NU Online mewawancarai Staf Khusus Kominfo Bidang Komunikasi Publik Deddy Hermawan di Kantor PCNU Kabupaten Garut, Selasa (2/4). Berikut petikannya:

Kenapa Ngaji Teknologi yang membahas ilmu manthiq ini disupport Kominfo? Apa tujuannya?

Jadi begini, kami dari Kominfo sangat concern (memiliki perhatian) untuk mengurai persoalan-persoalan terkait banyaknya dan maraknya hoaks. Karena hoaks kebanyakan berbasis dan menggunakan agama sebagai salah satu bahan dalam menyebarkan hoaks itu yang kita bedah secara bersama. Ini merupakan tindak lanjut dari kerja sama kita dengan kawan-kawan dari MUI, dari NU, Muhammadiyah dan teman-teman organisasi massa Islam yang lain. 

Kemudian apa yang kami temukan dalam konteks hoaks itu adalah perlu kembali ke dalam pemahaman secara mendasar mengenai munculnya kisah atau cerita hoaks ya. Kami melihat memperkuat mengenai kembali belajar logika berpikir yang benar sesuai tradisi, dalam hal ini manthiq itu bisa menjadi salah satu solusi untuk mengurangi atau mengurai maraknya hoaks di wilayah digital atau di dunia maya, virtual. Ini yang penting karena yang kami lihat selama ini hoaks-hoaks itu selalu menggunakan dasar-dasar berpikir yang tidak sistematis.

Kajian-kajiannya lahir dari mencuatnya pragmatis dan gampang memberikan penilaian-penilaian secara frontal terhadap teman-teman yang lain. Misalnya kemarin tulisan atau makna kafir dan sebagainya itu kan, yang kemudian ternyata di dalam agendanya teman-teman NU yang di Ciamis (maksudnya Kota Banjar) kemarin diurai juga kan, bukan serta-merta menyatakan orang kafir. Artinya untuk menuju statement kepada kafir, pasti kan ada tahapannya, ada prosesnya, ada syaratnya, dan itu hanya bisa dipelajari  melalui perkuatan manthiq. 
Jadi, kami dari Kominfo bekerja sama dengan Lakpesdam dan LTNNU melakukan uji coba program, khususnya di Jawa Barat, kita keliling di lima lokasi kota. Dari situ kemudian kita akan evaluasi bentuk penajaman programnya akan dibuat bagaimana. Kita memang belum punya bentuk, tetapi dengan mendasarkan kita mempelajari manthiq, insyaallah akan ada benang merah dalam konteks memerangi dan mengurai problem, terutama tentang hoaks. 

Hoaks ini penting menjadi bahasan karena bisa membuat persoalan-persoalan kohesivitas sosial kita jadi pecah. Jadi, ada polarisasi yang sama sekali kita menjadi dasar kita dalam kehidupan bernegara dan berbangsa. Mungkin itu.  

Bagaimana Kominfo menemukan hubungan antara informasi hoaks dengan kemampuan cara berpikir atau logika?   

Jadi begini, yang kami temukan ada korelasi antara kemampuan berlogika dengan yang mendesain informasi. Memang ada yang mendesain untuk menciptakan itu dan kemudian yang menyebarkannya, kan begitu. Nah, bagi yang si penerima ini, kalau dia mempunyai dasar dan potensi logika memahami cara berpikir berdasarkan ilmu manthiq tadi, pasti dia akan bisa mengurai mana informasi itu yang benar dan tidak. Kalau dilihat dari tata cara ilmu manthiq, mengurai sesuatu persoalan, pasti akan ditemukan bahwa yang (informasi) didesain tadi, yang diciptakan oleh sekelompok orang tadi, tentu, siapa pun yang menginginkan dispiratis sosial yang muncul, pasti akan tahu bahwa konten ini adalah salah, begitu, sehingga dengan cara begitu, setiap individu, kelompok sosial, yang mempunyai basis kemampuan ilmu manthiq, bisa memfilter apa yang menjadi konten di wilayah publik, yang muncul di medsos dan sebagainya. Jadi, dia tidak serta-merta akan termakan oleh isu-isu (hoaks) mereka (yang mendesain) yang menginginkan hal-hal itu terjadi. 

Nah, berarti rata-rata di Indonesia si penerima informasi yang tidak bisa memfilter itu tidak paham ilmu ilmu logika atau manthiq? 

Nah, itu yang saya belum tahu, makanya kita kaji dengan ini. 

Lalu kenapa menggunakan ilmu manthiq yang umum diajarkan di pesantren? 

