Warta

PCNU Kota Tegal: Pawai Rolasan Jangan Malam Duabelas

Sen, 14 Februari 2011 | 04:05 WIB

Tegal, NU Online
Pawai Rolasan dalam rangka peringatan Maulid Nabi Muhamad SAW yang diadakan oleh kelompok Islam tertentu dalam hal ini yayasan Syi’arul Islam yang berada di kelurahan Panggung kota Tegal, menuai kritik dari PCNU kota Tegal.

“Saya tak bermaksud menghalang-halangi orang akan melakukan syiar Islam dengan mengadakan pawai Rolasan untuk memperingati kelahiran Nabi Muhamad SAW, tapi sebaiknya jangan pas ketika warga NU sedang mengadakan acara maulid di masjid-masjid, musola dan sebagainya, karena tradisi itu sudah turun temurun dilakukan oleh Nahdliyin sejak tanggal 1 Robiul awal sampai 12 Robiul awal,” demikian dikatakan Muslih, Wakil Ketua PCNU kota Tegal, kepada NU Online, belum lama ini di Tegal.
gt;
Dalam pandangan Muslih, kalau pawai Rolasan dilakukan bebarengan dengan apa yang sudah menjadi tradisi Nahdiyin yakni membaca Barzanji, Diba’i atau Simthudurar pada setiap malam dari tanggal 1-12 Robiul awal, dikhawatirkan akan mengganggu jalanya kegiatan Nahdliyin, Jadi sebaiknya acara pawai Rolasan yang dilakukan oleh Yayasan Syi’arul Islam diundur jangan berbarengan dengan kegiatan tradisi Nahdliyin.

“Tapi kalau tahun sekarang, kayanya tidak mungkin diundur kegiatan pawai Rolasan yang sudah dicanangkan oleh yayasan Syi’arul Islam dan mendapat dukungan dari pemkot, tapi paling tidak untuk tahun mendatang jangan terulang lagi” katanya.

Muslih berharap sesama kelompok Islam saling menghormati dan hal-hal semacam ini walaupun kelihatanya remeh, tapi kalau memicu ketersinggungan akan berakibat kurang baik. Justu dari hal-hal kecil ini kita saling menghormati, kasus Ahmadiah yang pernah terjadi di Tegal di tahun 90an persolanya hanya sepele yaitu Ahmadiah tak mau  solat berjamaah dengan warga sekitar, yang dipersoalkan bukan akidahnya pada saat itu.

“Menjaga keharmonisan dan kondusifitas mari kita jaga antar kelimpok Islam. Islam sebenarnya tak mengenal cara-cara kekerasan, apalai Nahdliyin yang menganut faham Tasamuh, Tawasut, Tawazun dan I’tidal, maka cara-cara kekerasan seperti peristiwa di Pandeglang dan Temanggung, kami yakin itu bukan cara-cara NU dalam menanggapi sebuah perbedaan,” kata Muslih membandingkan.

Kalau kelompok-kelompok Islam saling tahu diri, misalnya kelompok yang kecil jangan memancing-mancing kegiatan yang membuat ketersinggungan kelompok Islam yang besar. Demikian pula kebalikanya, yang besar jangan merasa besar inginya menang sendiri. Kalau ini diperhatikan dan komunikasi untuk memperkecil perbedaan dilakukan, maka peristiwa seperti di Pandegelang dan Temanggung tidak akan terjadi. (fth)