Wawancara

Kominfo: Isu Kesehatan Signifikan untuk Politik

Sen, 15 April 2019 | 05:50 WIB

Kominfo: Isu Kesehatan Signifikan untuk Politik

Marroli J. Indarto

Menjelang pemilihan presiden RI 2019, hoaks semakin gencar tersebar ke publik, terutama melalui saluran media sosial seperti Facebook, Twitter, dan lain-lain. Kuantitasnya bahkan lebih tinggi. Menurut data Kominfo RI, peredarannya melonjak hingga seribu persen. Ini sungguh sangat mengkhawatirkan karena berita hoaks bisa memperkeruh suasana, memecah antaranak bangsa. 

Dalam data Kominfo RI, hoaks yang terkait di tahun politik ini terdapat berbagai macam, di antaranya terkait kesehatan. Untuk mengetahui hal itu, 
Abdullah Alawi dari NU Online mewawancarai Kepala Subdirektorat Informasi dan Komunikasi Kesehatan, Direktorat Informasi dan Komunikasi Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Kemenkominfo, Marroli J. Indarto. Berikut petikannya: 

Bisa cerita bagaimana hoaks di tahun politik dan bagaimana pula penanganannya?

Kementerian Kominfo punya amanat menjalankan Undang-Undang untuk melaksanakan komunikasi publik. Nah, komunikasi publik ini kita sekarang sedang menghadapi masalah yang darurat terkait dengan hoaks. Ini saya mengutip dari sebuah lembaga riset ya, sebenarnya tentang hoaks ini hampir 70 persen masyarakat ini ingin hoaks itu diberantas. Bahkan kalau lebih detil lagi, kalau dibelah berdasarkan kategori status ekonomi seseorang itu mau dari tingkat SD maupun kuliah, itu paling tinggi di rata-rata yang lulus di S1, SD, SMP, SMA, ingin hoaks diberantas.

Nah, paling tinggi itu di tingkat kuliah. Artinya, jadi, makna dari data itu bahwa masyarakat berpendidikan ingin hoaks diberantas. Dari partai politik, semua partai politik ingin hoaks itu diberantas. Artinya pertanyaannya, pastinya ada aktor kan, yang memproduksi hoaks karena dari sebelah sini dari sebelah sana. Dari sebelah sana juga sebelah sini. Selanjutnya dari data Kominfo dari Agustus 2012 sampai Maret 2019 itu ada 1224 hoaks. Memang pada Agustus 2018 ini hoaksnya sedikit, hanya 25. Kami, Kominfo juga melakukan track terhadap hoaks. Paling Agustus 25, 27, sampai akhir tahun, Desember, paling tiap bulan sebulan 75. Tapi mulai Januari melonjak seratus persen ya, hoaksnya ada 175 per bulan. Di Februari dari 175, naik menjadi 353, jika dibandingkan dengan 2018, hoaksnya meningkat, dibandingkan dengan Agustus 2018 hampir 1000 persen. Maret lebih tinggi, ada 453.

Nah, temuan hoaks paling tinggi adalah hoaks terkait politik, itu 319, kita sebut 5 terbesar saja ya: politik 319, kesehatan 182, pemerintahan 170, fitnah 151, dan kejahatan 87, sisanya banyak ya, ada agama, agama ada 81, sisanya ada bencana alam, penipuan dan lain-lain. Artinya bahwa kita harus aku tren terhadap hoaks ini terus meningkat. 

Pada wawancara sebelumnya, dari Kominfo juga, Pak Deddy Hermawan mengatakan bahwa hoaks paling tinggi adalah terkait agama? Bagaimana penjelasannya? 

Tapi politik ini banyak, terkait pilpres, ada sedikit-sedikit unsur agamanya. Di kesehatan juga tinggi lho. 

Nah, itu bagaimana? 

Nah, hoaks di kesehatan ini lumayan tinggi. Kalau mengacu data Kominfo ini peringkat kedua ya. Hoaks ini terbagi dua. Pertama itu hoaks yang kesehatan yang terkait dengan politik, misalkan dana kesehatan, BPJS untuk membangun infrastruktur ya. Terus, ada tuh ada seorang yang lumayan terkenal bahwa anak-anak Indonesia kekurangan gizi  karena duitnya untuk membeli aspal, kurang gizi ini terkait dengan stunting kan, itu hoaks kesehatan yang terkait politik. Yang keduanya kesehatan yang memang terkait kesehatan, misalkan kolang-kaling bisa mengobati diabetes, air minum dalam kemasan bisa meledak. Itu contoh-contohnya aja ya.

Jadi, artinya saya tegaskan lagi ya di bidang kesehatan misalkan hoaks tentang BPJS digunakan untuk infrastruktur, ini kan BPJS dana kesehatan, ini enggak ada hubungannya, infrastruktur ada anggarannya sendiri. Terus lagi, tentang dana BPJS tidak menanggung pembiayaan, itu tidak benar juga. BPJS itu sejak awal, konsepnya urun biaya. Jadi, artinya, BPJS membayar berapa, masyarakat membayar berapa melalui iuran.

