Tokoh

KH Aceng Muhammad Ishaq atau Aceng Sasa, Pejuang Kemerdekaan dari Garut

Sen, 4 Desember 2023 | 08:00 WIB

KH Aceng Muhammad Ishaq atau Aceng Sasa, Pejuang Kemerdekaan dari Garut

KH Aceng Muhammad Ishaq atau Aceng Sasa atau Ajengan Anom Fauzan. (Foto: dok. Muhammad Salim)

KH Aceng Muhammad Ishaq yang lebih dikenal dengan Ajengan Anom Fauzan atau Aceng Sasa merupakan putra sulung dari Syaikhul Masyaikh Asy Syekh KH. Aceng Muhammad Umar Bashri bin KH. Muhammad Adzro'i bin KH. Abdul Wahab bin KH. Muhammad Arif bin Mbah Nuryayi. Beliau lahir pada tahun 1918 M tanpa diketahui tanggal dan bulannya.


Pada tahun yang sama, kakeknya KH Muhammad Adzro'i yang merupakan murid dari Syekh Ibrohim Al Bajuri pengarang kitab Masalah fil Aqoid al Bajuri atau lebih dikenal dengan kitab Tijan ad Daruri wafat pada usia 73 tahun.


Masa Pengembaraan Pendidikan di Pesantren

Aceng Sasa mengenyam pendidikan agama pertama kali dari ayahnya sendiri yang juga memberi nama pesantren Pasirbokor menjadi Pesantren Fauzan, yakni KH. Aceng Muhammad Umar Bashri atau dikenal dengan nama Syaikhuna Fauzan.


Namun diusia yang masih sangat muda ketika dirinya berusia 14 tahun, KH Muhammad Umar Bashri Wafat, Sehingga sesepuh pesantren Fauzan dipegang oleh KH Haitami. KH Haitami sendiri merupakan paman Aceng Sasa adik dari ibunya, Hj Fatmah binti KH Ahmad Hijazi.


Pada usia yang masih muda tersebut, Aceng Sasa menemukan kitab yang memuat ilmu nahwu yang belum selesai dikarang oleh Syaikhuna Fauzan, Aceng Sasa melanjutkan kitab yang belum sempat diselesaikan oleh ayahnya tersebut sampai selesai.


Sebagai putra dari seorang kiai, dia pun memiliki semangat yang sangat besar dalam mencari ilmu. Sehingga Ia melanjutkan pengembaraan ilmu ke beberapa pesantren, diantaranya ke Pondok Pesantren Galumpit, kemudian melanjutkan Pendidikan kepada KH. Ahmad Syatibi atau dikenal dengan Mama Gentur – Cianjur. Setelah selesai dari Gentur, Aceng Sasa melanjutkan pengembaraan ilmunya ke Pesantren Pajaten, Sirnarasa-Cirebon asuhan KH Hasan Hariri putra dari KH Muhammad Zen.


Pada usia 18 tahun, Aceng Sasa tidak langsung memimpin pesantren. Namun dalam dua tahun sebelum memimpin pesantren, Aceng Sasa sering melakukan kunjungan ke kampung-kampung khususnya masyarakat sekitar untuk merangkul mereka, khususnya Masyarakat yang masih sering melakukan kemaksiatan, sehingga dirinya terkenal dekat dengan para preman dan jawara.


Saat ia memimpin pesantren, putra dari masyarakat yang sering dikunjungi oleh Aceng Sasa tersebut dipondokkan di Pesantren Fauzan.


Aceng Sasa diberi memiliki dua istri, istri pertamanya yang bernama Hj Jubaedah binti KH Harmaen memiliki dua putra, yakni KH Aceng Umar Ishaq dan Nyimas Jojoh. Sedangkan dari keduanya yang Bernama Hj Asiah dikaruniai putri bernama Nyimas Kokoy.


Penakluk Jepang Tanpa Perang

Aceng Sasa merupakan tokoh ulama yang sangat disegani dan dihormati oleh semua kalangan masyarakat, terutama para jawara yang ada di Garut. Karena, Aceng Sasa merupakan ulama sekaligus juga pendekar silat di tatar Sunda khususnya di daerah Garut.


Selain itu, Aceng Sasa juga merupakan diplomat yang ulung, dimana saat masa penjajahan Belanda, Aceng Sasa banyak melakukan advokasi untuk kepentingan masyarakat, di sisi lain ia menggagalkan beberapa penyerangan yang hendak dilakukan oleh Belanda oleh pasukannya tanpa diketahui oleh Belanda.


