Wawancara

Masjid Istiqlal Buka Akses untuk Penyandang Disabilitas Itu Revolusioner

Kam, 15 Agustus 2019 | 01:25 WIB

Masjid Istiqlal Buka Akses untuk Penyandang Disabilitas Itu Revolusioner

Bahrul Fuad (Cak Fuad)

Ada yang berbeda pada pelaksanaan ibadah shalat Idul Adha 1440 H, Ahad (11/8/2019) di Masjid Istiqlal Jakarta. Pasalanya, deretan difabel ikut serta pada ibadah tahunan itu. Mereka terlihat shalat di masjid, bahkan di baris pertama dengan posisi duduk di kursi roda.

Bagi anggota tim penulis buku Fiqih Penguatan Penyandang Disabilitas, Bahrul Fuad, pengelola Masjid Istiqlal yang membuka akses kepada penyandang disabilitas, sehingga mereka bisa menunaikan shalat Idul Adha secara berjamaah di dalam masjid merupakan peristiwa revolusioner dan bersejarah.

Cak Fuad, demikian pria ini kerap disapa, mengungkapkan ceritanya dalam wawancara yang dilakukan oleh Jurnalis NU Online, Husni Sahal, Rabu (14/8) di Gedung PBNU Jalan Kramat Raya Jakarta.

Lalu bagaimana respons lengkap pria yang sedang mengambil Program Doktoral Departemen Sosiologi Universitas Indonesia (UI) ini? Berikut petikan wawancaranya. 

Bagaimana Cak Fuad mengomentari dibukanya akses Masjid Istiqlal bagi penyandang disabilitas ini?

Kemarin itu (dibukannya akses Shalat Idul Adha bagi difabel) merupakaan sebuah gerakan revolusiner, dalam hal fiqih dan kebudayaan. Dalam hal fiqih, selama ini kan sering kali kursi roda, tongkat yang digunakan difabel dilihat atau dipandang sebagai barang yang membawa najis, sehingga sering kali teman-teman difabel pengguna kursi roda, pengguna tongkat, dia harus meninggalkan alat-alatnya di luar masjid dan juga pengguna tongkat itu dia harus meninggalkan tongkat-tongkat itu di luar masjid dan dia harus masuk ke masjid dengan merangkak. 

Selama ini juga temen-teman yang tuli, disabilitas tuna rungu belum pernah kalau khutbah bisa mengikuti isinya secara penuh, tapi kemarin di Istiqlal, panitia menyediakan layar besar dua kemudian disebar dengan layar TV LCD. Itu yang isinya pertama adalah gambar khotib dan satunya juru Bahasa isyarat. Teman-teman semua merasa gembira.

Jadi ini adalah sebuah revolusi dalam hal fiqih tadi karena kami ini kan orang-orang yang (selama ini) dianggap maridh, orang sakit, sehingga pendekatannya rukhsah. Kalau kamu tidak bisa mendengarkan shalat, kamu tetap sah meskipun kamu tidak bisa mendengarkan khutbah, tapi kan kemarin tidak. Bagaimana pemenuhan hak mereka juga ingin mendengarkan khutbah itu juga penting. Sehingga fiqih ini yang kemudian memberikan solusi terhadap itu.

Kemarin juga gitu itu Kursi roda bisa masuk ke shaf terdepan dengan pejabat VIP dan ini menjadi sesuatu luar biasa. Artinya bahwa Selama ini belum pernah terjadi orang shalat dengan menggunakan kursi roda. Kalau kursi biasa kan umum disediakan masjid, tapi ini kursi roda digunakan orang dari rumah, lewat jalan, kemudain wudlu dan masuk ke dalam masjid dan di atas karpet. Nah ini kan sesuatu yang belum terjadi selama ini.

