Syariah

Ragu-ragu Sperma atau Madzi yang Keluar, Bagaimana Menyikapinya?

Sel, 24 Maret 2020 | 15:00 WIB

Ragu-ragu Sperma atau Madzi yang Keluar, Bagaimana Menyikapinya?

Sperma, madzi, dan wadi memiliki perbedaan sifat dan implikasi fiqih yang berbeda pula.

Selain air kencing, ada tiga jenis cairan yang keluar dari kelamin pria maupun wanita yaitu sperma (mani), madzi (yang keluar ketika syahwat naik), dan wadi (biasanya beriringan dengan kencing atau kecapaian). Masing-masing memiliki sifat berbeda, pun status najis-tidaknya, dan cara menyucikannya.

 

 

Lalu bagaimana jika ada orang yang ragu tentang apa yang keluar dari kemaluannya. Bisa jadi ia “tegang” belum pada puncaknya tapi sudah ada cairan kental yang keluar, atau dia bangun tidur dalam keadaan tegang dan basah pada kemaluannya. Dia bimbang apakah itu benar-benar sperma (yang mengharuskannya mandi besar) ataukah hanya madzi (yang tidak mengharuskannya mandi besar).

 

Menurut Syekh Sulaiman al-Bujairimi, orang yang tidak yakin dengan cairan apa yang dia keluarkan, ia disuruh memilih sesuai kebijaksanaannya. Ia boleh memilih memutuskan sebagai mani, madzi, atau wadi. Tentu keraguan tersebut muncul apabila tidak ada tanda-tanda yang menjadi ciri khas sperma yang membarengi, yakni baunya yang khas (rîh), atau keluarnya tersendat-sendat (tadaffuq), atau saat keluar terasa nikmat (taladzudz). Jika memang terdapat salah satu dari tiga unsur tersebut, tidak perlu ragu lagi untuk memutuskan bahwa yang keluar adalah sperma.

 

Konskuensinya, apabila ia memutuskan sebagai sperma, pakaian yang terkena cairan tersebut, tidak dianggap terkena najis (mutanajjis) namun ia harus mandi besar. Sebaliknya, apabila ia memutuskan bahwa yang keluar selain sperma, maka yang keluar adalah najis, pakaian yang ia kenakan menjadi terkena najis, tapi ia tidak harus mandi, hanya menyucikan anggota badan dan kain yang terkena najis.

 

فَإِنْ اُحْتُمِلَ كَوْنُ الْخَارِجِ مَنِيًّا أَوْ غَيْرَهُ كَوَدْيٍ أَوْ مَذْيٍ تَخَيَّرَ بَيْنَهُمَا عَلَى الْمُعْتَمَدِ، فَإِنْ جَعَلَهُ مَنِيًّا اغْتَسَلَ أَوْ غَيْرَهُ تَوَضَّأَ وَغَسَلَ مَا أَصَابَهُ؛ لِأَنَّهُ إذَا أَتَى بِمُقْتَضَى أَحَدِهِمَا بَرِئَ مِنْهُ يَقِينًا، وَالْأَصْلُ بَرَاءَتُهُ مِنْ الْآخَرِ وَلَا مُعَارِضَ لَهُ، بِخِلَافِ

 

Artinya: “Jika diragukan bahwa yang keluar mirip mani atau selain mani seperti wadi atau madzi, maka orang yang mengeluarkan hal tersebut dipersilakan untuk mengambil kebijakan jenis cairan apa yang keluar. Demikian menurut pendapat mu’tamad. Konskuensinya, apabila ia memutuskan bahwa yang keluar adalah sperma, ia harus mandi, tapi kalau memutuskan selain sperma, ia hanya wajib wudlu dan membasuh yang terkena najis saja. Pada dasarnya, apabila seseorang sudah memutuskan salah satunya, ia menjadi bebas yang satunya lagi (Sulaiman al-Bujairimi, Hasyiyah al-Bujairimi, [Darul Fikr, 1995], juz 1, hlm. 229).


Dengan demikian, baik ragu maupun yakin, sama-sama harus memiliki dasar yang jelas. Dasar tersebut mengacu pada seberapa yakin seseorang atas adanya ciri-ciri tertentu yang melekat pada cairan yang ia keluarkan. Keduanya memiliki implikasi fiqih bersuci yang berbeda. Bila diyakini sperma maka ia wajib mandi sebelum menunaikan shalat, i’tikaf, thawaf, atau membaca dan menyentuh Al-Qur’an. Sementara bila diyakini bukan sperma maka ia sekadar wajib membersihkannya lalu berwudhu sebelum, misalnya, menunaikan shalat atau menyentuh Al-Qur’an. Dengan bahasa lain, yang pertama masuk kategori hadats besar, sementara yang kedua masuk hadats kecil.

 

 

Ustadz Ahmad Mundzir, pengajar di Pesantren Raudhatul Qur’an an-Nasimiyyah, Kota Semarang