Syariah

Tentang Bolehnya Perempuan Menjadi Khatib Shalat Id

Jum, 22 Mei 2020 | 13:00 WIB

Tentang Bolehnya Perempuan Menjadi Khatib Shalat Id

(Foto ilustrasi: NU Online/Dok. Pesantren Sirojuth Tholibin Brabo)

Merebaknya wabah Covid-19 yang tak terkendali hingga detik ini, mendorong sejumlah pemerintah daerah melakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Akibatnya, banyak kegiatan masyarakat Muslim yang menjadi terganggu karenanya. Tidak sebagaimana normalnya.

 

Namun, dalam kondisi pandemi Covid-19 ini, aktivitas seperti shalat Idul Fitri berpotensi untuk tidak bisa dilakukan di masjid, atau tanah lapang dengan mengumpulkan banyak massa. Oleh karenanya, diperlukan adanya solusi mengenai hal tersebut, mengingat pelaksanaan shalat Idul Fitri merupakan bagian dari syiar yang dikuatkan oleh nash-nash syariat. Sebagaimana hadits dari Ummu ‘Athiyah radliyallahu ‘anha, sebagai berikut:

 

أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ نُخْرِجَهُنَّ فِي الْفِطْرِ وَالأَضْحَى الْعَوَاتِقَ وَالْحُيَّضَ وَذَوَاتِ الْخُدُورِ، فَأَمَّا الْحُيَّضُ فَيَعْتَزِلْنَ الصَّلاةَ وَيَشْهَدْنَ الْخَيْرَ وَدَعْوَةَ الْمُسْلِمِينَ، قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِحْدَانَا لا يَكُونُ لَهَا جِلْبَابٌ، قَالَ: لِتُلْبِسْهَا أُخْتُهَا مِنْ جِلْبَابِهَا

 

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kami untuk mengajak keluar kaum perempuan pada hari raya Idul Fitri dan Idul Adha, baik perempuan ‘awatiq (wanita yang baru baligh), wanita haid, maupun gadis yang dipingit. Adapun wanita haid, mereka memisahkan diri dari tempat pelaksanaan shalat dan mereka menyaksikan kebaikan serta dakwah kaum muslimin. Aku berkata: ‘Wahai Rasulullah, salah seorang dari kami tidak memiliki jilbab.’ Beliau menanggapi: ‘Hendaklah saudarinya (maksudnya sesama muslimah) meminjamkan jilbab kepadanya’,” (HR Imam Bukhari: 324; dan Muslim: 890).

 

Dianjurkannya mengajak perempuan haid, perempuan yang dalam pingitan, dan wanita-wanita yang baru baligh untuk hadir di majelis, merupakan bukti bahwa syiar lewat shalat Idul Fitri ini sebagai yang dikuatkan. Alhasil, dalam kondisi pandemi Covid-19 ini, maka tugas utama kita – terkait dengan shalat idul fitri – itu ada dua, yaitu (1) menjaga syiar dan (2) memberi solusi kepada masyarakat agar tetap bisa mematuhi PSBB, akan tetapi shalat id-nya juga dapat.

 

Menjaga Syiar

Perintah menjaga syiar ini disampaikan oleh Allah subhanahu wata’ala di dalam QS al-Hajj ayat 32. Allah subhanahu wata’ala berfirman:

 

ذَٰلِكَ وَمَن يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِن تَقْوَى الْقُلُوبِ

 

“Dan barang siapa mengagungkan syiar-syiar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati” (QS al-Hajj: 32).

 

Terhadap ayat ini, Ibn Katsir menafsirkan pengertian Syiar ini sebagai:

 

عن ابن عباس: (ذلك ومن يعظم شعائر الله) قال: الاستسمان والاستحسان والاستعظام

 

“Diriwayatkan dari sahabat Ibnu Abbas soal maksud dari ayat ‘dzâlika wa man yu’adzim sya‘ârillâh, ia berkata: menggemukkan, memperindah, dan memperbesar” (Tafsir Ibnu Katsir, halaman 336).

 

Alhasil, menurut konsep ini, maka menjaga syiar lewat shalat id, adalah bisa dilakukan dengan tetap melaksanakan semampunya, tidak meninggalkannya, sehingga seruan akan keimanan dan takwa terhadap Allah SWT sebagai yang tidak akan pernah padam, dan minimal adalah anak cucu kita semua tahu bahwa ada tuntunan untuk melaksanakan shalat Idul Fitri, kendati kondisi tengah dalam situasi kecemasan dihantui oleh wabah.

 

Menurut catatan Imam Nawawi, bagi pihak yang melakukan shalat id secara sendirian (munfarid) maka tidak disyaratkan membaca khutbah. Namun, para ulama berbeda pendapat mengenai jumlah minimal peserta jamaah shalat id dan kriteria jumlah jamaahnya sehingga layak disebut pelaksanaan shalat id yang di dalamnya didirikan khutbah.

