Warta DISKUSI NU ONLINE

Sastra Sunda, Sastra Pesantren yang Menjadi Alat Kolonial?

Kam, 18 Januari 2007 | 04:31 WIB

Jakarta, NU Online
Pesantren disebut-sebut sebagai sebuah subkultur yang menyajikan aneka ekspresi dan karya cipta sebagai bagian dari pembentuk Kebudayaan Nusantara. Apa yang dikenal kini sebagai sastra daerah sebagian muncul berkat racikan kalangan pesantren dalam membentuk karakter Islam Nusantara ini.

Sastra Sunda, misalnya. Para pelopor dan eksponennya kebanyakan berasal dari akar pesantren, yang hingga kini tetap bertahan. Namun, ia kemudian dibakukan dan distandarkan untuk kepentingan kolonialisme. Rupanya sastra menjadi alat untuk menyiasati “keterasingan” para “kumpeni” dengan penduduk pribumi yang akan mereka kuasai.

<>

Hal ihwal “sastra sunda” akan dibincang dalam diskusi NU Online bulan ini di ruang redaksi NU Online lantai V gedung PBNU, Jakarta, Kamis (18/1) pukul 15:00. Sebagai pembicara Acep Zamzam Noor, penyair asal cipasung yang juga putra mantan Rais Aa’m PBNU KH. Ilyas Rukhiyat, Ahmad Subbnudin Alwy dari pusat kesenian Nyi Mas Rarasantang Cirebon, Ahmad Baso peneliti kebudayaan Lajnah Ta’lif wan Nasyr (LTN) PBNU, dan Binhad Nurrohmat penyair yang alumni Pesantren Krapyak Yogyakarta.

Bagaimana kemudian Raden Mohammad Moesa (1822-1886), penghulu kepala dari Limbangan (kini Garut), dikolaburasikan dengan K.F. Holle (1829-1896), sarjana Belanda peneliti sastra Sunda, diklaim menjadi cikal bakal munculnya “sastra Sunda” atau bahkan “kebudayaan Sunda”?

Moesa sebagai kelompok elit pribumi menjadi alat kultural untuk mendominasi budaya yang dijajah. Dalam konteks kolonial memang tradisi ditekan atau dimanipulasi oleh kekuasaan kolonial; sebagai sesuatu yang pasif. Dari sinilah dimulai penciptaan “budaya halus” atau “budaya lemes” diidentikkan sebagai ciri khas kesastraan Sunda.

Namun, di sisi lain, lambat laun tradisi “yang diciptakan” semacam itu mulai mengancam. Sejumlah pemberontakan terhadap kolonialisme justru muncul dari penciptaan itu. Ada seorang Belanda bernama Snouck Hurgronje yang kemudian memunculkan ide pengawasan terhadap komunitas agama dan kebudayaan di Nusantara. Maka, pikiran jangka panjang dalam benak para penjajah adalah “edukasi”. Supaya warga pribumi menjadi rasional, modern dan tercerahkan seperti mereka. Entahlah. (nam)