Warta DAN PEMENANGNYA ADALAH HUBBU

Novel tentang Seorang Santri yang Melakukan ”Pemberontakan”

Sab, 17 Maret 2007 | 17:08 WIB

Jakarta, NU Online
Sayembara Penulisan Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) kali ini dimenangkan oleh Mashuri (31) dengan karya berjudul HUBBU yang berkisah tentang perjalanan seorang pemuda desa biasa menuju suatu ruang yang sangat jauh di sana, jauh dari tradisi keluarganya, jauh dari pesantren.

Mashuri adalah jebolan dua Pondok Pesantren yakni Pesantren Salafiyah Wanar dan Pesantren Ta’sisur Taqwa, keduanya berada si Lamongan, Jawa Timur. Kini Mashuri sedang aktif mengisi rubrik Ngaji Sastra di harian Duta Masyarakat. Novel HUBBU memenangi 249 naskah yang dikirim kepada panitia penyelenggara. ”Dewan juri memilih Hubbu karena sangat utuh dan padu ceritannya,” kata Sastrawan Ahmad Tohari, satu dari tiga orang juri pada "Malam Anugerah Sayembara Novel DKJ 2006" di Taman Islail Marzuki (TIM) Jakarta, pekan lalu.

<>

Kisah diawali ketika Jarot, seorang mahasiswa Universitas Airlangga Surabaya, menemukan istilah yang pernah ia dengar dengan segenap perasaan, yang ingin dikuburnya jauh di lubuk dada: Sastra Gendra. Ungkapan itu mampu menyeretnya dari waktu kekinian, mengingatkannya pada masa kecilnya di desa Alas Abang dengan latar belakang budaya santri nan kental.

Ia teringat masa lalunya di lingkungan keluarga, juga di lingkungan pesantren yang telah menempa dirinya dengan segala renik uniknya. Ia teringat harapan keluarganya, agar dia meneruskan pesantren warisan leluhurnya di Alas Abang, meski ia memilih jalan sendiri: memberontak pada tradisi keluarga. Sebagai puncak ‘pemberontakan’-nya, ia belajar di perguruan tinggi umum.

Begitu simpul tali kenangan itu tersentuh, walau ia sudah jauh dari Alas Abang, semua kenangan dan ingatannya seakan-akan terbuka, tumpah-ruah, termasuk kisah-kisah sedihnya saat menapaki masa-masa remaja di kampung halaman. Ia teringat rajutan kisah-kasihnya. Di antaranya kepada Istiqomah, seorang santri perempuan. Memang, semasa di pesantren, ia juga merajut kasih dengan gadis pujaannya itu, dengan model pacaran khas pesantren. Istiqomah sering disebut Jarot dengan sapaan ‘Priangan si Jelita’.

Demikianlah, Jarot menjadi salah seorang di antara sekian juta mahasiswa yang turun ke jalan untuk berteriak: “Turunkan Suharto!” Sayang, seiring dengan tergulingnya penguasa Orde Baru itu, ternyata terguling pula dunia ‘ideal’ Jarot. Ia merasa menjadi manusia paling nista di dunia; ia merasa tak lagi bisa mempertahankan nilai-nilai yang ia perjuangkan selama ini, juga masalah tabu seks yang seharusnya ia hindari. Ia terjerat affair cinta dengan Agnes, seorang gadis cantik, bermasalah, dan masih tetangga rumah kontrakannya.

Hubungan asmara mereka sampai pada taraf intim: seks pra nikah. Sebagai seorang yang memiliki latar belakang santri dari keluarga terhormat, Jarot pun merasa sangat berdosa setelah melakukan perbuatan terkutuk itu. Pada titik inilah, Jarot benar-benar merasa dirinya identik dengan Begawan Wisrawa, meski sebelumnya ia juga merasa identik dengan tokoh wayang itu. Begawan Wisrawa merupakan tokoh wayang yang tergelincir ke lembah nista, padahal awalnya ia ingin mengajarkan sebuah pengetahuan suci. Perlu diketahui, sebelum Jarot terjerat cinta dan ‘tidur’ dengan Agnes, sebenarnya Jarot ingin mengembalikan orientasi rasa ketuhanan Agnes yang goyah.

Pada akhirnya Jarot pun bertindak ekstrim: ia memenggal kehidupannya dengan masa lalu, baik terhadap Surabaya maupun Alas Abang. Ia minggat ke Ambon bersama Agnes, sebagai satu ikrar penebusan dosa. Ia ingin memulai hidup baru, dengan beban keterpurukan jiwa yang hebat. Di Ambon pun ternyata banyak hal yang membuatnya sadar sekaligus tertampar. Apalagi ada peristiwa yang seakan-akan kembali menasbihkan kesalahannya: Agnes meninggal setelah melahirkan seorang bayi perempuan, yang ia beri nama Sonya. Ia lalu menikah dengan Zulaikha, berputeri satu. Ia beri nama Aida.

Semua episode sekitar masa kejatuhan ‘masa muda’ Jarot itu dikuak oleh Aida, yang diharapkan Jarot bisa menjadi ‘penyuci’ noda terhadap kesalahan dirinya sebagai orang tua di masa silam. Dengan jiwa muda dan jiwa zaman yang berbeda, tahun 2040, Aida menelusuri masa lalu dan obsesi ayahnya. Aida pergi ke Surabaya untuk bertemu dengan Teguh sahabat Jarot, juga ke kampung Alas Abang guna bertemu dengan keluarga sang ayah yang sudah lama dilupakan, serta sama sekali tak dikenal Aida. Aida menemukan jawab berbagai rahasia yang dipendam ayahnya, termasuk obsesi ‘agung’ pada masa muda Jarot. (nam)