 

Perbedaan pendapat para ulama ini setidaknya bisa dikelompokkan menjadi dua, yaitu:

 

Pertama, ulama yang mensyaratkan shalat id sebagaimana layaknya pelaksanaan shalat Jumat. Pendapat ini diikuti oleh jumhur ulama dari kalangan Hanafiyah, Malikiyah, qaul qadim Syafiiyah, dan Hanabilah. Sudah barang pasti, ada beberapa rincian yang terjadi ikhtilaf di dalamnya.

 

Menurut Al-Sarakhshy, salah satu ulama otoritatif dari kalangan Hanafiyah, menyatakan:

 

يشترط لصلاة العيد ما يشترط لصلاة الجمعة، إلا الخطبة، فإنّها من شرائط الجمعة، وليست من شرائط العيد

 

“Disyaratkan untuk shalat Id hal yang berlaku atas shalat Jumat, kecuali khutbah. Karena sesungguhnya khutbah itu hanya merupakan syarat shalat Jumat, namun tidak berlaku untuk shalat id.” (Al-Mabsuth, Juz 3, halaman 37).

 

Dengan demikian, menurut kalangan Hanafiyah, jumlah minimal peserta jamaah untuk mendirikan shalat id adalah 3 orang ahli Jumat (orang yang wajib shalat Jumat), ditambah 1 orang imam. Tanpa keberadaan ini, maka tidak sah shalat Id tersebut.

 

Adapun terkait khutbah shalat id, kalangan hanafiyah memandang, dari 3 peserta yang hadir, minimal 1 orang di antaranya mendengarkan khutbah.

 

يشترط لصحة الخطبة أن يحضر شخص واحد على الأقل لسماعها

 

“Disyaratkan untuk sahnya khutbah, adalah hadirnya minimal satu orang jamaah yang mendengarkan.” (Alfiqhu

 

Pendapat senada disampaikan oleh Al-Kasany di dalam Badai’u al-Shanai’, Juz 1, halaman 275 dengan menegaskan ketentuan terhadap Imam, pemukiman (al-mishr), peserta jamaah, serta waktu pelaksanaan, kecuali khutbah. Karena khutbah hanya Sunnah yang dilakukan setelah shalat. Seandainya ditinggalkan, maka shalat id tersebut tetap dihukumi sah (Badai’u al-Shanai’, Juz 1, halaman 275).

 

Jika ketentuan ini terpenuhi, maka khutbah sudah bisa didirikan di dalamnya. Penting memperhatikan catatan dari Ibnu al-Hathab al-Hanafy, bahwa:

 

وأما من لا تجب عليه الجمعة من أهل القرى الصغار، والمسافرين والنساء والعبيد ومن عقل الصلاة من الصبيان؛ فليست في حقّهم سنة، ولكنه يستحب لهم إقامتها

 

“Adapun bagi orang yang tidak wajib baginya melaksanakan shalat Jumat, seperti anak-anak kecil dari ahli desa, kaum musafir, kaum perempuan, hamba, dan anak-anak kecil yang sudah berakal, tidak ada hak bagi mereka kesunahan mendirikan Id. Akan tetapi, mereka sekedar dianjurkan untuk ikut mendirikan jamaah ‘id.” (Al-Mawahib al-Jalil, Juz 1, halaman 190)

 

Dengan demikian, menurut pandangan mazhab Hanafi, bagi peserta yang bukan ahli Jumat, seperti perempuan, orang musafir dan anak kecil, tidak dianggap sebagai yang memenuhi syarat wajib pendirian shalat id yang didirikan khutbah di dalamnya. Kewajiban pendirian shalat id dan khutbah hanya berlaku dengan ketentuan jumlah jamaah memenuhi kriteria 4 orang ahli Jumat.

 

Menurut pandangan sebagian kalangan Syafiiyah dan Hanabilah, sebagaimana yang disampaikan oleh Ibn Qudamah, ada ketentuan mendirikan shalat id sebagai wajib istithan, yaitu tinggal di wilayah administratif tertentu.

 

ويشترط الاستيطان في وجوبها؛ لأن النبي صلى الله عليه وسلم لم يصلها في سفره ولا خلفاؤه، وكذلك العدد المشترط للجمعة؛ لأنها صلاة عيد، فأشبهت الجمعة

 

“Disyaratkan harusnya tinggal di suatu perkampungan sebagai syarat wajibnya shalat Id, sebab Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah melakukan shalat id saat beliau melakukan safar. Demikian halnya dengan para khalifah penggantinya. Hal yang sama juga berlaku atas jumlah peserta jamaah, disyaratkan sebagaimana minimal jumlah jamaah shalat Jum’ah, karena shalat id adalah menyerupai ketentuan shalat Jumat.” (Ibnu Qudamah al-Hanbaly, Al-Mughny li Ibn Qudamah, Juz 3, halaman 287).

 

Alhasil, ketika jumlah jamaah Jumat kurang dari 40 orang penduduk setempat (ahli Jumat), maka tidak wajib pendirian shalat id dan khutbah di dalamnya. Akan tetapi, bagi mereka tetap boleh melaksanakan shalat id tanpa khutbah.