Kalau revolusi kebudayannya, artinya ya bahwa teman-teman difabel yang selama ini dianggap sebagai kelompk nomor dua, second line di dalam kelompok masyarakat, pada shalat id kemarin diposisikan sejajar dengan masyarakat yang lain dalam strata kemasyarakatan, dalam hal ibadah, sehingga tidak lagi ‘oh kamu difabel harus dibelakang’.

Kita mempunyai kesempatan yang sama. Kalau di dalam aturan shalat berjamaah itu kan siapa yang datang duluan ini di shaf duluan. Nah ini kan terjadi karena temen-teman difabel ini berangkat dari rumah jam 3 (pagi), jadi nyampe di Istiqlal sebelum subuh. Jadi dia di shaf paling depan, haha...

Dan bagaimana orang juga tidak lagi memandang teman-teman difabel dengan penuh stigma negatif misalkan ‘oh difabel kasihan, ditolong’. Jadi ketika kemarin itu terjadi interaksi yang biasa saja. Tidak kemudian orang melihat kami dengan penuh haru, kasian, bersikap yang berlebihan. Tapi ya mereka dibiarkan saja, wajar-wajar saja, karena memang kami dipandang sebagai anggota masyarakat yang punya hak yang sama. Ini saya pikir mengubah kebudayaan kita berinteraksi secara setara.

Kalau respons dari temen-temen difabel yang lain sendiri gimana?

Pada waktu itu banyak yang WA saya. Dia (para difabel) nangis di dalam itu karena baru pertama kali dia merasa bisa shalat di dalam masjid pakai kursi roda. Jadi rasa haru, rasa dimanusiakan itu terjadi dan mereka dengan tulus nangis, rasa syukur. Aku dewek yo waktu konco-konco (aku sendiri saat teman-teman) shalat, itu mulai abis subuh takbiran, kemudian shalat id, aku yo rada terenyuh (saya ya agak terharu), terharu melihat temen-temen.

Begitu antusias temen-temen dari Bogor berangkat jam 3 (pagi), bayangkan. Jadi, mereka antusias karena selama ini kan yang tidak kita dapatkan itu adalah di-wongke, dimanusiakan. Kita itu sebenarnya tidak suka juga dimanja, kemudian dipandang sebagai orang luar biasa, itu kita gak nyaman. Tapi kita itu sebenarnya yang kita ingin itu sederhana: di-wongke, dimanusiakan. Menempatkan dia, siapa yang datang di masjid pertama kali maka menempati shaf pertama. Itu kan di manusianya.

Bagaimana ceritanya Pengelola Masjid Istiqlal sampai mau memberikan akses kepada difabel itu?

Ya sebenarnya awalnya kan dari buku Fiqih Penguatan Penyandang Disabilitas, terus kemudian kita dengan P3M, dengan LBM NU Kang Sarmidi, dengan Lakpesdam dan Bimas Islam kita bertemu, kemudian kita sharing tentang buku itu pada FGD yang di Bogor. Kemudian itu disambut baik, ditindaklanjuti lagi di Jakarta di Mention Hotel itu, kemudian ada (pihak) Istiqlal. Kita tekan saja. Gimana kalau besok kita coba.

Awalnya Istiqlal ragu-ragu, kita belum pernah, sumber daya, SDM gak siap, dananya dan lain sebagainya. Pada akhir penutupan, Pak Dirjen Bimas Islam, Pak Muhammadiyah Amin hadir terus dilaporin sama Bu Azizah (Kasubdit Bina Paham Keagamaan dan Penanganan Konflik Sosial Keagamaan Ditjen Bimas Islam). Kemudian Pak Dirjen bilang, ‘Wah ini gimana ini, harus ini, saya setuju.

Pokoknya besok shalat id harus akses untuk temen-temen disabilitas, dan ini sudah menjadi instruksi dari pak presiden. Mau gak mau, pokoknya besok shalat ied harus mengundang temen-temen disabilitas sebanyak mungkin’. Istiqlal kan gak bisa nolak karena Istiqlal di bawah Bimas Islam, haha...

