Tokoh

Nyai Nihayah Achmad Siddiq, Ketua Fatayat NU di Dua Cabang

Sen, 11 Mei 2020 | 04:30 WIB

Nyai Nihayah Achmad Siddiq, Ketua Fatayat NU di Dua Cabang

Nyai Nihayah Achmad Siddiq. (Foto: istimewa)

Sebuah ungkapan mengatakan bahwa di balik pria yang sukses, ada wanita hebat yang mendukungnya. Ungkapan ini pas untuk dialamatkan, salah satunya kepada Allah Yarham Nyai Hj Nihayah, istri dari Allah Yarham KH Achmad Siddiq. Di balik kesuksesan kiprah hidup Kiai Achmad Siddiq, di antaranya pernah menjadi Rais Aam PBNU 1984-1991, di situ terdapat peran dari istrinya yang luar biasa dan memotivasi dalam berjuang.

Nyai Nihayah, sejatinya merupakan adik kandung dari Nyai Hj Sholihah, istri Kiai Achmad Siddiq yang pertama. Keduanya, Nihayah dan Sholihah, merupakan putri KH Mujib Tulungagung. Sebelumnya, Kiai Achmad Siddiq menikah dengan Sholihah pada tahun 1947, dan dikaruniai 5 orang anak. Sayangnya, di saat putra-putrinya masih kecil, Nyai Sholihah meninggal dunia. Atas saran dari beberapa kiai dan keluarganya, Kiai Achmad Siddiq kemudian menikahi Nihayah.

Saat kakaknya meninggal, Nihayah masih berstatus sebagai murid Muallimat Atas danSekolah Guru Agama (PGA) yang berada di Kota Solo. Di Kota Solo ini pula, Nihayah aktif di organisasi Fatayat NU, dan tercatat pernah menjadi ketua cabang Fatayat NU Solo. Nihayah juga turut andil dalam menginisiasi pendirian Ikatan Pelajar NU (IPNU) puteri, yang kelak dikenal sebagai IPPNU.

Seperti yang termaktub dalam buku Sejarah Perjalanan IPPNU 1955-2000 (PP IPPNU), peran Nihayah diterangkan sebagai seorang ketua Fatayat NU Solo ia mengajak berdiskusi denganteman sebaya ataupun adik tingkatnya, yang sebagian besar tengah menimba ilmu di sekolah yang ada di Kota Solo, seperti Nahdlatul Muslimat (NDM), PGA, sekaligus nyantri di pesantren Al-Masyhudiah Keprabon Solo. Sedangkan untuk kalangan pemudi, terdapat pula asrama “Fatajat” yang diasuh oleh Kiai Zainuddin Kauman.

Di sela waktu setelah aktivitas di sekolah, kelompok diskusi yang antara lain terdiri dari Umroh Mahfudzoh, Latifah Mawardi, Basyiroh Shoimuri, Atikah, Romlah dan lain-lain, mereka sering mendiskusikan mengenai pentingnya membentuk organisasi pelajar putri di kalangan NU, mengingat di tahun 1954 telah berdiri Ikatan Pelajar NU (IPNU), yang secara keanggotaan hanya diikuti untuk kalangan laki-laki.

Di bawah bimbingan Nihayah dan Ketua IPNU Surakarta H. Mustahal Ahmad, kelompok diskusi ini kemudian membuat sebuah gagasan untuk mendirikan IPNU Putri, yang kemudian diwujudkan dengan menggelar pertemuan pada 28 Februari hingga 5 Maret 1955 di Malang, bersama perwakilan dari lima daerah.

Pertemuan tersebut menghasilkan keputusan resmi berdirinya IPNU Putri, mengangkat utusan dari Kota Solo, Umroh Mahfudzoh, sebagai Ketua Pimpinan Pusat IPNU Putri, dan menyusul kemudian menetapkan Kota Surakarta atau Solo sebagai sekretariat pusat PP IPNU Putri.

Namun, kebersamaan dalam mementori generasi pengurus pertama IPPNU tersebut, tak berjalan lama. Sebab, ia kemudian menikah dengan KH Achmad Siddiq dan boyong mengikuti sang suami ke Jember. Bersama Kiai Achmad Siddiq inilah perjuangan Nihayah memasuki babak baru.

Pejuang Tangguh

Pada tahun 1950-an, KH Achmad Siddiq dikenal sebagai sosok aktivis NU, yakni Ketua PWNU Jawa Timur menyusul kemudian diangkat menjadi Wakil Ketua II PBNU. Ia juga mengemban amanah sebagai Kepala Kantor Urusan Agama di Situbondo dan Bondowoso. Di bidang politik, di masa itu, ia didapuk menjadi Ketua DPRD Situbondo. Sebagai istri dari tokoh yang memiliki segudang aktivitas, tentu menjadi tantangan tersendiri bagi Nihayah.

