Warta

Sastra Pesantren, Akhir Keterasingan Pesantren terhadap Kota

Rab, 28 Februari 2007 | 02:30 WIB

Jakarta, NU Online
Kemunculan beragam karya sastra dengan latar kehidupan pesantren atau—yang kemudian disebut sastra pesantren—dalam khazanah sastra di Indonesia dewasa ini merupakan fenomena baru yang unik. Kemunculannya yang selanjutnya diikuti lahirnya penulis-penulis sastra dari kalangan remaja pesantren dinilai sebagai akhir dari keterasingan pesantren terhadap kehidupan perkotaan.

“Lahirnya penulis-penulis (sastra-Red) cilik atau remaja dari kalangan santri merupakan tanda berakhirnya alienasi (baca: keterasingan-Red) dunia pesantren terhadap kota,” kata Jamal D Rahman, Pemimpin Redaksi Majalah Horizon, saat menjadi narasumber pada acara Temu Penulis Remaja Pesantren di Kantor Wahid Institut, Jalan Taman Amir Hamzah, Matraman, Jakarta, Selasa (27/2) kemarin.

<>

Acara yang diikuti pelajar SMU se-DKI Jakarta itu juga menghadirkan dua novelis remaja pesantren. Antara lain Penuli novel Tarian Cinta Maia Rosydah dan Penulis novel Gus Yahya: Bukan Cinta Biasa Fina Af’idatussofa.

Jamal mengungkapkan, dalam sejarahnya, keberadaan pesantren di Indonesia muncul sebagai bentuk perlawanan terhadap penjajahan. Komunitas pesantren membuka ruang perlawanan terhadap pemerintah kolonial yang berbasis di kota dengan menciptakan banyak tradisi kebudayaan yang berbeda, termasuk dalam kesenian; sastra, musik, seni rupa, seni peran, dan sebagainya.

Dalam perkembangannya, lanjut Jamal, pesantren selalu mengambil posisi berlawanan dengan tradisi dan kebudayaan perkotaan yang dibawa kaum kolonial. “(kaum penjajah-Red) Belanda pakai celana, santri pakai sarung. Belanda pakai dasi, santri pakai peci. Belanda membaca sastra roman, santri membaca nadhoman. Belanda memainkan musik jazz atau blues, santri memainkan musik gambus atau kasidah. Belanda hidup di kota, santri di desa. Begitu seterusnya. Semuanya dalam posisi berlawanan,” terangnya.

Oleh karenanya, munculnya penulis-penulis remaja dari pesantren yang baru terjadi dewasa ini merupakan warna tersendiri dalam dunia sastra di Tanah Air dan patut diapresiasi. “Sastra tidak lagi terbagi pada sastra serius, sastra populer, dan lain-lain. Tapi juga ada sastra pesantren,” katanya.

“Di era 1960-an sempat muncul nama Jamal Suherman, novelis dari kalangan santri, karyanya mengambil setting (latar-Red) pesantren. Namun, hal itu tidak menggejala dan seolah menjadi tren baru dalam dunia sastra seperti sekarang ini,” tambah Jamal.

Sisi positif lain dari fenomena baru tersebut, menurut Jamal, generasi muda saat ini punya tambahan referensi bacaan sastra yang lebih memiliki semangat remaja. Karya sastra yang pasarnya adalah untuk remaja, katanya, akan memilki rasa yang lebih mewakili kehidupan seputar remaja.

“Karya sastra untuk remaja yang ditulis oleh generasinya jelas lebih memiliki rasa. Berbeda dengan penulis yang lain generasi, penulis tua, tapi karyanya untuk remaja sekarang. Rasanya pasti lain,” ungkap Jamal.

Selain itu, ujar Jamal, sastra pesantren juga berjasa dalam mengenal dunia pesantren kepada masyarakat luas. Dengan demikian, hal itu juga akan membantu merubah pandangan buruk orang luar terhadap pesantren yang belakangan dinilai sebagai sarang teroris. (rif)