Riset BLAJ

Ratiban, Tradisi Keagamaan yang Langgeng di Kota Metropolitan

Jum, 4 Desember 2020 | 12:15 WIB

Ratiban, Tradisi Keagamaan yang Langgeng di Kota Metropolitan

Tradisi ratiban masih dilakukan umat Islam di kota Jakarta, seperti di Ciracas. (Foto: NU Online/Musthofa Asrori)

Tradisi sebagai adat kebiasaan turun temurun dari leluhur tidak selamanya langgeng jika tidak dilestarikan oleh generasi penerus masa kini. Terlebih di kota-kota besar metropolitan yang rawan terkontaminasi dengan adat kebiasaan baru dari kebudayaan luar negeri. 

 

Meski demikian, berdasarkan hasil penelitian Mustika Ayu Rakhadiyanti, berjudul Tradisi Pembacaan Buku Ratib Al-Haddad oleh Warga Ciracas, Jakarta Timur, dengan Naskah Ratibu ‘l-Haddad salinan Encik Yahya: Perbandingan Tekstual dan Kajian Nilai Keagamaan dalam Naskah, diketahui ternyata di tengah gempuran kebudayaan luar yang ada, masyarakat di Jakarta sebagai kota metropolitan masih melaksanakan tradisi nenek moyang mereka.

 

Dalam penelitian dengan dukungan Balai Litbang Agama Jakarta (BLAJ) disebutkan hal itu sebagai upaya menjaga kekayaan budaya dan kearifan lokal masyarakat setempat. Di antara tradisi yang masih ada yakni mutih, dipiare, palang pintu, nujuh bulanan, sunatan, khatam Qur'an, ruwahan, nisfu sya’ban, nyekar, tahlilan, haul, ratiban, dan yang lainnya. 

 

Tradisi-tradisi ini dilakukan oleh orang Betawi (sebagai penduduk asli ibu kota) ketika akan menikah, sedang hamil, hendak pergi haji, meninggal dunia, berziarah kubur, bulan-bulan tertentu dalam Islam, dan apabila ada hajat. 

 

Semua tradisi tersebut pada umumnya berkelindan dengan ajaran Islam karena mayoritas orang Betawi beragama Islam sejak lahir. Tradisi-tradisi yang telah disebutkan masih dilakukan oleh orang Betawi hingga saat ini. Karena tradisinya berkaitan dengan agama Islam, tidak jarang tata cara dan prosesi dilakukan secara Islam, dalam Bahasa Arab, dan membacakan atau mengutip Al-Qur’an dan hadist.     

 

Salah satu  tradisi yang menarik dan menjadi objek penelitian lebih lanjut adalah ratiban. Meski sudah lama diajarkan, ratiban hingga kini masih dilakukan. Uniknya, di Kecamatan Ciracas, Jakarta Timur sebagai lokasi penelitian naskah ratib yang dipakai bersumber dari naskah kuno yang ditulis ulang. 

 

Dalam laporan hasil penelitian pustaka dan lapangan yang dipublikasikan, diketahui kata ratiban berasal dari kata dasar ratib. Ratib menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti ‘puji-pujian kepada Tuhan yang diucapkan berulang-ulang; zikir’. Kata ini berasal dari bahasa Arab. Dalam bahasa Arab, ratib bersumber dari rattaba yang bermakna ‘mengaturkan, menyusun, menguatkan’. 

 

Kemudian, dalam istilah tasawuf, kata ratib dipakai sebagai suatu bentuk zikir yang disusun seorang guru tarekat atau seorang ulama untuk dibaca pada waktu-waktu tertentu oleh seseorang atau beberapa orang dalam suatu jemaah sesuai dengan aturan yang telah ditentukan oleh penyusunnya.

 

Sementara, ratib yang digunakan oleh masyarakat Ciracas, Jakarta Timur adalah buku yang disusun kembali dari sumber naskah ratib karya Encik Yahya. Zikir-zikir yang disusun menjadi ratib itu  terdiri atas ayat-ayat yang dipilih dari ayat-ayat Al-Quran yang bermakna tahlil, tasbih, tahmid, taqdīs, istighfar, membesarkan nama Allah  dan  doa-doa pilihan lainnya. 

 

Berdasarkan definisi di atas, ratib merupakan bacaan yang dilakukan secara berulang-ulang, rutin, konsisten, dan bersumber dari ajaran agama Islam. Isi ratib beberapa diambil  ayat Al-Qur’an, zikir harian, dan doa-doa yang telah disusun sedemikian rupa. Ratib dapat juga diartikan sebagai bacaan doa atau pujian kepada Allah Swt. agar mendapat perlindungan dari segala marabahaya.

 

Ratib disusun oleh ulama. Beberapa ulama yang dikenal dengan ratibnya, antara lain Habib al-Atthas, as-Samman, al-Alaydrus, al-Mudhor, dan al-Haddad. Sementara, ratib yang dibaca masyarakat Ciracas adalah ratib yang dicetuskan oleh al-Haddad sehingga akrab disebut Ratib al-Hadad. 

 

Penulis: Nidhomatum MR
Editor: Kendi Setiawan