Kan sebagian besar (hoaks) yang ada di publik itu kan berbasis menggunakan agama, terutama Islam. 

Itu ada kajian perbandingannya dengan konten lain, kira-kira berapa persen? 

Wah, banyak. 

Berarti hoaks berbasis agama itu mendominasi ya? 

Mendominasi. 

Apa bisa menyebutkan presentase? 

Kalau presentasenya saya tidak tahu pasti, tetapi lihat saja, dikit-dikit masalah agama, dikit-dikit masalah agama, kan begitu. Kita lihat saja misalnya, tiba-tiba pemerintah dianggap thaguth. Apa dasarnya coba? Kalau kita baca sejarahnya secara rinci kan apa-apa saja hajat hidup beragama diurusi negara, tidak ada yang diselewengkan. Karakteristik apa yang disebut sebagai thaghut, itu yang menjadi pertarungan kita. Ya, kita, misalnya kelompok NU berhadapan dengan khilafah, kan gitu. NU menganggap ini sudah Islam; orang menurut NU Pancasila itu sudah Islam, yang lain kan mengatakan bukan. Itu yang kita lihat. 

Kemudian mereka menciptakan arus pemikiran, misalnya seolah-olah bahwa pemerintah ini melawan dan memusuhi umat Muslim, sementara kita tahu urusan haji, urusan zakat, urusan shalat, semua negara memfasilitasi. 

Mereka tujuannya negara karena menyerang pemerintah sebagai tidak Islam. Ini artinya kekuasaan. Lalu, kenapa yang digunakan isu-isu agama? 

Saya tidak tahu. Ya mungkin karena mayoritas masyarakat kita Islam dan isu itu yang mudah diangkat saja. Itu barangkali. 

Lalu, kalau pendekatan secara psikologis orang yang berwatak tanpa berpikir panjang dalam menyebarkan hoaks itu bagaimana? 

Itu karena mereka tidak memahami ilmu manthiq. 

Bukan kelainan atau gangguan kejiwaan secara psikologis? Kalau itu dilakukan banyak orang, berarti sedang terjadi gangguan kejiwaan secara berjamaah? 

Karena mereka dicekoki kepada mereka yang sifatnya seperti itu tadi. Misalnya, udah pokoknya kalau bukan teman kita, pokoknya kafir. 

Apa itu gangguan psikologis?

Waduh, saya tidak tahu kalau itu. Harus diuji juga. Tetapi juga saya melihat ini karena pragmatisme dogma yang terus-menerus, dogma yang dicekokkan kepada komunitas. 

Dogma itu kan bersifat searah kan, dan tanpa kritik, lagi-lagi ini masalah logika berpikir, ya.

Logika. Nah, ini makanya, lagi-lagi masalah logika. 

Nah, bagaimana supaya kemampuan berpikir dengan kaidah ilmu manthiq ini bisa menjadi massal atau memasyarakat?  

Makanya perlu dihidupkan kembali tradisi manthiqnya. Kami ini punya target bagaimana tradisi manthiq yang hidup di dalam kultur Islam, terutama di pesantren, itu menjadi hidup. Kalau dengan cara begini kan, nanti masif juga, orang bisa mempelajarinya. 

Selama ini kami melihat dari sekian rangkaian proses, rata-rata ilmu manthiq itu diberikan kepada santri-santri senior, sementara yang menjadi sasaran mereka untuk melakukan hoaks itu tadi, itu kan kepada santri-santri yang baru-baru, kecuali santri-santri yang mempunyai kepentingan atas ilmu itu (manthiq). Rata-rata itu yang terjadi. 

Sekarang bagaimana kawan-kawan di NU mengubah misalnya semacam kurikulum baru mendesain bahwa ilmu manthiq itu perlu dipelajari santri awal. Seperti itu harapannya supaya bisa membantu mengurai problem hoaks. 

Tahapan utamanya adalah mengarusutamakan logika di pesantren dengan harapan kemudian ke depan, ilmu berpikir yang benar jadi memasyarakat, kira-kira begitu ya tujuan program ini? 

Iya supaya bisa memfilter dirinya sendiri terhadap isu-isu yang fitnah itu. 

Bagaimana untuk masyarakat di luar pesantren? 

Karena begini, saat ini, karena arus utama Indonesia ini (informasi hoaks) masih menggunakan Islam ya, itu yang menjadi poin utama, bahwa kemudian ada masyarakat lain yang berbeda dengan itu, ya kami akan gunakan dengan cara lain karena dari Kominfo juga sudah masuk ke dalam literasi digital yang melibatkan masyarakat-masyarakat yang tidak berkultur agama. Jadi, kita didik juga. 

