Pendidikan Agama Kurang Sentuh Ranah Afeksi
NU Online · Selasa, 30 September 2003 | 11:21 WIB
Jakarta, NU Online
Pendidikan agama yang diajarkan selama ini lebih menekankan ranah kognisi dan sangat kurang menyentuh ranah afeksi yang menjadi akar bagi tumbuh kembang kesadaran keagamaan dan kesadaran ketuhanan.
"Hal itu memunculkan kecenderungan untuk memanipulasi ajaran agama bagi kepentingan pragmatis di bidang ekonomi dan politik," kata Guru Besar IAIN Sunan Kalijaga, Prof Dr Abdul Munir Mulkhan pada seminar Rethinking Islam di Yogyakarta, Selasa.
<>Di sisi lain, menurut dia, kecenderungan tersebut juga muncul pada peneguhan kepentingan spiritual yang seolah-olah ingin membebaskan diri dari pola kehidupan tanpa nilai, meskipun hampir selalu gagal dipenuhi.
Dalam keadaan seperti itu diperlukan model keberagamaan yang dapat menjadi jangkar kehidupan yang terus menerus berubah semakin cepat dalam cakupan yang luas.
"Itu adalah suatu model keberagamaan yang disusun berdasarkan tafsir kritis atas berbagai sumber ajaran agama sehingga memiliki kemampuan memecahkan berbagai persoalan kehidupan sosial, ekonomi, politik, budaya, dan kesenian," katanya.
Ia mengatakan, model seperti itu sangat diperlukan karena pengetahuan kognitif terhadap berbagai doktrin ajaran agama tidak cukup untuk menyelesaikan berbagai problem kehidupan yang dihadapi pemeluk suatu agama yang terus menghadapi perubahan sosial yang cepat.
"Dalam hal ini, diperlukan kesadaran ketuhanan yang tidak selalu berhubungan secara signifikan dengan jumlah dan penguasaan pengetahuan tentang Tuhan dan ajaran agama-Nya," katanya.
Oleh karena itu, model pembelajaran tatap muka yang lebih mementingkan ranah kognisi tidak lagi sesuai dengan ketersediaan media informasi tentang ajaran agama sekaligus nilai yang bertentangan yang setiap saat dapat diakses semua lapisan masyarakat.
Sehubungan dengan hal itu, saat ini diperlukan model pembelajaran keagamaan dialogis yang membuka kemungkinan berlangsungnya diskusi dengan berbagai disiplin ilmu yang dipelajari mahasiswa di perguruan tinggi.
Selain itu, perlu pula dikembangkan model pembelajaran eksploratif yang memungkinkan mahasiswa memperoleh pengalaman ketuhanan melalui penjelajahan sosial dan alam.
"Model pembelajaran itu diharapkan dapat menumbuhkembangkan kesadaran ketuhanan sebagai jangkar perubahan sosial dan mobilitas sosial yang cepat dan luas," katanya.
Ia berharap, kesadaran ketuhanan mampu mengembangkan model keberagamaan yang berfungsi menyelesaikan berbagai problem ketidakadilan, demoralisasi elit dan umat.
"Pada akhirnya model pembelajaran dialogis dan kritis serta eksploratif itu diharapkan berfungsi sebagai jangkar bagi pemeluk agama yang taat di tengah kehidupan global yang mencerminkan silangan lintas peradaban tanpa harus terseret pada arus stigmatisasi yang merugikan semua pihak," katanya.(mkf)
Â
Terpopuler
1
Khutbah Jumat HUT Ke-80 RI: 3 Pilar Islami dalam Mewujudkan Indonesia Maju
2
5 Poin Maklumat PCNU Pati Jelang Aksi 13 Agustus 2025 Esok
3
Jumlah Santri Menurun: Alarm Pudarnya Pesona Pesantren?
4
Kantor Bupati Pati Dipenuhi 14 Ribu Kardus Air Mineral, Demo Tak Ditunggangi Pihak Manapun
5
Nusron Wahid Klarifikasi soal Isu Kepemilikan Tanah, Petani Desak Pemerintah Laksanakan Reforma Agraria
6
Badai Perlawanan Rakyat Pati
Terkini
Lihat Semua