Sepengetahuan Cak Fuad, pelayanan terhadap difabel ini baru di Masjid Istiqlal atau sebelumnya sudah ada di masjid-masjid lain?

Sebelumnya sudah ada di Masjid El-Syifa di Ciganjur, Jakarta Selatan. Sebenarnya sudah beberapa kali dan itu menjadi model. Cuma kalau Istiqlal ini kan beda. Istiqlal ini kan bisa ditonton seluruh Indonesia dan menjadi rujukan dari masjid-masjid yang ada di Indonesia, sehingga momen kemarin itu sebenarnya penting untuk sosialisasi dan mendorong masjid-masjid yang lain di Indonesia juga melakukan hal yang sama.

Lalu, soal akses dari Masjid Istiqlal untuk difabel itu hanya untuk Shalat Idul Adha juga atau tidak?

Kita harapkan ini menjadi titik awal. Kelanjutnya ya ketika jumatan, shalat rawatib ya harus dilakukan seperti itu, aksesnya dibuka. Makanya kan besok hari Senin, saya mau sowan ke Profesor Nasaruddin, Imam Besar Masjid Besar Istiqlal. Pertama, aku mau mengucapakan terima kasih. Kedua mau menyerahkan buku fiqih disabilitas itu. Ketiga, saya minta untuk ini terus dikawal, didorong supaya menjadi gerakan bersama, gerakan masif di seluruh Indonesia. 

Dan harus diingat bahwa pemantiknya itu adalah buku Fiqih Penguatan Penyandang Disabilitas. Itu yang orang mungkin sering kali gak ngeh, Kenapa ini bisa terjadi? Karena ada buku fiqihnya ini. Yang awalnya di pra-Munas Purwakarta (2017) sudah menyampaikan itu, dan berdebat dengan para kiai pada waktu itu. 

Kemudian di Purwakarta saya mendapatkan dukungan dari Kiai Ishomuddin, Kiai Imam Aziz, dan Kiai Moqsith. Tiga tokoh ini yang mendorong sampai munas Lombok. Di Munas Lombok ini, kemudian terjadi lagi perdebatan karena kan nyuwun sewu, kiai-kiai sepuh melihat difabel dalam kerangka berpikir ini adalah orang-orang, umat yang mendapat ujian, orang yang mendapat cobaan, orang sakit, maka sikap-sikap yang berkembang itu adalah kashian, kemudian lebih kepada hal-hal yang sifatnya memaklumi.

Sehingga kan pendekatan fiqih yang digunakan juga rukhsah, makanya kan para kiai pada waktu itu kan ‘loh kenapa, gak papa kalau tempat wudlunya gak akses gak papa, kamu tayamum aja trus shalat, gak masalah. Itu udah ada di fiqihnya’. Tapi kan kalau kemudian kami, difabel selalu mengunakan rukhsah sampai kapan tempat wudlu di PBNU (Misalnya) ini diperbaiki, gitu, dibuat akses hahahaha. Kalau misalkan ‘gak ap-apa yang tuli itu gak mendengarkan khutbah shalat Jumatnya tetap sah karena itu kan keadaan itu darurat’.

Tapi sampai kapan temen-temen tuli itu bisa tahu isi khutbahnya. Kemudian masjid meyediakan fasilitas itu, kan gak pernah terjadi nantinya, makanya saya selalu bilang, fiqih penguatan disabilitas ini bukan hanya sebagai petunjuk bagi teman-teman difabel melakukan ibadah, bukan itu, itu sudah masuk dalm fiqih ibadah, tapi fiqih disabilitas ini lebih kepada penekanan keluar. Jadi ini sebagai alat untuk mendorong pihak-pihak penyedia layanan untuk kemudian menyediakan fasilitas.

Jadi tentang akses pada shalat rawatib dan Jumatan belum diobrolin dengan pihak Masjid Istiqlal?

Belum, tapi Senin nanti aku sowan untuk ngobrolin itu. advokasi itu kan harus dikawal terus, gak boleh putus-putus. (*)