Wawancara

Benarkah Penaikan Tarif Dapat Mengatasi Masalah BPJS?

Rab, 6 November 2019 | 05:30 WIB

Benarkah Penaikan Tarif Dapat Mengatasi Masalah BPJS?

Foto: NU Online/Ahdori

Masalah kesehatan menjadi masalah kunci setiap bangsa di dunia. Kebijakan-kebijakan tepat oleh pemerintah diharapkan hadir untuk mempermudah masyarakat dalam mendapatkan layanan maksimal kesehatan. Sebaliknya, kebijakan yang kurang tepat dapat memperparah masalah-masalah yang ada terutama bagi masyarakat kecil.

Pemerintah Indonesia melalui Peraturan Presiden no 75 tahun 2019 telah resmi menaikkan iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan sebesar 100 persen. Aturan itu berlaku untuk semua peserta BPJS Kesehatan baik peserta bukan penerima upah maupun peserta bukan pekerja.

Aturan kenaikan yang diteken oleh Presiden Joko Widodo pada Kamis (24/10) tersebut merupakan perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan. Besaran iuran yang harus dibayar masyarakat mencapai Rp 42.000 per bulan untuk kelas III, Rp 110.000 per bulan untuk kelas II, dan Rp 160.000 per bulan untuk kelas I.

Aturan yang akan berlaku pada Januari 2020 tahun depan itu menuai pro dan kontra dari masyarakat, para aktivis, akademisi dan praktisi. Mereka ikut memberikan tanggapan atas polemik ini. Sebagian lagi menilai langkah pemerintah dapat mencekik masyarakat kecil jika aturan ini diberlakukan.

Untuk menggali lebih dalam bagaimana seharusnya sistem untuk memperbaiki layanan kesehatan di Indonesia, pada Selasa (5/11) sore wartawan NU Online Abdul Rahman Ahdori mengunjungi Ketua Umum Masyarakat Hukum Kesehatan Indonesia (MHKI) yang juga Dosen di Fakultas Kedokteran Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta, dr Mahesa Paranadipa di Ciputat, Tangerang Selatan. Berikut petikan wawancaranya:

Bagaimana tanggapan Dokter terkait penaikan tarif BPJS Kesehatan yang telah disahkan Pemerintah?

Kenaikan iuran yang disampaikan bertujuan untuk mengatasi defisit yang dialami BPJS Kesehatan menurut saya merupakan solusi yang sifatnya mengatasi masalah jangka pendek. Karena, letak permasalahan adalah besarnya biaya pelayanan (baik yang diklaim rumah sakit melalui INA-CBGs, atau pembayaran Kapitasi di layanan primer) lebih besar dari dana JKN yang masuk dari peserta. 

Tercatat masih ada permasalahan kolektivitas dana iuran dari peserta bukan penerima upah yang saat ini masih di angka 53,72%. Ditambah lagi, tanggung jawab pemerintah untuk memberi dana talangan defisit tidak tuntas 100% dana yang dibutuhkan sehingga kalau hanya memfokuskan kepada penaikan iuran, maka beban pembiayaan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) seakan-akan dibebankan kepada rakyat.

Sebagai dokter sekaligus dosen bidang kedokteran apakah kenaikan ini menjadi solusi bagi dunia kesehatan kita, utamanya mengenai optimalisasi layanan pasien?

Hampir sama seperti jawaban pertanyaan di atas. Tambahannya adalah selain membenahi manajemen dana jaminan oleh BPJS Kesehatan, tanggung jawab yang lebih besar adalah pada Kementerian Kesehatan untuk membenahi sistem kesehatan kita.

Persoalan masih banyaknya masyarakat sulit mengakses fasilitas kesehatan yang memadai  terutama di daerah dengan jarak dan kondisi geografis yang terpencil atau sangat terpencil, kondisi fasilitas kesehatan yang masih banyak di bawah standar, pengawasan obat dan makanan yang masih lemah, tingginya pajak alat kesehatan modern, dan lain-lain masih menjadi pekerjaan rumah besar Kementerian Kesehatan.

Kalau bicara hulunya, kualitas pendidikan tenaga medis dan tenaga kesehatan lain yang masih rendah, serta tingginya biaya pendidikan kedokteran menimbulkan permasalahan mendasar yang perlu juga diselesaikan.

Selanjutnya, beberapa kalangan menilai kenaikan ini mencekik masyarakat kecil, apa tanggapannya?

Jika yang dimaksud masyarakat kecil di sini adalah masyarakat yang tidak masuk dalam kategori Peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI), maka penaikan iuran klas III sebesar 42 ribu rupiah akan memberatkan keluarga yang memiliki banyak jumlah anggota keluarga.

Begitupun masyarakat yang mengambil iuran klas II dari 51 ribu rupiah menjadi 110 ribu rupiah. Jika anggota keluarganya berjumlah lebih dari 5 orang, tentu langkah pemerintah akan memberatkan pengeluaran setiap bulan.

Agar penaikan ini berimplikasi pada normalisasi subsidi silang kelas 1, 2 dan 3 peserta BPJS langkah-langkah apa yang harus dilakukan pemerintah?

Mau tidak mau, pemerintah harus gencar melaksanakan program preventif promotif, ditujukan untuk menekan angka kesakitan masyarakat terutama yang rentan mengalami penyakit-penyakit degeneratif. Lingkungan hidup sehat juga harus diperhatikan agar masyarakat mendapat dukungan menjalani hidup lebih sehat.

Bicara soal pelayanan kesehatan di Indonesia, ada perbandingan pengelolaan dan pelayanan kesehatan di Indonesia dengan negara lain?

Mengacu kepada negeri jiran Malaysia, jaminan sosialnya tidak memberlakukan jaminan kesehatan bagi pekerja sektor swasta dan militer. Untuk masyarakat miskin, program jaminan kesehatannya diselenggarakan oleh Social Security Organization (Socso) atau Pertubuhan Kemalangan Sosial (Perkeso). Di Malaysia dan juga di negara ASEAN lain seperti Singapura serta Brunei, pemerintah gencar meningkatkan pemahaman masyarakat untuk pola hidup sehat, sehingga angka penyakit-penyakit degeneratif dan katastropiknya lebih kecil dibandingkan Indonesia.