Nasional

DPR Ogah Diawasi, MK Dianggap Tukang Koreksi, Pakar Sebut Ini Gejala Otoritarianisme Legislasi

NU Online  ·  Selasa, 1 Juli 2025 | 21:00 WIB

DPR Ogah Diawasi, MK Dianggap Tukang Koreksi, Pakar Sebut Ini Gejala Otoritarianisme Legislasi

Pakar Hukum Tata Negara, Bivitri Susanti saat sidang uji formil UU TNI, Selasa (1/7/2025). (Foto: tangkapan layar Youtube MKRI)

Jakarta, NU Online

Sikap Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang memandang Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai "tukang koreksi" menimbulkan kekhawatiran akan praktik otoritarianisme dalam proses legislasi. 


Pernyataan ini disampaikan oleh pakar hukum tata negara STH Jentera, Bivitri Susanti menanggapi sejumlah kritik DPR terhadap putusan pembatalan Undang‑Undang oleh MK. Dia menegaskan bahwa checks and balances hanya efektif jika DPR bersedia diawasi dan menghormati konstitusi.


“DPR menganggap MK hanya ‘tukang koreksi’. Padahal Mahkamah adalah benteng terakhir supremasi konstitusi. Mengabaikan putusannya berarti melemahkan prinsip checks and balances," kata Bivitri dalam sidang uji formil Mahkamah Konstitusi Sidang Perkara Nomor 45, 56, 69, 75, 81/PUU-XXIII/2025 pada Selasa (1/7/2025).


Bivitri juga mengungkapkan bahwa saat pengujian formil di MK, seringkali mahasiswa yang menjadi pemohon mendapatkan tekanan dari berbagai pihak.


"Adanya tekanan pada adik-adik kita, mahasiswa yang menjadi pemohon di uji formil, sampai dengan mengatai lembaga swadaya masyarakat sebagai antek asing. Pada saat protes, narasi yang diberikan selalu, bila tidak puas silahkan bawa ke mahkamah konstitusi," ujarnya.


Menurut Bivitri dalam beberapa kesempatan, DPR kerap menyatakan bahwa bila masyarakat atau lembaga lain tidak puas terhadap produk legislasi, “silakan bawa ke MK”. Namun, ketika UU itu benar-benar dibatalkan, DPR lantas mengeluhkan capek-capek membuat undang‑undang malah dibatalkan MK.


“Ada pola pikir bahwa pembuat undang‑undang tak ingin diawasi. Ini adalah salah satu penanda kuat karakter otoritarianisme, karena demokrasi meniscayakan akuntabilitas kepada warga, bukan hanya mengandalkan ‘tukang koreksi’,” tegas Bivitri Susanti.


Bivitri mengingatkan, proses legislasi bukanlah sekadar rutinitas administratif atau teknokratik belaka. Ia adalah esensi negara hukum yang seharusnya berlandaskan moralitas, transparansi, dan partisipasi publik.


“Legislasi tak bisa dilihat sebagai pasal-pasal kosong yang dibuat semau-maunya penguasa. Harus ada naskah akademik yang dipublikasikan, partisipasi publik bermakna, dan mekanisme Prolegnas yang diikuti secara ketat,” ujarnya.


Menurut Bivitri, sikap DPR yang menyepelekan fungsi pengawasan MK mencerminkan gejala autokratik legalisme penyalahgunaan hukum untuk memperkuat kekuasaan eksekutif-legislatif.


“DPR menganggap MK hanya ‘tukang koreksi’. Padahal, Mahkamah adalah benteng terakhir supremasi konstitusi. Mengabaikan putusannya berarti melemahkan prinsip checks and balances,” sambung Bivitri.


Padahal seharusnya, menurut Bivitri DPR meninjau kembali mekanisme internalnya agar tak mengulangi kesalahan.


“Kalau DPR merasa lelah karena Undang‑Undang dibatalkan, mungkin saatnya introspeksi: apakah mereka telah menjalankan prosedur legislasi sesuai konstitusi dan peraturan DPR?” pungkas Bivitri.