Warta

Franky Sahilatua: Produser Modal Asing Mendominasi Pembajakan Industri Musik

NU Online  ·  Kamis, 27 Januari 2005 | 15:50 WIB

Jakarta, NU Online
Tindakan menggandakan hasil rekaman lagu dari kaset, cd, atau vcd yang dibuat untuk tujuan pertemanan bukan jenis pembajakan yang merugikan. Hanya pembajakan   yang dilakukan untuk tujuan komoditi yang akan mengakibatkan kerugian, baik bagi pelaku seni maupun negara.

Demikian dikatakan oleh Franky Sahilatua, penyanyi lagu-lagu balada dalam Diskusi Bulanan yang diselenggarakan NU Online, situs resmi PBNU, Kamis (27/1) di Gedung PBNU Jakarta.

<>

Menurut Franky, mengcopy satu kaset ke kaset lain untuk kepentingan persahabatan tidak merusak struktur industri musik. Sebaliknya, mencopy lagu dari vcd, cd, kaset atau MP3 dengan tujuan komersial jelas-jelas akan merusak struktur industri musik. Artinya, pelaku seni dirugikan karena hak cipta dan hak terkait yang semuanya berjumlah 15 persen dirampas oleh pembajak.

 “Jangan heran bila saat ini banyak cerita yang sangat menyedihkan mengenai kehidupan para seniman dan produser musik nasional, sementara para pembajak menikmati kehidupan yang sangat berlimpah,” ungkapnya.

Kondisi yang sama, kata Franky,  dapat pula menimpa produser musik modal asing yang saat ini menguasai industri musik nasional, apabila pelaku pembajakan bukan dari produser sendiri.

Persoalannya, kata Franky, pelaku pembajakan untuk tujuan komersial itu dari kalangan produser yang mendominasi industri musik nasional itu sendiri. “Total hasil rekaman legal yang mereka buat hanya sekitar 16 persen, tetapi total produksi haramnya atau yang dibajak mencapai 84 persen, “ ungkap Franky.

“Bagaimana mungkin, produser musik tidak memiskinkan seniman, sementara mereka menikmati kemewahan,” kata Franky menandaskan.

Kerugian yang diderita negara akibat pembajakan yang dilakukan para produser untuk tahun 2002 mencapai Rp 17.199 miliar. “Bila jumlah seniman musik yang terlbiat dalam industri ini, diasumsikan 10 ribu orang, dan Hak para seniman sebesar 15 persen, maka rata-rata kerugian seorang seniman musik untuk tahun 2002 sebesar Rp 257.985 ribu per orang,” paparnya.

Menurut Franky, maraknya  pembajakan yang bersembunyi di balik badan hukum sebagai produser resmi itu terjadi sejak pengusaha rekaman nasional bangkrut akibat krisis ekonomi pada 1997. Pemain asing dalam industri rekaman pun tidak memberikan kesempatan pemain nasional untuk bangkit kembali. “Akibatnya, bukan hanya memiskinkan seniman dan negara, tetapi juga membunuh kreatifitas seni para seniman,” katanya.

Franky pun menyebutkan angka penurunan kreatifitas itu, sebelum industri musik lokal dikuasai asing, rata-rata album yang diproduksi setiap bulannya mencapai 50 – 60 album. Intensitas itu menurun drastis sejak pemodal asing menguasai industri musik nasional. “Jangankan dalam satu bulan, dalam satu tahun saja album yang diproduksi paling besar hanya kurang dari 50 album,” tuturnya.

Atas dasar itu, Franky meminta DPR RI memikirkan strategi kebudayaan yang tepat untuk mengatasi merosotnya industri musik untuk menyelamatkan masa depan bangsa Indonesia.

Pernyataan Franky pun langsung disambut Masduki Baidlowi, anggota DPR RI dari Komisi X, komisi kebudayaan. Menurut Masduki, Indonesia meski menjadi sasaran dari ekspansi kebudayaan asing, tetapi hingga saat ini belum punya Undang-Undang tentang kebudayaan. Masduki pun menyatakan keprihatinannya, sebagai negara besar kenapa Indonesia hanya mempunyai UU tentang Cagar Budaya. Padahal, UU tentang Kebudayaan itu dibutuhkan untuk mengatur strategi kebudayaan bangsa Indonesia dalam menghadapi ekspansi kebudayaan bangsa asing.

Selain, Franky dan  Masduki, hadir pula sebagai pembicara dalam diskusi yang mengangkat tema “Mengembalikan Harkat Industri Musik Nasional”,  Sides Sudyarto, seorang budayawan. (Dul)