Syariah

Fiqih Bencana: Status Utang Nasabah Akad Murabahah Perbankan

Sel, 23 Oktober 2018 | 14:30 WIB

Fiqih Bencana: Status Utang Nasabah Akad Murabahah Perbankan

Ilustrasi (via fsfoa.org)

Ada banyak jenis akad pembiayaan dalam perbankan syariah. Beberapa di antaranya adalah akad murâbahah (jual beli), mudhârabah (bagi hasil), musyârakah (kemitraan), ijarah (sewa menyewa), salam (jual beli pesan), istishna’ (jual beli pesan rakit), istitsmar (investasi), dan qiradl (permodalan). Sebenarnya masih banyak lagi akad yang lain seperti musâqah, dan rumpunnya. Kali ini kita akan fokus pada akad nasabah dengan perbankan yang memiliki basis akad jual beli, yang berarti kita fokus pada produk murâbahah

Dasar utama akad murâbahah sebagaimana disebutkan dalam keputusan DSN MUI No.04/DSN-MUI/IV/2000. Dalam fatwa tersebut disebutkan bahwa akad ini fungsinya untuk menjembatani kebutuhan nasabah seiring dengan kebutuhan mendapatkan barang-barang dari kelompok usaha non-produktif. Sebagaimana diketahui bahwa pengajuan utang untuk kebutuhan non-produktif pada bank konvensional, NU melalui keputusan Munas Alim Ulama NU di Lampung tahun 1992, memutuskan bahwa bunga bank diputus haram. Sekali lagi ini diputuskan pada jenis usaha non-produktif. Namun untuk usaha produktif, NU melalui keputusan Munas tersebut menyebut bahwa bunga bank diputus sebagai boleh. Persoalannya kemudian, fakta yang terjadi di masyarakat, mereka masih membutuhkan pinjaman untuk kategori kebutuhan non-produktif. 

Misalnya, untuk kebutuhan skala non-produktif adalah kebutuhan “pelengkap” untuk membiayai modal pertaniannya. Tersedianya modal petani hanya sedikit. Ia membutuhkan kebutuhan semacam pupuk, jaring untuk nelayan, kebutuhan suplai konsumsi rumah tangga mengingat hasil panen hanya cukup untuk modal saja, dan lain sebagainya. 

Akhirnya, berbagai latar belakang ini membutuhkan solusi. Lalu disusunlah produk murâbahah ini sebagai bagian dari produk sub produk alternatif pengganti model utang usaha pada bank konvensional. 

Landasan akad pada produk murâbahah adalah jual beli, yang berarti mutlak terjadinya akad mu’awadlah (pertukaran) dan taqâbudh (saling terima). Sebagai contoh: Pak Ali seorang pengusaha toko buku, mengajuk permohonan pembiayaan modal usahanya dengan akad murabahah, dengan tujuan untuk membeli bahan baku kertas senilai 100 juta rupiah. Setelah dievaluasi oleh Bank syariah, usaha Pak Ali layak untuk dipertimbangkan. Lalu Bank Syariah membeli semua kebutuhan Pak Ali tersebut, lalu bank menjual barang tersebut kepada pak Ali sejumlah Rp-120 juta, dengan jangka waktu 12 bulan dan dibayar lunas pada saat jatuh tempo dengan total angsuran sebanyak 3 kali. Akad jenis ini termasuk akad murabahah dengan mengambil sisi jual beli tempo (bai’ bi al-thamani al-âjil). Jika waktu angsurannya ditetapkan selama sebulan sekali secara rutin dengan besaran tertentu, maka disebut bai’ taqshith, atau jual beli kredit. Baik antara jual beli kredit atau jual beli tempo, keduanya adalah sah secara syara’ manakala khiyar sudah dilakukan saat akad terjadi, antara lain mengambil catatan jual beli tempo, ataukah mengambil catatan jual beli kredit. 

Barang yang sudah dibeli, baik dengan jalan jual beli tempo maupun jual beli kredit, keduanya adalah sudah menjadi milkun tâm bagi pembeli. Dengan demikian, apabila barang sudah diterima oleh pembeli, maka pembeli boleh menjualnya kembali kepada konsumennya meskipun utangnya belum selesai dibayar. 

Bagaimana misalnya, bila di tengah situasi barang tersebut belum lunas diangsur, kemudian terjadi bencana yang menghabiskan (force majeure)? Apakah nasabah tetap terkena beban angsuran? Ataukah bisa ia mengajukan klaim pemutihan? 

Jika menilik dari basis akad jual beli bahwa ketika barang sudah diterima oleh pembeli (nasabah) maka barang tersebut sudah menjadi milik nasabah, maka hak sebenarnya adalah bank masih bisa melakukan klaim tagihan kepada nasabah. Sebab, dalam jual beli ini sudah terjadi perpindahan kepemilikan atau resiko barang ke nasabah sehingga wajib bagi nasabah menanggungnya dalam kondisi apapun. Kecuali bila proses perpindahan kepemilikan tersebut belum sempat terjadi, maka klaim penagihan bank tidak bisa dibenarkan. 

Dengan menilik dari akad ini, maka dispensasi yang mungkin bisa diterapkan atas nasabah produk murâbahah adalah restrukturisasi dan rescheduling (penjadwalan ulang). Apakah boleh bagi bank menerapkan status muflis (bangkrut) kepada nasabah? Atau bolehkah dinyatakan pailit?

Bangkrut merupakan kondisi akibat kesalahan atau kelalaian dalam menjalankan usaha sehingga mengalami kerugian terus-menerus. Sementara pailit adalah kondisi di mana nasabah tidak bisa membayar utangnya dengan sebab dinyatakan oleh Pengadilan Niaga. Keduanya memiliki asal usul yang sama yaitu berangkat dari kesalahan dalam menjalankan usaha. Hanya beda sedikit terkait dengan keterlibatan qadli/hakim sebagai pemutus perkara. 

Dengan melihat sisi ini, maka tidak mungkin bagi kelompok nasabah terimbas bencana dikelompokkan ke dalam keduanya. Namun, karena pada kondisi pailit dan bangkrut ada kemungkinan untuk diputihkan hak dan tanggung jawabnya oleh perbankan, maka sudah barang tentu, menurut sisi kemanusiaan, nasabah akad murâbahah lebih berhak untuk mendapatkan itu, meskipun hukum asalnya adalah tidak berhak disebabkan faktor sudah terjadi perpindahan milik. Selanjutnya, kearifan pihak perbankan diharapkan bisa terwujud di sini. Wallâhu a’lam bish shawâb. 


Muhammad Syamsudin, Tim Peneliti dan Pengkaji Bidang Ekonomi Syariah Aswaja NU Center PWNU Jatim