Pasangan Kiai Achmad Siddiq dan Nihayah juga dikaruniai 8 orang putra, yakni Asni Furaidah, Moh. Robith Hasymi, Moh. Syakib Sidqi, M Hisyam Rifqie, Ken Ismi Asiati Afrik Rozana, Nida Dusturia, Moh. Balya Firjaun, dan Moh. Muslim Mahdi. Sedangkan dari mendiang Nyai Sholihah, Kiai Achmad Siddiq dikaruniai 5 orang putra, yakni Moh. Farid Wajdi, Moh. Rafiq Azmi, Fatati Nuriana, Moh. Anis Fuaidi, dan Farich Fauzi.

Tentu dengan gambaran latar belakang aktivitas dan jumlah anggota yang ada di keluarga ini, dapat dibayangkan betapa kuatnya sosok Nihayah dalam mendampingi perjuangan sang suami, mengasuh putra-putrinya, serta para santri di Pondok Pesantren Islam As-Shiddiqi Putra (PPI Ashtra). Pada tahun 1991, KH Achmad Siddiq wafat dan estafet sebagai pengasuhPPI Ashtra diemban oleh putranya KH Moh. Balya Firjoun Barlaman (Gus Firjoun), hingga kini.

Salah satu menantu Nyai Nihayah, menuturkan putra-putri KH Achmad Siddiq, sebagian dari mereka ada yang meneruskan jejak sang ibu, menimba ilmu di Kota Solo. “Ning Asni Furaidah, dulu diutus Gus Miek mondok di Mbah Kyai Umar Mangkuyudan Solo, dan mengaji langsung kepada Mbah Kyai Umar sampai khatam menjadi hafidhoh. Kemudian Ning Tatik, Ning Kenis, dan Ning Nida juga pernah tabarukan mondok Ramadhan di (Al-Muayyad, pen) Mangkuyudan,” tuturnya.

Jiwa sebagai seorang aktivis yang dimiliki sejak masa remaja, terutama di Kota Solo, kemudian ia lanjutkan di sela merawat suami dan putra-putrinya. Nihayah bergabung bersama Fatayat NU Jember dan juga Muslimat NU Jember.Alhasil, Nihayah merupakan tokoh yang pernah mengemban sebagai ketua cabang Fatayat NU di dua daerah berbeda, yakni Solo dan Jember.

Di kepengurusan Fatayat NU Cabang Jember, tercatat ia pernah menjadi ketua selama 3 periode, sedangkan amanat sebagai Ketua Muslimat NU Jember ia emban selama 4 periode berturut-turut. Ia juga pernah aktif sebagai anggota DPRD Kabupaten Jember di era reformasi.

Dikutip dari Majalah AULA, dipaparkan mengenai kiprah Nihayah dalam berjuang bersama Muslimat NU. Sebagai seorang ia pemimpin, ia berhasil memberikan kontribusi yang nyata kepada NU maupun masyarakat. Dengan menggalakkan prinsip sedekah untuk umat, yang diterapkan di lingkungan Muslimat NU kala itu.

Di masa Kiai Achmad Siddiq masih hidup, Nihayah beserta jajaran pengurus PC Muslimat Jember berhasil membangun sebuah rumah sakit bersalin Muslimat NU yang diberi nama RSBI Muna Parahita yang berlokasi di Jalan Imam Bonjol Kaliwates Jember. KH As’ad Syamsul Arifin beserta KH Achmad Siddiq menjadi peletak batu pertama dari pembangunan rumah sakit tersebut. Kiai As’ad juga berpesan, agar rumah sakit tersebut dapat dikelola dengan sebaik mungkin dengan manajemen yang transparan. Dalam perkembangannya, rumah sakit ini kemudian justru menjadi klinik.

Meski demikian, Ketua PC Muslimat NU Jember Nyai Hj Emi Kusminarni, pada 21 Januari 2020 lalu, berharap Muna Parahita dapat menjadi rumah sakit kembali. “Harapan kami ke depan. Klinik Muna Parahita ini dapat melayani kebutuhan masyarakat dengan baik, Muna Parahita adalah amanah para pendiri NU yang harus kita jaga dan meneruskannya. Saya bermimpi kelak Muna Parahita ini akan menjadi Rumah Sakit Islam Nahdlatul Ulama yang besar,” kata dia.

Harapan tentang kebesaran Muna Parahita tersebut, tentu menjadi sebuah asa yang sama dari sang pendiri, Nyai Hj Nihayah, yang setahun sebelumnya, tepatnya pada tanggal 10 Januari 2019 telah berpulang ke Rahmatullah. Nyai Nihayah meninggal di usia 84 tahun. Sehari setelah wafat, pada tanggal 11 Januari 2019, jenazahnya dimakamkan di kompleks pemakaman keluarga di Pondok Pesantren Al-Ghofilin Talangsari Jember. Laha al-Fatihah

Penulis: Ajie Najmuddin
Editor: Fathoni Ahmad

Sumber:
1. Majalah AULA, yang diunggah ulang di situs mediaaula pada 17 September 2013
2. Sejarah Perjalanan IPPNU 1955-2000 (Diterbitkan PP IPPNU, 2000)