Warta

Asumsi Harga Minyak Dalam RAPBN 2005 Dipertanyakan

NU Online  ·  Kamis, 19 Agustus 2004 | 15:01 WIB


Jakarta, NU Online
Asumsi harga minyak dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2005 dinilai banyak kalangan kurang tepat. Sebab harga minyak mentah dunia sejak beberapa bulan yang lalu terus meroket dari 38 dollar AS hingga mendekati 46 dollar AS per barrel pada saat ini. 

“Saya tidak yakin pada tahun 2005 pemerintah akan mampu menggiring harga minyak mentah dunia mencapai 24 dollar AS per barrel,”kata Pengamat Perminyakan Bachrawi Sanoesi kepada NU Online, Kamis (19/8). 

<>

Pernyataan Sanoesi ini salah satunya didasari kondisi harga minyak mentah di pasaran dunia saat ini. Menurut pengamat perminyakan yang juga staf pengajar di fakultas ekonomi Universitas Trisakti ini,  harga minyak mentah cenderung akan terus melonjak, kalau pun turun tidak jauh dari kisaran di bawah 40 dollar AS per barrel. Sehingga pemerintah akan kesulitan dalam menggiring harga minyak sampai kisaran 24 dollar AS per barrel.

Kesulitan ini disamping disebabkan Indonesia bukan satu-satunya negara penghasil minyak, juga masih diragukan kemampuannya dalam memproduksi 1,125 juta barrel per hari seperti asumsi produksi minyak dalam RAPBN 2005.

“Semua sudah tahu, bahwa dilihat dari kemampuan produksi minyak dan tingkat konsumsinya dalam sehari menunjukkan statusnya sebagai negara pengimpor minyak (net importer),”jelas Sanoesi. 

Berbeda dengan Sanoesi,  Menteri Keuangan Boediono dalam jumpa pers mengenai Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 2005 justeru berpendapat sebaliknya. Menurutnya,  tidak ada seorang pun yang bisa menebak posisi harga minyak pada tahun depan.

Selain itu, perkiraan rata-rata harga minyak mentah Indonesia (Indonesia Crude Price/ ICP) hanya berkisar 34-35 dollar AS per barrel. Harga inilah yang dijadikan landasan untuk asumsi APBN, dan bukan harga yang sempat menembus 45 dollar AS per barrel.

Menurut Boediono, tingginya harga minyak mentah dunia saat ini disebabkan oleh faktor psikologis. Oleh karena itu, jika kondisi yang menyebabkan pasar cemas teratasi, harga akan kembali normal.

Boediono pun buru-buru menandaskan, “Apa pun itu selalu ada simetrinya, kalau bisa naik selalu bisa turun. Karena ada kehati-hatian dan pertimbangan keseimbangan dari segi risiko, maka posisi harga minyak mentah yang dipatok RAPBN 2005 sebesar 24 dollar AS per barrel itu yang terbaik,”kata Boediono. 

Justeru karena kondisi yang menyebabkan pasar cemas kemungkinan besar hingga 2005 masih belum sepenuhnya dapat diatasi, maka Sanoesi berani menilai harga yang dipatok dalam RAPBN 2005 tersebut kurang tepat.

Karena itu dia mengatakan, “Idealnya dengan kondisi kecemasan dunia yang belum dapat diatasi, harga minyak yang dipatok APBN berada di kisaran antara 30 hingga 35 dollar AS per barrel,”ungkap pengamat perminyakan yang juga mantan pendiri Lembaga Perekonomian PBNU ini.


Namun demikian, penilaian Sanoesi bukan berarti menutup kemungkinan harga minyak dunia bisa mencapai normal hingga 24 dollar AS per barrel. Menurutnya, kemungkinan tersebut ada namun tergantung beberapa hal, seperti;  pertama, apakah pada tahun depan permasalahan yang dihadapi rusia sebagai produsen minyak terbesar di dunia saat ini bisa selesai; kedua, kemampuan negara-negara yang tergabung di dalam OPEC dalam meningkatkan produksi minyak mereka; dan ketiga, bila negara-negara OECD (produsen minyak di luar OPEC, seperti Malaysia) bersedia melepas persediaan produksi minyak mereka ke pasar dunia.

“Jika OPEC  menaikkan tingkat produksi minyaknya sebesar dua hingga tiga juta barrel per hari pada tahun depan, tetap tidak akan mampu menurunkan tingginya harga minyak mentah dunia,”ujar Sanoesi.

Menurut Sanoesi, jika harga minyak dalam RAPBN 2005 tidak diubah, maka dapat dipastikan akan berdampak besar pada kondisi APBN pada periode tersebut.

Misalnya,  bila harga minyak dunia tetap bertengger di posisi 40 dollar AS per barrel tentu pemerintah harus memberikan subsidi bagi kebutuhan konsumsi BBM dalam negeri sebesar 16 dollar AS per barrel. Bila ini terjadi, maka defisit dalam APBN 2005 yang direncanakan Rp 16, 9 triliun akan mengalami penambahan sebesar 16 dollar AS untuk setiap barrel dari total konsumsi BBM dalam negeri.

Dan bila ini terjadi, kata Sanoesi, pertumbuhan ekonomi yang direncanakan sebesar 5,4 persen pun tentu tidak akan bisa dicapai, bahkan dipastikan akan lebih rendah. Sebab pemerintah harus mengurangi biaya pengeluaran di luar biaya rutin, seperti proyek-proyek pembangunan yang merupakan investasi pemerintah.

Sebaliknya, kata Sanoesi,