Sirah Nabawiyah

Keadilan Pemimpin: Teladan Khalifah Umar bin Khattab

Sel, 28 September 2021 | 07:00 WIB

Keadilan Pemimpin: Teladan Khalifah Umar bin Khattab

Ilustrasi Umar bin Khattab. (Foto: NU Online)

Sikap adil merupakan salah satu prinsip tertinggi yang harus dilakukan oleh seorang pemimpin. Seluruh keputusan dan kebijakan pemimpin perlu bermuara pada kesejahteraan dan kemakmuran rakyat secara luas. Artinya tidak mengenal kelompok, suku, agama, dan golongannya sendiri. Semua terlayani dengan baik. Nabi Muhammad merupakan pemimpin yang menjadi teladan bagi para sahabat dan umatnya. Rasulullah saw menerangkan bahwa para penegak keadilan dan pemimpin yang adil akan ditempatkan Allah dalam kedudukan yang luhur dan terpuji, sampai digambarkan berada di atas “mimbar cahaya”.


Sikap adil Nabi Muhammad diteruskan oleh para sahabatnya, termasuk Khalifah Umar bin Khattab. Khalifah Umar menjelaskan bahwa adil itu tidak mengenal dispensasi bagi keluarga dekat ataupun yang jauh dan tidak pula mengenal waktu sempit atau lapang. Walaupun ia nampaknya lunak akan tetapi sebenarnya kuat, dapat memadamkan api kezaliman dan memberantas kebatilan.


Kehidupan Khalifah Umar bin Khattab tidak lepas dari memperhatikan kesejahteraan, keamanan, dan keadilan warganya. Suatu ketika Umar mendapat laporan bahwa putra Gubernur Mesir telah menempeleng seorang warga negara tanpa tanpa sebab berarti dibanding perlakuan yang telah didapatnya itu.


Seketika, Umar segera memanggil sang Gubernur yang tak lain adalah Amr bin Ash untuk mengedepankan putranya dan mempertanggungjawabkan perbuatannya yang dinilai sewenang-wenang itu.


Di hadapan Gubernur Mesir dan putranya itu, Khalifah Umar memperlihatkan ketegasannya dengan kata-kata yang hingga kini termasyhur menjadi sebuah doktrin. Umar berkata:


Ilaa mataa ista’badtum an naasa wa qod waladathum ummahatuhum ahroron? (Sampai kapan kalian memperbudak manusia, padahal mereka dilahirkan oleh ibu-ibu mereka dalam keadaan merdeka?)


Konon, menurut riwayat yang diceritakan oleh KH Saifuddin Zuhri dalam buku karyanya Berangkat dari Pesantren (2013) itu, doktrin Sayyidina Umar tersebut yang menguatkan jalan perjuangan para kiai dan ulama di Indonesia dalam mengusir penjajah dari tanah air.


Dalam sejarahnya, keprihatinan dan peran sentral para kiai dari kalangan pesantren dalam menghidupkan kesadaran bangsa Indonesia untuk merdeka dari kungkungan penjajah begitu tinggi. 


Bahkan atas langkahnya itu, pesantren selalu mendapat sorotan dari pihak kolonial karena dianggap mampu memobilisasi kekuatan rakyat untuk melakukan perlawanan. Bagi bangsa Indonesia, perlawanan wajib dilakukan kepada penjajah atas perlakuannya yang tidak berperikemanusiaan.


Ketegasan Khalifah Umar kepada Amr bin Ash bukan kali itu saja. Amr bin Ash berencana akan membangun sebuah masjid besar di tempat gubuk tersebut dan otomatis harus menggusur gubuk reot Yahudi itu. Lalu dipanggillah si Yahudi itu untuk diajak diskusi agar gubuk tersebut dibeli dan dibayar dua kali lipat.


