Nasional

Kiai Nasaruddin Umar: Teologi Aswaja Seimbangkan Ikhtiar dan Doa

Jum, 17 September 2021 | 04:00 WIB

Kiai Nasaruddin Umar: Teologi Aswaja Seimbangkan Ikhtiar dan Doa

Imam Besar Masjid Istiqlal Prof KH Nasaruddin Umar (Foto: istimewa)

Jakarta, NU Online

Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta Prof KH Nasaruddin Umar mengatakan bahwa Ahlussunnah wal Jamaah (Aswaja) merupakan kelompok teologi Islam yang mengajarkan soal upaya menyeimbangkan antara ikhtiar dan doa. Dalam hal ini, Aswaja menempati posisi yang moderat di antara kedua kubu ekstrem yakni Jabariyah dan Qadariyah.

 

Dalam ajaran Jabariyah, manusia tidak bisa menentukan perbuatannya sendiri melainkan Allah yang akan menentukan. Pemahaman ini disebut juga sebagai fatalisme. Menganggap bahwa manusia layaknya wayang dan Allah sebagai dalang. Secara tidak langsung, logika seperti itu seolah-olah menganggap doa tidak banyak menolong karena semua hal telah ditentukan oleh Allah. 

 

"Kita seperti robot, pengendalinya adalah Allah. Manusia tidak merdeka mengerjakan pekerjaannya. Mereka juga mencari ayat yang bisa mendukung gagasannya. Wa maa ramaita idz ramaita wa laakinnallaha ramaa. Bukan kalian yang melempar pada saat kalian melempar, melainkan Allah-lah yang melempar. Berarti kalau kita makan, bukanlah kita yang makan tetapi Allah yang menyebabkan pekerjaan makan itu terjadi. Nah itulah pendapatnya Jabariyah," terang Kiai Nasar saat mengisi Istighotsah dan Doa Bersama yang diadakan Majelis Telkomsel Taqwa baru-baru ini.

 

Kiai Nasaruddin mengatakan Qadariyah merupakan kelompok teologi Islam yang memiliki pendapat bertolak belakang dari Jabariyah. Kelompok ini mengajarkan bahwa manusia harus penuh dalam berikhtiar yang mutlak harus dilakukan. 

 

"Ikhtiar itu mutlak dilakukan manusia karena manusia itu pembawa cek kosong. Artinya, takdir manusia itu ditentukan oleh dirinya sendiri. Allah sudah menciptakan manusia lengkap dengan lapis-lapis kecerdasan intelektual, emosional, spiritual. Punya jiwa dan akal,” terangnya.

 

Organ-organ kecerdasan itu membuat manusia diserahkan agar memiliki tugas dan fungsi sebagai khalifah. Sebagaimana telah Allah firmankan, inni ja’ilun fil ardhi khalifah. Seolah-olah, Qadariyah berasumsi bahwa Allah sudah menciptakan manusia dengan multi asesoris kecerdasan sehingga Allah telah terpisah dengan kehidupannya. 

 

"Manusia sepenuhnya dikendalikan oleh representatifnya. Jadi perbuatan manusia itu adalah otonominya sendiri. Tuhan sudah selesai tugasnya terhadap manusia. Jadi kalau ada orang terkena Covid-19, itu karena salahnya sendiri. Karena mungkin tidak melakukan ikhtiar yang maksimal," ungkapnya.

 

"Mungkin karena tidak pakai masker, tidak berjarak, berkerumun, tidak divaksin, dan boros menggunakan badannya sehingga mudah lemah. Jadi jangan menyalahkan Tuhan kalau terjadi musibah kepada diri kita, karena sudah sepenuhnya kewenangan dan domain kita sebagai manusia. Ini berbeda dengan teologi Jabariyah," imbuh Mustasyar PBNU itu. 

 

Dari dua pemahaman yang ekstrem itulah, Aswaja berdiri di antara kekakuan Jabariyah dan liberalisme Qadariyah. Dalam pemahaman Aswaja, ikhtiar digunakan secara proporsional dan ditutup dengan memohon kepada Allah. 
 

"Kalau Qadariyah tidak perlu berdoa karena tidak ada guna dan efeknya karena segalanya ditentukan oleh dirinya sendiri. Jadi doa itu berfungsi hanya untuk memberikan sugesti ketenangan batin tapi jangan berharap doanya yang menyebabkan terkabulnya harapan. Maka itu lebih penting berusaha, berikhtiar daripada berdoa," terangnya.

 

Jabariyah pun hampir sama tetapi tujuannya berbeda. Mereka berpemahaman bahwa berdoa itu percuma karena semua takdir sudah ditentukan oleh Allah. Hal ini sangat jauh berbeda dengan konsep ikhtiar yang ada di dalam teologi Aswaja. 

 

Konsep ikhtiar Aswaja

Dijelaskan Kiai Nasar bahwa terwujudnya konsep ikhtiar itu meliputi empat tahap. Pertama, karena ada masyi’atullah yaitu keinginan Allah. Tidak akan terjadi sesuatu perbuatan tanpa ada kehendak Allah. Segala perbuatan manusia terdapat faktor yang disebut masyi’ah itu. 

 

Kedua, ikhtiar itu juga tergantung dari iradah atau keinginan manusia itu sendiri. Ma’isyah atau keinginan Allah itu harus terpatri dalam diri manusia setiap orang sehingga muncul iradah atau keinginan manusia itu. 

 

"Jadi, iradah itu kehendak manusia yang mengikuti masyiah kehendak Allah. Nah kalau kita sudah memegang masyiah Allah. Misal, ada kehendak Allah yang membikin kenyang karena kita lapar, itu masyiah Allah. Lalu ada keinginan kita untuk makan karena memang kita lapar, itu iradah. Karena aku lapar aku ingin makan,” terang Kiai Nasar. 

 

Ketiga, ada unsur lain yakni istitha’ah. Kemampuan merealisasikan kehendak manusia, iradah. Seperti kemampuan masak, misalnya. Namun, belum tentu kemampuan bisa masak itu juga dibarengi dengan kemampuan membeli beras. 

 

"Jadi semuanya terkait dengan istitha’ah. Ada kemampuan, peluang, tantangan untuk merealisasikan iradah itu. Kalau semua terhubung antara masyiah dan iradah lalu ada istitha’ah maka satu tahap lagi eksekusi itulah yang disebut kasab," terangnya.

 

Kasab adalah eksekusi. Sekalipun ada masyi’ah Allah yang terhubung dengan iradah, tetapi jika tidak ada eksekusi maka sesuatu yang diinginkan tidak akan terwujud. 

 

"Karena itu, tidak semua keinginan  Allah, keinginan manusia, dan kemampuan juga ada sesuatu itu dapat terwujud. Nah di sinilah peranan doa. Ikhtiar manusia sekalipun sudah sempurna, kalau Allah tidak menghendaki di bagian akhir, itu tidak akan terwujud," pungkas Kiai Nasar.

 

Pewarta: Aru Lego Trinono
Editor: Kendi Setiawan