Menyoal Fadli Zon: Narasi Sejarah Dikorupsi, Korban dan Kemanusiaan Dihilangkan
NU Online · Kamis, 19 Juni 2025 | 21:30 WIB

Diskusi Publik bertajuk Membongkar Sejarah yang Dikorupsi oleh Negara di Aula Resonansi, Kalibata, Pancoran, Jakarta Selatan, Kamis (19/6/2025). (Foto: NU Online/Mufidah)
Mufidah Adzkia
Kontributor
Ia mempersoalkan pernyataan Menteri Kebudayaan Fadli Zon yang dinilai sedang mencoba menghilangkan narasi sejarah. Menurutnya, sejarah harus menjadi refleksi kolektif bangsa.
“Upaya-upaya untuk menghilangkan narasi yang melanggengkan kekuasaan bukan tidak mungkin, karena upaya pemutihan dan penghilangan sejarah lewat manipulasi narasi dan sebagainya sudah ada, bahkan beberapa kali,” ungkap Virdinda dalam Diskusi Publik bertajuk Membongkar Sejarah yang Dikorupsi oleh Negara, di Aula Resonansi, Kalibata, Pancoran, Jakarta Selatan, Kamis (19/6/2025).
Dinda, sapaan akrabnya, menjelaskan bahwa kekerasan struktural di Indonesia terus berlangsung dan bahkan tumbuh semakin kokoh.
“Praktik-praktik ini merupakan rangkaian praktik penghilang sejarah yang mengarah pada kokohnya impunitas di negara kita,” tegasnya.
Ia menilai bahwa di tengah belasan kasus pelanggaran berat HAM yang belum terselesaikan, pemerintah justru menunjukkan minimnya komitmen terhadap pengungkapan kebenaran dan pemulihan korban.
“Hadirnya Kementerian HAM pun faktanya bukan untuk komitmen menegakkan HAM atau membersamai kasus-kasus pelanggaran berat HAM di masa lalu, tetapi justru yang kita lihat malah pembangunan Universitas dan Rumah Sakit HAM,” pungkasnya.
Senada, sejarawan JJ Rizal mengkritik praktik penulisan ulang sejarah yang menurutnya lebih didasarkan pada prinsip dagang ketimbang nasionalisme. Ia menilai, sejarah nasional telah dijadikan komoditas yang tunduk pada tenggat dan angka proyek.
“Angka Rp9 M (miliar) ini angka bisnis yang deadline-nya harus jelas. Jadi buat saya ini bukan penulisan sejarah, (tapi) ini perdagangan sejarah jadi prinsipnya perdagangan,” kata Rizal.
“Menurut saya, penulisan ulang sejarah itu praktik politik bahkan menulis sejarah itu tricky business (hal yang rumit). Proses penulisan sejarah sebagai tricky business punya koridor yang namanya prinsip,” tambahnya.
Rizal menegaskan bahwa prinsip penulisan sejarah nasional adalah nasionalisme, karena nasionalisme merupakan antitesis dari kolonialisme.
“Dalam sejarah kita nasionalisme itu antitesis dari kolonialisme jadi artinya penulisan ulang atau revisi sejarah nasional Indonesia harus memegang prinsip nasionalisme dan harus mengurai antitesis kolonialisme,” jelasnya.
“Kolonialisme jelas kejahatan kemanusiaan, jadi kalau tidak ada suara mengenai kejahatan kemanusiaan artinya bukan sejarah nasional,” tambahnya.
Ia mengingatkan bahwa revisi sejarah tidak boleh lepas dari suara-suara korban, terutama mereka yang mengalami penderitaan di berbagai wilayah Indonesia.
Aktivis Indonesia Corruption Watch (ICW) Nisa Rizkiah menambahkan bahwa penghilangan bagian-bagian dari sejarah hanya akan menguntungkan segelintir pihak yang berkepentingan.
“Karena pada ujungnya, penghilangan bagian-bagian sejarah akan menguntungkan berbagai pihak atau segelintir pihak,” kata Nisa.
“Narasi yang dikorupsi ini bukan soal pemerintah tidak bisa menuliskan ulang sejarah tapi narasinya jangan dikorupsi (dihilangkan),” tambahnya.
Nisa mengingatkan bahwa sejarah Indonesia adalah sejarah yang kompleks dan penuh luka, serta tidak bisa disederhanakan demi kepentingan sesaat.
Terpopuler
1
Mulai Agustus, PBNU dan BGN Realisasikan Program MBG di Pesantren
2
Zaman Kegaduhan, Rais Aam PBNU Ingatkan Umat Islam Ikuti Ulama yang Istiqamah
3
PBNU Tata Ulang Aset Nahdlatul Ulama Mulai dari Sekolah, Rumah Sakit, hingga Saham
4
Khutbah Jumat: Belajar dari Pohon Kurma dan Kelapa untuk Jadi Muslim Kuat dan Bermanfaat
5
Ekologi vs Ekstraksi: Beberapa Putusan Munas NU untuk Lindungi Alam
6
Khutbah Jumat: Bahaya Tamak dan Keutamaan Mensyukuri Nikmat
Terkini
Lihat Semua