Tokoh

AA Murtadho, Deklarator PMII yang Sempat Terlupakan

Jum, 24 April 2020 | 19:30 WIB

AA Murtadho, Deklarator PMII yang Sempat Terlupakan

A.A. Murtadho (Foto: Dok. KH Moensif Nahrowi)

Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) didirikan pada tanggal 17 April 1960 di Surabaya. Dari beberapa buku dan sumber sejarah yang telah banyak beredar, di antaranya buku PMII dalam Simpul-simpul Sejarah Perjuangan (Fauzan Alfas, 1994) disebutkan 13 orang yang diberi tugas dari berbagai daerah melaksanakan musyawarah mahasiswa NU se-Indonesia bertempat di komplek Perguruan NU Wonokromo Surabaya, pada 17 April 1960 atau bertepatan 21 Syawal 1379 H.

Adapun ketiga belas orang yang kemudian disebut sebagai deklarator pendiri PMII dalam Fauzan Alfas (1994) sebagai berikut:

1. Cholid Mawardi (Jakarta)
2. Said Budairy (Jakarta)
3. Shobich Ubaid (Jakarta)
4. Makmun Syukri (Bandung)
5. Hilman Badrudinsyah (Bandung)
6. Ismail Makky (Yogyakarta)
7. Moensif Nachrawi (Yogyakarta)
8. Nuril Huda Suaidy (Surakarta)
9. Laily Mansur (Surakarta)
10. Abdul Wahab Jaelani (Semarang)
11. Hisbullah Huda (Surabaya)
12. M. Cholid Marbuko (Malang)
13. Ahmad Husein (Ujung Pandang/Makassar).

Tiga belas deklarator tersebut, sering disinggung dalam berbagai kesempatan, khususnya ketika dilaksanakan kegiatan pengkaderan, seperti Mapaba, PKD, dan seterusnya. Juga pada saat momen Harlah PMII. Sehingga, hanya 13 nama itulah yang dikenal dan dikenang sebagai pendiri PMII.

Hingga pada sebuah kesempatan yang diselenggarakan PB PMII dalam kegiatan diskusi daring bertajuk “Tausiah Pergerakan 3 Pendiri PMII”, Sabtu (18/4) malam, salah satu pendiri PMII KH Munsif Nahrowi yang ikut memberikan tausiah, mengungkapkan hal baru mengenai sejarah awal pendirian PMII.

Menurut Kiai Munsif, selain 13 nama yang telah disebutkan di atas, terdapat satu nama lagi yang semestinya juga diikutkan, sebab tokoh ini memiliki peranan penting dalam musyawarah mahasiswa NU di Surabaya tersebut. “Sebenarnya ada satu yang rupanya ditinggalkan. Namanya biasa dikenal dengan A.A. Murtadho. Beliau waktu itu merupakan perwakilan dari PP (Pimpinan Pusat) IPNU di Jakarta,” ungkap Kiai Munsif.

Lebih lanjut, dalam kesempatan tersebut Kiai Munsif menerangkan tentang A.A. Mutadho yang kala itu masih berstatus sebagai mahasiswa ADLN (Akademi Dinas Luar Negeri), yang kini dikenal sebagai Sekdilu (Sekolah Dinas Luar Negri), yakni program pendidikan dan pelatihan fungsional diplomat dasar pada Kementerian Luar Negeri RI. “Beliau beberapa kali memimpin sesi pada waktu pertemuan di Surabaya. Juga pemegang andil dalam berdirinya PMII,” tutur Kiai Munsif.

Dari Malang ke Jakarta

Dari pernyataan yang dilontarkan Kiai Munsif tersebut, menarik minat saya untuk menelusuri riwayat hidup A.A. Murtadho. Dari penelusuran singkat, sekitar dua hari sejak pernyataan Kiai Munsif, baik dari sumber buku maupun artikel media daring, setidaknya saya memperoleh tiga poin penting, dari kiprah tokoh yang memiliki nama lengkap Abdullah Alwi Murtadho ini.

Pertama, mengenai asalnya. Abdullah Alwi Murtadho, merupakan putra dari Kiai Alwi bin Kiai Murtadho, tokoh ulama di Singosari, Malang. Kiai Alwi semasa hidupnya juga pernah menjadi Ketua PCNU Singosari, yang kemudian menjadi cikal bakal NU Cabang Kabupaten Malang. Maka tak heran, jika para putranya kemudian ikut meneruskan perjuangannya di NU.

Selain Abdullah (A.A. Murtadho), putra-putri Kiai Alwi yakni Pengasuh Pesantren Ilmu Al-Quran (PIQ) Singosari Malang, Kiai Bashori Alwi (yang baru saja wafat 23 Maret 2020). Kemudian Kiai Abdis Salam (Pasuruan), Nyai Muthmainnah (Ibunda H.M Said Budairy), Anshor (wafat masih kecil), dan Abdul Karim.

A.A. Murtadho, meskipun secara nasab ia merupakan paman dari Said Budairy, namun secara usia, keduanya tidak terpaut jauh (M. Said Budairy lahir pada 12 Maret 1936). Alhasil, keduanya akrab sejak kecil dan menempuh jalur pendidikan yang hampir sama.
 
