Warta

Pengungkapan Kasus Santet Banyuwangi Terkendala Masyarakat

NU Online  ·  Jumat, 4 Januari 2008 | 08:02 WIB

Jakarta, NU Online
Upaya Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mengungkap kembali kasus pembantaian berkedok dukun santet di Banyuwangi, Jawa Timur, pada 1998 silam, terkendala masyarakat sendiri. Pasalnya, hingga saat ini, masyarakat yang menjadi korban pembantaian itu masih trauma.

“Kita (Tim Investigasi Komnas HAM) ke sana (Banyuwangi). Tapi, masyarakat masih trauma. Mereka tampaknya belum berani dan takut untuk memberi kesaksian lagi,” ujar anggota Komnas HAM, Ahmad Baso, kepada NU Online, di Jakarta, Kamis (3/1) kemarin.<>

Sejauh ini, kata Baso—begitu panggilan akrabnya—pihaknya sudah cukup memiliki bukti untuk membawa kasus pembantaian yang menewaskan 116 korban itu ke Pengadilan HAM. Dari data yang didapat, tambahnya, kasus tersebut diindikasikan merupakan pelanggaran HAM berat.

Ia mensinyalir, tragedi yang sebagian besar korbannya kalangan Nahdliyin (sebutan untuk warga Nahdlatul Ulama) itu, dilakukan secara sistematis dan terencana.

Salah satu bukti kuat, ditemukannya salinan radiogram Bupati yang ditujukan kepada para kepala desa, lewat camat-camat di wilayahnya. Radiogram itu berisi instruksi kepada para kepala desa dan camat untuk mendata orang-orang yang diduga berpraktik sebagai dukun santet.

“Ternyata, sebagian besar korban, namanya ada dalam daftar orang yang diduga sebagai dukun santet itu,” terang Baso yang juga pengurus Lajnah Ta’lif wan Nasyr NU.

Namun demikian, tegasnya lagi, upaya pengungkapan aktor intelektual di balik tragedi tersebut mengalami kendala di masyarakat. “Para keluarga korban, mintanya sederhana saja. Mereka minta kompensasi (uang santunan) dan rehabilitasi nama baik,” pungkasnya.

Baso mengaku sudah menyampaikan permintaan para keluarga korban itu ke bupati dan kepala kepolisian resor Banyuwangi. “Bupati dan kapolres sudah siap untuk memenuhi permintaan itu,” jelasnya.

Sebelumnya, KH Said Aqil Siroj—mantan anggota Tim Investigasi NU untuk kasus tersebut—menyatakan, para ustaz, guru mengaji, kiai kampung atau kiai kecil di desa merupakan sasaran utama pembantaian itu. Umumnya, para kiai kampung yang dituduh sebagai dukun santet itu dibantai saat hendak beribadah salat malam.

Ia juga membenarkan adanya radiogram yang berisi instruksi dari bupati setempat melalui Surat Keputusan (SK) No. 450/Sep/439.409.1997. Melalui surat itu, ujarnya, bupati meminta kepada seluruh kades di Banyuwangi untuk mendaftarkan nama orang-orang yang diduga sebagai dukun santet.

Mantan anggota Komnas HAM itu juga mengatakan, ada kejanggalan lain yang ditemukan. Menurutnya, kasus tersebut merebak menjelang digelarnya Kongres Partai Demokrasi Indonesia (sekarang menjadi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan-PDIP) di Denpasar, Bali, pada Oktober 1998. (rif)