Kemudian pada masa penjajahan Jepang, ia kembali melakukan advokasi kepada pemerintahan Jepang agar tidak mengganggu kegiatan di pesantren. Sampai ada dua prajurit Jepang yang masuk islam dan menjadi santri Fauzan. Bahkan kedua prajurit Jepang tersebut menjadi warga Negara Indonesia dan mereka tinggal di Bandung sampai wafat.


Perjuangan Pasca Kemerdekaan Indonesia

Sejak Indonesia Merdeka pada 17 Agustus 1945, kondisi Indonesia belum stabil karena banyaknya para pemberontak yang menjadi antek-antek Belanda. Sebagai pejuang kemerdekaan, ia mendirikan Perkumpulan Daf'oesial pada 5 Januari 1946 untuk menjaga kemerdekaan Indonesia.


Berdasarkan dokumen Dewan Pertimbangan Agoeng (DPA) yang ditulis oleh ketua DPA R.A.A Wiranatakusuma yang ditulis pada 5 September 1946, jumlah anggota Daf'oesial pada saat itu mencapai 130.000 Orang.


Untuk mendapatkan legalitas atau pengakuan Daf'oesial dari pemerintah Indonesia yang belum lama berdiri. Aceng Sasa dan 20 santrinya berangkat pada tanggal 18 Agustus 1946 untuk menemui Paduka Jang Moelia (PJM) Presiden Ir. Soekarno yang ketika itu sedang berada di Yogyakarta.


Beliau berangkat kesana dengan alasan untuk meminta pengesahan organisasi yang dibentuknya sebagai legal formal dalam menjalankan roda organisasi di Negara Kesatuan Republik Indonesia, terutama ikut andil dalam menjaga keutuhan NKRI.


Ketika Aceng Sasa mendiskusikan banyak hal dengan Bung Karno, Aceng Sasa diminta untuk menjadi Imam Besar (Menteri pertahanan) bagi seluruh Prajurit atau Tentara Keamanan Rakyat (TKR) pada masa itu. Namun Aceng Sasa tidak menerima tawaran tersebut dan lebih memilih untuk tetap mendidik santri dan mengayomi masyarakat di Pesantren Fauzan.


Karena kepercayaan Bung Karno tersebut, sepulang dari Yogyakarta, satu kompi tentara dititipkan kepada Aceng Sasa untuk dididik di Pesantren Fauzan. Dimana pada siang hari mereka ikut ngaji, dan malam harinya mereka bergerilya menyerang pasukan para pemberontak.


Sebelum ada NU masuk ke Garut, Aceng Sasa pernah masuk kedalam Majelis Syuriah Muslim Indonesia (Masyumi), namun ketika mencium banyaknya pengurus yang bertentangan dengan haluan islam Ahlussunnah Waljama'ah, hal tersebut menjadikan alasan dirinya keluar dari Masyumi.


Mengingat hasil perundingan Renville, Wilayah Indonesia yang diakui Belanda hanya Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Sumatera. Akibat kondisi tersebut, Aceng Sasa dan Pasukan Daf'oesial pergi ke Jawa Tengah karena belanda meminta pemerintah Indonesia menarik mundur tentara yang ada di Jawa Barat dan Jawa Timur.


Karena hasil perundingan Renville tersebut, SM Kartosoewiryo kecewa berat terhadap pemerintah pusat Indonesia, sehingga ia melampiaskan dengan cara mendirikan Negara Islam Indonesia atau dikenal dengan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia. Sedangkan di Jawa Barat dikenal dengan "Gerombolan".


Karena dalam masa pengungsian pada tahun 1949, tujuh santri Pesantren Fauzan dibantai oleh kelompok DI/TII dan pondok pesantren Fauzan dibakar, akibat hal tersebut, selain santri yang menjadi korban nyawa, banyak karya-karya syaikhuna Fauzan yang habis karena ikut terbakar di dalamnya.


Tidak lama dari kejadian tersebut, Aceng Sasa wafat pada hari Selasa, tanggal 24 Muharram 1369 H atau 15 November 1949 M. ia wafat pada usia yang sangat muda, yakni pada usia 32 Tahun. Karena pada masa pengungsian, Aceng Sasa dimakamkan di komplek pemakaman Kaum belakang masjid Agung Garut Bersama penghulu Garut terdahulu yang Bernama KH Moehammad Moesa.


Muhammad Salim, Kontributor NU Online Jawa Barat