Dimulai dari nyantri di Pesantren Bungkuk Singosari, juga bersekolah SD hingga SMA di Malang. Baru kemudian saat melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi, A.A. Murtadho ke Jakarta untuk menimba ilmu di ADLN, sedangkan Said Budairy kuliah di Perguruan Tinggi Jurnalistik Jakarta (sayangnya tidak sampai tamat).

Kedua, mengenai proses keterlibatannya hingga ikut dalam proses pendirian PMII. Meski berbeda kampus, namun A.A. Murtadho dan Said Budairy masih sering berjumpa, sebab keduanya aktif di dalam organisasi yang sama, yakni IPNU (Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama) yang didirikan pada tahun 1954.
 
Pimpinan Pusat IPNU yang kala itu berkedudukan di Yogyakarta (sedangkan ibukota Negara RI di Jakarta), membentuk Perwakilan Pimpinan Pusat (PPP) IPNU di Jakarta, yang berfungsi untuk membantu penyelenggaraan organisasi dan hubungan eksternal.

Sebagaimana yang diterangkan dalam buku KH. Moh. Tolchah Mansoer: Biografi Profesor NU yang Terlupakan (Caswiyono dkk, 2009), PPP IPNU diketuai oleh A.A. Murtadho. Dalam menjalankan organisasi, ia dibantu oleh Suwigyo (Wakil Ketua), Chalid Mawardi (Sekretaris, Mahasiswa Fakultas Hukum UI), Shobih Ubaid (Sekretasi I), M. Said Budairy (Sekretaris II), Jusuf Mustaqim (Bendahara I), A. Baidlowi (Bendahara II), Mahfud Nur dan Qomaruddin Arifin (pembantu umum). PPP IPNU berkantor di Jl Kebon Sirih Barat Dalam No. 90.

Tugas PPP IPNU adalah mewakili PP IPNU dengan organisasi lain, termasuk federasi organisasi kepemudaan dan kepelajaran. Di samping itu, PPP IPNU ditugasi oleh PP IPNU untuk menangani hal-hal yang bersifat kemahasiswaan.

Pada perkembangannya terkait dengan bidang kemahasiswaan ini, IPNU membentuk Departemen Perguruan Tinggi, yang kemudian berlanjut hingga kepada proses hingga terbentuknya PMII. Di sinilah peran A.A. Murtadho, seperti yang telah dipaparkan oleh Kiai Munsif, sebagai Ketua PPP IPNU ia ikut hadir dalam musyawarah mahasiswa NU di Surabaya dan bahkan ikut memimpin beberapa sesi sidang.

Namun, meski ia ikut andil dalam musyawarah tersebut, pada saat kepengurusan Pengurus Pusat PMII periode pertama yang diketuai Mahbub Djunaidi terbentuk, A.A. Murtadho tidak masuk di dalamnya, tetapi masih tetap dalam posisi yang diembannya sejak awal, yakni sebagai Ketua PPP IPNU. Sedangkan Said Budairy didapuk menjadi Sekretaris Umum.

A.A. Murtadho merupakan sosok yang memperkenalkan organisasi IPNU kepada Mahbub Djunaidi. Mahbub, meskipun putra dari seorang tokoh NU Jakarta KH Djunaidi, sebelum bergabung dengan IPNU sempat aktif di IPPI (Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia).

Said Budairy dalam tulisannya berjudul "Mengenang H. Mahbub Djunaidi: Konsisten, Santai, Kocak", yang dikutip dalam buku Bung: Memoar Tentang Mahbub Djunaidi (Isfandiari dan Iwan, 2017), menerangkan ihwal pertemuan awal antara Mahbub dan A.A. Murtadho. Said Budairy menuturkan: "Di awal lima puluhan, ia (Mahbub) bertemu dengan A.A. Murtadho, yang ketika itu menjadi Ketua Perwakilan PP IPNU di Jakarta, karena pimpinan pusatnya berada di Yogyakarta.

Dan sejak saat itu rupanya Mahbub tertarik dan kemudian bergabung di dalam IPNU, duduk sebagai salah seorang fungsionaris perwakilan pengurus pusat,"

Terakhir, hal yang patut untuk dikenang dari A.A. Murtadho yakni kiprahnya sebagai seorang diplomat juga Duta Besar. Setelah lulus dari ADLN, A.A. Murtadho melanjutkan karirnya sebagai diplomat. Pada Juni 1986, A.A. Murtadho diangkat menjadi Duta Luar Biasa dan Berkuasa Penuh Republik Indonesia untuk Pemerintah Republik Irak. Posisi ini ia emban hingga September 1989, dan digantikan Djoko Marseno Tarunokusumo.

Dalam meneruskan perjuangan dakwah yang telah dirintis ayahnya, ia ikut membantu dalam berdirinya Pesantren Ilmu Al-Quran (PIQ). Pada tanggal 1 Mei 1978, bersama dua saudaranya, KH Bashori dan Abdul Karim. Kiai Bashori Alwi kemudian didapuk untuk menjadi pengasuh pesantren. Sumbangsihnya dalam mendirikan pesantren, serta PMII ini, tentu menjadi salah satu jariyah yang akan terus mengalir bagi dia, yang kini telah berkalang tanah. Lahul Fatihah...

Penulis: Ajie Najmuddin
Editor: Fathoni Ahmad