Warta

’Ayat-Ayat Cinta’ Digandrungi karena Menyodorkan Budaya Konsumtif

NU Online  ·  Senin, 21 April 2008 | 01:18 WIB

Canberra, NU Online
’Ayat-Ayat Cinta’ (AAC) baik film maupun novelnya digandrungi karena berhasil memenuhi kebutuhan kalangan Muslim di Indonesia untuk mengkonsumsi budaya-budaya yang dianggap bernilai islami.

Menjadi Muslim ternyata tidak cukup hanya dengan bersyahadat, shalat, zakat, tirakat dan berhaji di tanah Arab. Seseorang merasa lebih mantap menjadi Muslim dalam tatanan dunia pasar bebas ini dengan mengkonsumsi barang-barang dan budaya-budaya islami itu.<>

Demikian dikemukakan Amrih Widodo, antropolog dan pakar pop-culture dari Australian National University (ANU) dalam diskusi Fenomena Ayat-Ayat Cinta yang diselenggarakan Pengurus Cabang istimewa Nahdatul Ulama (PCINU) Canberra bekerja sama dengan Persatuan Pelajar Indonesia Australia (PPIA) ANU dan Minaret—sebuah kelompok studi sosial keagamaan di Canberra, Kamis (17/4) lalu.

Para panelis, demikian dilaporkan kontributor NU Online di Canberra Yasir Alimi, menilai, AAC lahir karena tuntutan mapannya Muslim kelas menengah ke atas, yang terbentuk sejak 'Haji Suharto' menampilkan identitas Islam.

Kemapanan kelas menengah atas ini, menurut Amrih, melahirkan kebutuhan dan sirkulasi barang yang bernilai Islam. Kesuksesan AAC karena ‘ideologi estetik popular’ yang mengondisikannya.

Menurut Amrih, AAC dianggap memberikan teladan nilai-nilai Islam serta juklak untuk hidup secara Islami. "Ia memberikan ‘manual for living in Islamic ways’,” katanya.

Namun Islam yang disajikan di sana ternyata Islam model Ikhwan. Demikian tegas Nabiela, dosen IAIN Sunan Ampel Surabaya yang menjadi pembicara setelah Amrih. Hal ini tampak di antaranya dalam penolakan Fahri untuk bersalaman dengan perempuan yang bukan muhrimnya, walaupun dengan penolakan itu Fahri masih sering ber-khalwat (mojok) dengan Maria.

Meski ada elemen-elemen yang menarik seperti pembelaan Fahri terhadap seorang Amerika diatas bus kota, namun secara umum Islam yang ditampilkan AAC, menurut Nabiela, adalah Islam yang bernuansa Timur Tengah dari pada Islam Indonesia.

Hal itu disepakati Amrih dengan mengutip tulisan Hanung--sang sutradara film, yang menganggap dirinya mengamati Islam 'dari dekat sekali' ketika ia sedang mempersiapkan film tersebut di Kairo.

Dalam kesempatan yang sama, Aris Mundayat—Dosen senior Anthropologi UGM—menegaskan bahwa AAC adalah bentuk moral panics kelas menengah atas serbuan budaya pop barat yang luar biasa deras. Saking derasnya pemerintah pun tak kuasa menahan lajunya.

Disamping kepanikan simbolik ini, kelas menengah juga menghadapi kepanikan yang sangat riil, yaitu drug. "Oleh karena itu, kalau tahun 80-an di kelas saya hanya 1 atau 2 orang yang pakai jilbab sekarang banyak sekali. Pembengkakan jumlah jilbaber ini tidak hanya terjadi di dalam kelas tapi juga di luar kelas," tandasnya.

Yang mencengangkan, menurut Aris, AAC hamper sama dengan film 30/S/PKI dalam penggalangan penonton. Kalau film PKI yang menggerakkan adalah pemerintah, film AAC yang menggerakkan adalah lembaga kerohanian yang menguasai SMA-SMA. Lembaga kerohanian ini adalah perluasan setelah dikuasainya kampus-kampus umum.

Salah satu contoh penguasaan yang nyaris sempurna adalah di sebuah SMAN favorit di Yogyakarta. Disana siswa saling mengawasi (surveillance). Kalau ada siswa yang berpacaran dengan tidak secara Islami, maka akan dilaporkan.

“Penguasaan itu berkembang menjadi diskriminasi sehingga para alumni yang beragama non-Muslim pun sekarang juga takut menyekolahkan anaknya disekolahan tersebut,” katanya. (yas)