Daerah

Tanpa Mawaddah dan Rahmah, Sakinah Tak Pernah Terwujud

Sel, 5 November 2019 | 14:30 WIB

Tanpa Mawaddah dan Rahmah, Sakinah Tak Pernah Terwujud

Ketua PCNU Jember, Jawa Timur, KH Abdullah Syamsul Arifin (pegang mic) saat menjadi pemateri dalam Seminar Nasional yang mengusung tema ‘Keluarga Maslahah: Indonesia Maju’ di aula kantor PCNU Jember, Senin (4/11). (Foto: NU Online/Aryudi AR)

Jember, NU Online

Ungkapan sakinah mawaddah wa rahmah seringkali meluncur dalam ajang pernikahan. Sebuah harapan agar pasangan yang baru mengarungi hidup bersama diberi ketenangan, cinta dan kasih sayang. Padahal jika menempatkan tiga kata itu dalam satu ungkapan dengan makna yang hampir sama, kurang tepat.

 

Demikian diungkapkan Ketua Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Jember, Jawa Timur, KH Abdullah Syamsul Arifin saat menjadi pemateri dalam Seminar Nasional yang mengusung tema Keluarga Maslahah: Indonesia Maju di aula kantor PCNU Jember, Senin (4/11).

 

Menurut Gus Aab, sapaan akrabnya, ungkapan populer yang berasal dari Al-Qur’an surat Arrum ayat 21 itu kerap kali diterjemahkan dalam satu bangunan makna yang hampir sama. Seakan-akan sakinah, mawaddah dan rahmah merupakan satu maksud dengan tiga kata.

 

“Tapi kalau memakai uslub al-Qur’an, ketika itu (sakinah, mawaddah wa rahmah) disampaikan (dimaknai) berbanding lurus, itu kurang tepat,” ujarnya.

 

Ia menegaskan, sakinah adalah institusi (pernikahan), sementara mawaddah dan rahmah merupakan piranti yang harus ada sebagai pelengkap institusi itu sendiri. Sehingga tanpa piranti itu, sakinah bisa dipastikan tidak ada, atau setidaknya hambar.

 

Dikatakannya, sejumlah mufassir memang membikin penafsiran sendiri terhadap surat Arrum ayat 21 itu. Ada yang mengartikan secara umum bahwa mawaddah adalah rasa cinta yang muncul di antara pasangan suami istri yang berangkat dari dorongan seksual yang wujudnya, antara lain adalah penyaluran kebutuhan biologis.

 

Sedangkan rahmah adalah kasih sayang yang muncul tanpa harus diorong oleh kebutuhan penyaluran seksual karena kelemahan dan ketidakberdayaan fungsi seksnya.

 

“Pendeknya begini, kalau mawaddah itu, muncul di awal pernikahan hingga sekian waktu lamanya. Sedangkan rahmah itu muncul belakangan ketika secara seksual sudah tidak mampu berbuat apa-apa. Dan ini tetap lestari sampai kapanpun. Beda dengan mawaddah,” urainya.

 

Namun mawaddah dan rahmah itu muncul dalam satu intitusi yang namanya pernikahan. Sehingga dengan mawadah dan rahmah, maka diharapkan pernihahan itu menjadi tempat berteduh yang tenang bagi sepasang suami istri.

 

Salah satu tugas manusia selaku kholifah adalah mengembangkan keturunan untuk meneruskan perjuangan (dakwah). Untuk itu, manusia dilengkapi dengan nafsu seksual. Namun nafsu seksual itu tidak boleh digunakan sembarangan kecuali melalui sebuah pernikahan.

 

“Saya kira keluarga maslahah, minimal harus ada intitusinya (pernikahan), kemudian ada pirantinya, yaitu mawaddah dan rahmah,” pungkasnya.

 

Pewarta: Aryudi AR

Editor: Ibnu Nawawi