Kalau panduan sederhana, tanpa belajar ilmu logika terlebih dahulu, kan manusia itu mempunyai perangkat tersendiri, semacam sensor, informasi yang tidak berlogika itu bagaimana? 

Begini, setiap informasi itu pasti memiliki value (nilai) yang dipakai untuk mempengaruhi orang lain. Tujuan dari diciptakannya komunikasi atau bahan untuk berkomunikasi adalah mempengaruhi orang lain. Nah, inilah yang kemudian, desain ini, yang kemudian kita coba urai pemahaman cara berpikir tadi. Jadi, kontennya pasti kan punya tujuan, tapi si penerimanya, mau atau tidak ikut dalam konteks orang yang bertujuan tadi. Kalau kita agak berpikir sedikit kritis saja, barangkali tidak akan terseret menuju ke sana. Oh, ini informasi kurang pas, oh, ini tidak benar. 

Paling tidak bertanya ulang sebelum percaya pada informasi yang kita terima, begitu ya? 

Iya, kalaupun tidak serta-merta percaya, kan setidaknya mempertanyakan, informasinya seberapa benar juga.

Bagaimana kaitannya dengan pendidikan di Indonesia? 

Jadi begini. Jadi, perubahan sosial hari ini, salah satunya yang mendorongnya kan adalah tumbuhnya penggunaan internet. Anda pakai smartphone kan, coba Anda lihat di medsos, dalam satu hari, berapa banyak informasi yang masuk di dalam, tersampaikan di dalam medsos. Kalau jumlah volume informasinya sangat membludak dan tendensi informasinya sama, maka orang akan berpikir bahwa itu benar, oh, ini banyak kok informasinya, banyak yang mengatakan benar, maka orang akan terseret menjadi mengatakan ikut benar (meskipun informasi itu keliru atau hoaks). 

Makanya, selain kita menyajikan konten-konten positif seperti yang dilakukan NU Online, kita harus membentengi individu-individu supaya tidak gampang terseret pada arus besar tadi. Nah, ini nanti bukan pekerjaan mudah, selain kita menyiapkan individunya bisa pintar, kita juga harus menyiapkan produksi konten yang setanding juga. 

NU Online ini adalah portal nomor satu dalam konteks Islam. Tapi apakah NU Online cukup? Enggak. Karena yang lain banyak yang melakukan itu. Jadi, kita harus banyak menciptakan banyak sekali jenis-jenis seperti NU Online ini supaya banyak dan membanjiri informasi publik yang positif yang benar. Tidak semata-mata hanya menaikkan trafik.

Regulasi negara yang ada sekarang ini masih kurang efektif untuk menangkal hoaks ya? 

Regulasi sudah ada, beberapa regulasi; ada Undang-Undang ITE ada Undang-Undang Penyebaran Kebencian, ada undang-undang lain, fatwa pun sudah ada, fatwa dari MUI tentang penggunaan medsos sudah ada. Artinya pirantinya secara infrastruktur sudah dapat, tapi individu-individu yang menerima informasi ini yang harus digarap. 

Kenapa regulasi sudah ada, orang atau kelompok yang melakukannya, beberapa sudah dijerat hukum, tapi pencipta dan penyebarnya tidak kapok? 

Kan ini mereka bertujuan, sesuatu kelompok yang bertujuan untuk membius masyarakat dengan cara seperti ini. Kasusnya banyak. Ada orang yang menciptakan instabilitas dengan cara melontarkan informasi palsu dan sebagainya. Jadi, mari setelah kita punya kemampuan berpikir, menata ulang cara berpikir, kemudian kita akan bagaimana melakukan bagaimana cara mengklarifikasi informasi itu. Kemudian tahap ketiga, bagaimana kita memulai menulis konten yang benar, informasi yang benar. 

Kembali lagi ke manthiq, apakah Kominfo sudah memproduksi panduan praktis yang sangat sederhana berlandaskan ilmu tersebut, terkait bagaimana cara bermedia sosial yang benar?  

Tradisi ini, ilmu manthiq, yang mempelajari ini adalah santri senior. Nah, ini bagaimana, terserah teman-teman, saya bukan ahlinya, kami dari negara bukan ahlinya dalam hal itu, silakan kepada para ahli manthiq ini menyampaikan itu menjadi materi yang bisa dipahami secara luas.