 

Kedua, para ulama yang tidak mensyaratkan pendirian shalat id sebagaimana syarat pendirian shalat Jumat. Pandangan ini disampaikan oleh kalangan Syafiiyah dalam qaul jadidnya. Imam Nawawi rahimahullah menegaskan:

 

المذهب المنصوص في الكتب الجديدة كلِّها: أنّ صلاة العيد تشرع للمنفرد في بيته أو غيره، وللمسافر والعبد والمرأة، وقيل: فيه قولان. الجديد: هذا. والقديم: أنّه يشترط فيها شروط الجمعة من اعتبار الجماعة والعدد بصفات الكمال، وغيرها

 

Menurut pendapat yang tertuang di dalam Kitab-Kitab berhaluan qaul jadid, seluruhnya: “sesungguhnya shalat id disyariatkan baik bagi orang yang sendirian di rumah atau selainnya, dan bagi musafir, hamba sahaya dan kaum perempuan.” Dan juga disampaikan: “Terdapat dua pendapat dalam mazhab Syafii: (1) menurut qaul jadid, sebagaimana yang telah disebutkan, dan 2) menurut qaul qadim: sesungguhnya telah disyaratkan di dalam pendirian shalat id sebagaimana syarat ketentuan pendirian shalat Jumat, baik dari sisi jama’ah, jumlah peserta, lengkap dengan sifat sempurnanya ahli yang mendirikan, dan hal-hal lain yang berkaitan dengan pendirian shalat Jumat.” (Raudlatu al-Thalibin, juz 2, halaman 70).

 

 

Mengikut pada pendapat yang tertuang dalam qaul jadid, pendirian shalat id menurut konteks mazhab Syafii, tidak disyaratkan sebagaimana layaknya shalat Jumat sehingga tidak harus terdiri dari ahli Jumat. Pendapat ini tentu berbeda aplikasinya dengan pendapat yang tertuang dalam qaul qadim, karena dalam qaul qadim berlaku ketentuan mengikut syarat ketentuan pendirian shalat Jumat. Alhasil, dengan pendapat ini, maka menurut kalangan Syafiiyah pendirian shalat id bisa diperinci sebagai 3 model, yaitu:

 

  1. Pendapat yang mensyaratkan bolehnya mendirikan shalat idul fitri dengan 4 ahli Jumat, 1 di antaranya hadir dan mendengar khutbah. Dengan demikian, 4 orang ahli Jumat yang berkumpul dalam satu tempat untuk mendirikan shalat id, sudah bisa menyertakan khutbah di dalamnya. Dalam konteks ini, perempuan berarti tidak bisa menjadi khatib sebab harus terdiri dari ahli Jumat.

 

  1. Pendapat yang tidak mensyaratkan ketentuan pendirian shalat Jumat. Dengan demikian, asal di tempat tersebut telah berkumpul sejumlah orang yang siap menjadi makmum, dan 1 di antaranya menjadi khatib dan sekaligus imam, maka hukumnya sudah boleh untuk mendirikan shalat id, lengkap dengan khutbahnya. Makmum yang terlibat di dalamnya tidak harus terdiri dari ahli Jumat, sebagaimana pendapat ini disampaikan oleh Imam Nawawi di atas. Alhasil, jika hal ini terdapat pada komunitas khusus jamaah perempuan, maka seorang perempuan sudah bisa menjadi khatib dan Imam shalat id.

 

  1. Pendapat yang mengadopsi qaul jadid (pendapat baru Imam Syafi’i) dan sekaligus qaul qadim (pendapat lama Imam Syafi’i). Artinya, ketentuan mengenai jumlah jamaah, adalah mengikut ketetapan adanya batasan minimal peserta yang terdiri dari ahli Jumat adalah berjumlah 40 orang, dengan 1 di antaranya menjadi Imam sekaligus khathib. Pendapat ini disampaikan oleh Syeikh Abdurrahman al-Jaziri dalam Al-Fiqhu ala Al-Madzahib al-Arba’ah. Alhasil, dengan pendapat ini, maka seorang perempuan tidak bisa menjadi khatib sekaligus imam dari shalat id disebabkan adanya ketentuan ahli Jumat.

 

Berdasarkan hasil perbandingan terhadap komposisi jamaah yang terlibat di dalam pendirian shalat id, maka dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan pendapat di kalangan ulama mazhab mengenai kebolehan perempuan menjadi khatib dan imam shalat id. Kalangan Hanafiyah, Malikiyah dan sebagian kalangan Syafiiyah serta Hanabilah menyatakan tidak bolehnya perempuan menjadi khatib shalat id pada kasus pendirian jamaah shalat Idul Fitri yang disertai khutbah. Akan tetapi, menurut konteks pendapat al-Nawawi dalam Raudlatu al-Thalibin, karena tidak disyaratkan pendirian shalat id terdiri dari ahli Jumat, maka dalam komunitas homogen (perempuan semua), perempuan bisa mendirikan jamaah shalat id secara mandiri dan salah satunya bisa menjadi khatib sekaligus imam shalat id. Wallahu a’lam bish shawab.

 

 

Ustadz Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah – Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur

 

Baca naskah khutbah seputar Idul Fitri di Kumpulan Khutbah Idul Fitri Terfavorit