Indonesia Krisis Kepemimpinan: Negarawan Langka, Politisi Justru Melimpah
NU Online · Rabu, 30 Juli 2025 | 14:45 WIB
M Fathur Rohman
Kontributor
Jakarta, NU Online
Guru Besar Filsafat Universitas Pelita Harapan Prof Fransisco Budi Hardiman menyampaikan kritik tajam terhadap situasi politik Indonesia saat ini. Menurutnya, Indonesia sedang mengalami krisis kepemimpinan. Krisis itu ditandai dengan langkanya negarawan sejati dan justru melimpahnya politisi yang hanya mengejar kekuasaan.
Hal ini mencuat setelah mantan Presiden Joko Widodo mulai menunjukkan kedekatan dengan partai politik usai lengser dari jabatan kepala negara.
Bahkan hampir semua kepala negara di Indonesia yang ketika sudah lengser dari jabatannya, tetapi masih saja bersikap partisan dengan melibatkan diri ke dalam partai politik.Â
Prof Budi kemudian menjelaskan perbedaan sosok negarawan dengan politisi yang terletak pada muatan moral.Â
"Perbedaan antara negarawan dan politisi mengandung muatan moral: politisi itu partisan, sedangkan negarawan non-partisan, republikan, patriotis," kata Prof Budi, saat dihubungi NU Online, Rabu (30/7/2025).
Menurutnya, transisi dari seorang politisi menjadi negarawan bukanlah proses instan. Ada lima kondisi fundamental yang perlu dipenuhi sistem politik Indonesia agar dapat melahirkan sosok negarawan.
Pertama, sistem hukum ketatanegaraan dan budaya hukum yang dijalankan secara publik dan deliberatif. Kedua, pengalaman kolektif dalam berdemokrasi melalui institusi hukum yang adil.
Ketiga, birokrasi meritokratis yang tidak feodal dan bukan alat politik kekuasaan. Keempat, pembatasan kepentingan oligarki, baik dari politik uang maupun militer. Kelima, pendidikan etika politik dan penguatan nalar publik sejak tingkat menengah.
"Kita belum serius menangani lima kondisi itu. Akibatnya, pejabat publik menjalankan kepentingan pribadi, dan banyak anggota partai justru terkurung pada ego sektoral dan kepentingan partai, bukan publik," paparnya.
Prof Budi menilai partai politik dewasa ini mengalami degradasi fungsi. Alih-alih menjadi kendaraan demokratisasi, partai justru bertransformasi menjadi semacam perusahaan kekuasaan.
"Partai adalah organisasi modern yang ditujukan untuk kekuasaan demokratis. Tapi jika kondisi internalnya tidak demokratis, partai bisa berubah menjadi perusahaan-perusahaan politis," ujar doktor filsafat ini.
Ia juga menyoroti fenomena politisi yang tergesa-gesa menyatakan dukungan kepada calon presiden 2029. Menurutnya, hal ini memperlihatkan rapuhnya sistem kaderisasi serta kuatnya dominasi oligarki dalam tubuh partai politik.
"Jika di hari ini ada politisi yang sudah berceloteh tentang petahana sebelum pemilu dimulai, itu justru menunjukkan lemahnya etika politik dan kuatnya oligarki," tegas Prof Budi.
Saat diminta menyebutkan sosok negarawan sejati pascareformasi, ia dengan lugas menyinggung dua nama yakni BJ Habibie dan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur).
"Keduanya mampu menjadikan kekuasaan sebagai alat untuk merawat republik, bukan untuk kepentingan pribadi maupun golongan," jelas Prof Budi.
Terpopuler
1
KH Thoifur Mawardi Purworejo Meninggal Dunia dalam Usia 70 tahun
2
Targetkan 45 Ribu Sekolah, Kemendikdasmen Gandeng Mitra Pendidikan Implementasi Pembelajaran Mendalam dan AI
3
Kuasa Hukum Rakyat Pati Mengaku Dianiaya hingga Disekap Berjam-jam di Kantor Bupati
4
Amalan Mengisi Rebo Wekasan, Mulai Mandi, Shalat, hingga Yasinan
5
Ramai Kritik Joget Pejabat, Ketua MPR Anggap Hal Normal
6
Pimpinan DPR Bantah Gaji Naik, tapi Dapat Berbagai Tunjangan Total hingga Rp70 Juta
Terkini
Lihat Semua