Akan tetapi si Yahudi tersebut bersikeras tidak mau pindah karena dia tidak punya tempat lain selain di situ. Karena sama-sama bersikeras, akhirnya turun perintah dari Gubernur Amr bin Ash untuk tetap menggusur gubuk tersebut.


KH Abdurrahman Arroisi dalam salah satu jilid bukunya 30 Kisah Teladan (1989) menjelaskan, si Yahudi merasa dilakukan tidak adil, menangis berurai air matanya, kemudian dia melapor kepada khalifah, karena di atas gubernur masih ada yang lebih tinggi. Dia berangkat dari Mesir ke Madinah untuk bertemu dengan Khalifah Sayyidina Umar bin Khattab.


Sepanjang jalan si Yahudi ini berharap-harap cemas dengan membanding bandingkan kalau gubernurnya saja istananya begitu mewah, bagaimana lagi istana khalifahnya? Kalau gubernurnya saja galak main gusur apalagi khalifahnya dan saya bukan orang Islam apa ditanggapi jika mengadu?”


Sesampai di Madinah dia bertemu dengan seorang yang sedang tidur-tiduran di bawah pohon Kurma, dia hampiri dan bertanya, bapak tau dimana khalifah Umar bin Khattab? Dijawab orang tersebut, ya saya tau, Di mana Istananya? Istananya di atas lumpur, pengawalnya yatim piatu, janda-janda tua, orang miskin dan orang tidak mampu. 


Pakaian kebesarannya malu dan taqwa. Si Yahudi tadi malah bingung dan lalu bertanya sekarang orangnya dimana pak? Ya dihadapan tuan sekarang. Gemetar Yahudi ini keringat bercucuran, dia tidak menyangka bahwa di depannya adalah seorang khalifah yang sangat jauh berbeda dengan gubernurnya di Mesir.


Sayiddina Umar bertanya, kamu dari mana dan apa keperluanmu? Yahudi itu cerita panjang lebar tentang kelakuan Gubernur Amr bin Ash yang akan menggusur gubuk reotnya di Mesir sana. Setelah mendengar ceritanya panjang lebar, Sayyidina Umar menyuruh Yahudi tersebut mengambil sepotong tulang unta dari tempat sampah di dekat situ.


Lalu diambil pedangnya kemudian digariskan tulang tersebut lurus dengan ujung pedangnya, dan disuruhnya Yahudi itu untuk memberikannya kepada Gubernur Amr bin Ash. Makin bingung si Yahudi ini dan dia menuruti perintah Khalifah Sayyidina Umar tersebut.


Sesampai di Mesir, Yahudi ini pun langsung menyampaikan pesan Sayyidina Umar dengan memberikan sepotong tulang tadi kepada Gubernur Amr bin Ash. Begitu dikasih tulang, Amr bin Ash melihat ada garis lurus dengan ujung pedang, gemetar dan badannya keluar keringat dingin lalu dia langsung menyuruh kepala proyek untuk membatalkan penggusuran gubuk Yahudi tadi.


Amr bin Ash berkata pada Yahudi itu, ini nasehat pahit buat saya dari Amirul Mukminin Umar bin Khattab, seolah-olah beliau bilang ‘hai Amr bin Ash, jangan mentang-mentang lagi berkuasa, pada suatu saat kamu akan jadi tulang-tulang seperti ini.


Maka mumpung kamu masih hidup dan berkuasa, berlaku lurus dan adillah kamu seperti lurusnya garis di atas tulang ini. Lurus, adil, jangan bengkok, sebab kalau kamu bengkok maka nanti aku yang akan luruskan dengan pedang ku.


Singkat cerita, setelah melihat keadilan yang dicontohkan Sayyidina Umar tersebut, akhirnya Yahudi itu menghibahkan gubuknya tadi buat kepentingan pembangunan masjid, dan dia pun masuk Islam oleh karena keadilan dari Umar bin Khattab.


Penulis: Fathoni Ahmad

Editor: Muchlishon