Cuma kadang-kadang masyarakat di Indonesia itu, misalkan ya, yang harusnya bisa melahirkan secara normal begitu ya, lebih ke gaya hidup ya, kadang ingin sesar, itu kan sebenarnya harus membayar tambah dana. Terus misalkan obat; obat di dalam BPJS itu kan jelas, sudah ada ketentuannya, dia ingin obatnya tidak generik atau apa, itu kan harus nambah. Kemudian dianggap, wah, BPJS sekarang harus bayar. Itu salah.

Ada lagi juga yang viral, dulu ada seorang dokter bilang; sekarang rumah sakit kami tidak bekerja sama lagi dengan BPJS, padahal dari statementnnya, Menteri Kesehatan itu hanya 7 rumah sakit saja, tidak banyak, tidak sampai 10 rumah sakit yang memutus kerja sama dengan BPJS. Karena apa? Karena kalau kerja sama dengan BPJS harus terakreditasi rumah sakitnya, nah, dia sedang proses akreditasi. 

Orang yang berbohong terkait kesehatan itu apa motifnya? 

Sebenarnya psikologis ya. Orang Indonesia itu, agak khawatir segala hal terkait kesehatan. Terutama kesehatan dirinya. Kalau dipantik dengan isu-isu kesehatan, orang lebih cepat bergerak. Padahal belum tentu benar. Banyak motivasinya, bisa jadi karena dia akan menjual sesuatu. Kedua, dia mengisi ketidaktahuan-ketidaktahuan publik. Ya, motivasinya membikin satu isu saja. Padahal isu kesehatan itu, benar tidaknya harus ke dokter yang mengetahuinya. 

Di bidang kesehatan ini komposisinya berimbang, hoaks yang politis dan nonpolitis. Kalau yang nonpolitis ini lebih disebabkan karena ingin menimbulkan ketakutan. Kalau yang politis itu, nembaknya ke arah pemerintah kesehatan, seperti tadi BPJS. 

Kenapa menyerang lewat kesehatan untuk tujuan politik itu banyak? 

Karena kesehatan, kesehatan itu kan sesuatu yang harus ditanggung pemerintah. Dan kita tahu hari ini BPJS lebih dari 200 juta penggunanya. Artinya, menyerang satu isu, mendelegitimasi BPJS saja, dampaknya besar, dari sisi jumlahnya, hampir 160-an juta orang data sampai Juli (2018) menggunakan fasilitas kesehatan BPJS, artinya dia berobat, periksa, itu mengakses kan, itu sangat tinggi sekali kan. Satu isu saja, BPJS tidak gratis, dampak politisnya luar biasa. 

Kalau kita lihat narasi-narasi di bidang kesehatan yang nonpolitis ya, lebih ke ingin instan ya, kolang-kaling bisa menyembuhkan diabetes ya, itu kan sederhana padahal tidak. Artinya, model-model begitu kan mudah ditangkap masyarakat. Tanaman dewa petir ampuh mengobati kanker, itu kan mempengaruhi masyarakat kita yang sedang hobi-hobinya mencari pengobatan alternatif  pengobatan. 

Kesehatan itu terkait dengan nyawa. BPJS ini kan mengcover penyakit-penyakit yang berat juga kan, kanker, cuci darah, ini kan biayanya, apalagi jantung, asal tahu saja, orang pengobatan jantung itu kalau dikonversi dengan peserta yang lain itu setara dengan 5 ribuan peserta satu kali obat, 100 juta lebih, bayarnya sama. Artinya, kalau itu kemudian dinarasikan itu tidak dicover, orang jadi khawatir, psikologis kan. Berkaitan langsung dengan dirinya. Misalkan saya biasa cuci darah, biasanya gratis, tiba-tiba dapat info tidak dicover; bagaimana; kan masalah nyawa. Kalau isu politik sudah selesai, nanti isu kesehatan. Trennya terus naik. Nah, yang nonpolitis ini tadi, ketika terjadi banyak kanker, orang mencari alternatif, padahal belum teruji dalam bidang medis. 

Intinya penyakit berat seperti cuci darah tetap dicover ya? 

Negara tetap mengcover.

Bagaimana BPJS membayar sedemikian banyak? 

BPJS selalu mengalami defisit ya. Itu artinya antara jumlah klaim dengan premi yang dibayar itu selalu defisit. Itu ada angkanya. 

Negara mengatasi itu bagaimana? 

Ya banyak hal, negara kan mensubsidi, terus memberikan dana itu. Pilihannya itu atau menaikkan kan preminya kan. Tapi kalau menaikkan angka preminya kan kemudian kan menjadi isu bersama. Jadi, kesehatan menjadi isu menarik. Isu sekarang harus membayar itu kacau banget. Ini signifikan juga dampaknya.Â