Warta

Suka Duka Relawan NU Mengevakuasi Mayat

NU Online  ·  Rabu, 19 Januari 2005 | 04:52 WIB

Jakarta, NU Online
Mengevakuasi jenazah korban bencana alam di Nangroe Aceh Darussalam (NAD) tentunya bukanlah hal yang mudah dan menyenangkan untuk dilakukan oleh setiap orang. Selain kondisi tubuh korban yang rata-rata sudah rusak parah, juga bau busuk yang menyengat hidung, merupakan alasan bagi orang awam untuk tidak melakukan evakuasi.

Beda halnya dengan Beni (29), Ahmad (21) dan teman-temannya relawan dari PBNU yang terdiri dari Banser dan gabungan anak muda NU pencinta alam yang justru semakin bersemangat membantu mengevakuasi puluhan mayat korban gempa dan tsunami di Banda Aceh setiap hari.

<>

Beni bersama lima belas rekannya yang bertugas khusus sebagai tim evakuasi dari 50 relawan PBNU itu tiba seminggu setelah gempa dan tsunami melanda Banda Aceh dan sekitarnya pada 26 Desember 2004 lalu. 35 relawan lainnya bertugas di posko kesehatan, mambantu distribusi logistik dan tim monitoring yang terus memantau perkembangan proses evakuasi di NAD untuk di laporkan ke PBNU maupun pihak lain.

Dengan menggunakan sarana transportasi darat dari Jakarta-merak-medan-Binjai -Tebing Tinggi-Banda Aceh selama hampir lima hari, rombongan yang berangkat bersama 6 truk bantuan PBNU yang terdiri dari 2 truk pengangkut 20 ton beras, 2 ton kurma dan 4 tronton berisi pakaian, makanan dan obat-obatan itu langsung menuju posko peduli NU di Banda Aceh yang sudah berdiri sejak dua hari paska Tsunami.

Setiba di Banda Aceh, tutur Beni, pemandangan pertama yang dilihat mereka adalah mayat bergelimpangan hampir di semua penjuru kota, reruntuhan bangunan yang berserakan bahkan juga bangkai kendaraan dan kapal nelayan yang teronggok tidak karuan. "Saat itu kami membayangkan Aceh seperti kota mati yang tak berpenghuni," tuturnya kepada NU.Online.

Dengan kendaraan militer, yang di komando oleh KODIM Banda Aceh, rombongan relawan kemanusiaan PBNU tersebut langsung dibawa ke Posko Penanggulangan Bencana Alam NAD di Banda Aceh untuk bergabung dengan relawan yang lain dan secara bergilir akan menyisir daerah disekitar Banda Aceh dan Aceh Besar yang belum terevakuasi.

Setelah menikmati istirahat sejenak dan menghilangkan mabuk Darat yang menimpanya, sukarelawan-sukarelawan itu langsung mendapat tugas membantu TNI mengevakuasi mayat dan menguburkannya. Evakuasi mayat pertama yang dilakukan relawan PBNU itu dimulai di wilayah Aceh Besar yang terdiri dari kawasan Desa Tanjung Deah (Lambaro), Kajhu, Labui, Punge dan Lambada (Baitussalam), sekitar lima kilometer dari jantung kota Banda Aceh. Keempat desa tersebut merupakan daerah yang cukup parah diterjang tsunami di wilayah Aceh Besar, sehingga banyak jenazah yang belum dievakuasi karena masih sulitnya dilalui kendaraan roda empat.

"Kondisi dan kerusakan kawasan ketika itu sangat menyulitkan tindakan evakuasi karena selain reruntuhan bangunan masih belum disingkirkan, timbunan lumpur juga menghalangi jalan yang akan dilalui," kata Beni, lulusan sebuah pesantren di Jawa Timur itu.

Tapi, ia melanjutkan, itu semua tidak menghalangi kami untuk membantu melakukan evakuasi jenazah yang mulai menebarkan aroma busuk yang menyengat. Beni dan juga rekan-rekannya sesama sukarelawan mengakui pada awalnya tidak tahan menghadapi bau mayat yang mulai membusuk, perut menjadi mual dan terasa ingin muntah. "Tidak ada gunanya pakai masker penutup hidung karena baunya tetap saja tercium," ujarnya. Ia menambahkan: "Lama kelamaan kami jadi terbiasa dan kerja evakuasi tidak terganggu lagi oleh bau busuk yang menusuk".

Sukarelawan-sukarelawan dari PBNU itu pada umumnya adalah orang-orang baru yang belum pernah diterjunkan untuk melakukan evakuasi jasad korban. Tugas mengurus jenazah itu dilakukan mulai pukul 08.00 WIB hingga pukul 17.00 WIB dengan waktu istirahat pada pukul 12.00-13.00 WIB, untuk makan siang ataupun menunaikan ibadah.

Setiap kali melakukan evakuasi, ada saja pengalaman-pengalaman baru yang mereka dapatkan. Tidak jarang mereka menemukan pemandangan mengerikan seperti tengkorak kepala jenazah yang sudah pecah sebagian, isi perut yang terburai hingga serpihan daging ataupun kepala-kepala yang terlepas dari tubuh. "Kami juga sering menemukan jenazah yang sudah penuh dengan belatung dan ketika mayat itu akan diangkat perutnya pecah dan belatung-belatung itu berhamburan semua," katanya.

Pada hari kedua dan ketiga setelah bencana, umumnya kondisi jenazah pada umumnya masih bisa dikenali, namun memasuki hari keempat dan seterusnya, mayat-mayat mulai rusak, dan aroma busuk semakin menyengat. Sementara itu, hingga tanggal 6 Januari 2005 atau 11 hari setelah bencana, di Aceh Besar baru terevaku