Wacana Penerapan Kokurikuler: Antara Idealitas dan Realitas
NU Online · Ahad, 14 Agustus 2016 | 10:00 WIB
Kokurikuller yang selama ini dipahami oleh masyarakat sebagai satu konsep "full day school" adalah satu gagasan yang fenomenal dari Mendikbud RI yang bertugas melanjutkan posisi Annis Baswedan sebagai menteri sebelumnya dalam Kabinet Kerja di bawah kepemimpinan Presiden JokoWidodo.
Gagasan luar biasa ini diharapkan mampu memaksimalan waktu seorang siswa di tingkat sekolah dasar dan menengah, dengan mengurangi waktu longgar anak dan menggantinya dengan sebuah proses pembelajaran tambahan yang ada di sekolahnya masing-masing. Melalui wacana ini kita dapat menyimpulkan meskipun ini belum menjadi satu kebijakan resmi yang dikeluarkan oleh menteri untuk di laksanakan semua sekolah dasar dan menengah yang ada di seluruh negeri. Siswa siswi sekolah dasar dan menengah akan berada di sekolah selama sehari penuh mulai pagi hingga sore hari, sehingga diharapkan seorang anak akan lebih mampu menyerap segala ilmu yang ada dan diberikan oleh pengajar mereka secara maksimal karena waktu pengawasan guru sebagai pendidik juga semakin panjang. Di sisi lain gagasan ini juga menyeimbangkan dengan kondisi orang tua yang harus berkerja setiap harinya. Dalam berbagai pemaparan yang disampaikan oleh banyak kalangan kokurikuller ini merupakan satu gagasan agar anak tidak pernah lepas dari pengawasan orang orang yang memang bertanggung jawab untuk menjadikan anak tersebut mapan secara keilmuannya juga secara budi pekertinya melalui kontrol guru selama di sekolah, dan langsung mendapatkan kontrol orang tua seusai sang anak pulang dari tempat belajarnya.
Sebagai seorang Yang masih berstatus sebagai seorang Pelajar, serta saat ini berkecimpung dalam organisasi yang terjun dalam usaha pengawalan serta adokasi pelajar, saya sangat mengapresiasi serta cukup memahami, bahwa ini merupakan suatu terobosan konkret agar anak terkendali setiap tingkah laku serta pergaulannya semenjak masih berusia dini. Bagaimana tidak? Selama ini belum ada gagasan skala nasional yang berpikir untuk seorang anak belajar maksimal, agar dia menjadi orang yang siap menghadapi segala konteks perubahan zaman yang akan ditemuinya seusai dia dewasa nanti. Ini sebagai satu cara agar anak tersebut tidak terjebak dalam satu kebingungan dalam membedakan apa yang baik bagi dirinya di saat dia sudah pada umur yang perlu untuk menentukan segala sesuatunya secara mandiri.
Realitas di Indonesia
Akan tetapi wacana ini saya kira cukup gegabah dan tidak tepat untuk dijalankan di Indonesia. Anak usia Sekolah dasar dan menengah tidak cukup hanya belajar dengan segelintir orang saja yang ditugaskan untuk mengajarkan ilmu pengetahuan dan budi pekertinya di sekolah. Anak-anak juga membutuhkan waktu di mana dia bisa bermain lebih lepas, bergaul lebih luas dengan teman sebayanya selain di sekolahnya.
Memang benar sesuai dengan tugasnya, guru wajib memastikan setiap anak didiknya untuk bisa bertindak sebagai seorang yang berpendidikan dengan mengutamakan bidi pekerti yang dibentuk di sekolah dengan standar yang tentu bukan satu standar sederhana, dan sudah dipikirkan dengan matang bagaimana seorang anak mampu hidup nyaman setiap harinya di lingkungan sekolah dengan pengawalan maksimal dari para gurunya.
Akan tetapi dengan tidak memberikan ruang pada anak untuk berekspresi dan bersosialisasi dengan lingkungan juga merupakan satu bentuk intervensi terhadap masa depan anak. Sebagaimana kita ketahui bersama, masa depan anak menjadi satu hal penting, karakter seorang anak juga dibentuk melalui cita-cita yang hendak dicapainya, sementara cita-cita akan muncul menjadi satu panggilan jiwa anak tersebut setelah dia mengetahui seperti apa dunia luas, yang tidak cukup hanya melalui cerita pengalaman seorang guru. Anak perlu merangkai cita-citanya sejak dini melalui interaksinya dengan masyarakat. Dengan kata lain, guru tidak boleh memaksa seorang anak memiliki cita-cita sesuai dengan pengalaman pribadinya melalui kegiatan belajar di sekolah.
Selain alasan di atas, menyamakan waktu berkerja bagi seorang yang telah dewasa dan waktu belajar seorang anak di sekolah, ini seolah menjadi satu konsep menyamakan kemampuan yang dimiliki oleh dua generasi yang berbeda. Pada manusia dewasa dia mampu mengerjakan sesuatu secara rutin dalam waktu panjang. Memang menjadi satu tuntutan perkerjaan dia harus mampu memposisikan dirinya sebagai seorang profesional yang sanggup berada pada berbagai tekan kebosanan karena harus mengerjakan suatu konteks pekerjaan yang sama dalam waktu panjang setap harinya, tapi apakah kita yakin seorang anak yang dibawah umur mampu berada dalam tekanan tersebut? Dalam nalar saya, apabila seseorang dipaksakan untuk terus dalam sebuah tekanan justru dia akan berada dalam kondisi tersebut dengan setengah hati, dan hasil yang dicapai justru tidak akan pernah maksimal. Secara fisik mungkin bisa diawasi namun secara mental anak-anak akan semakin liar dan menginginkan kehidupan yang sebebas mungkin seagaimana garis kewajaran pemikiran seorang anak usia dini.
Masih terngiang pula dalam ingatan saya, dengan tugas tugas uang dibebankan oleh guru sebagai satu pekerjaan rumah, dalam hal ini saya mengajak semua pembaca sedikit menghitung waktu yang tersisa. Anak pulang dari sekolah pukul 17.00, efektif perjalanan sampai rumah 30 menit, sehingga pukul 17.30 anak tersebut sampai rumah. Kemdian sang anak disibukan dengan kegiatan sore hari seperti mandi, shalat maghrib bagi muslim, kemudian juga sekadar untuk duduk bersama dan bergurau dengan kerabatnya di rumah. Anggaplah ini cukup sampai pukul 19.00 kemudian anak tersebut disibukkan dengan PR-nya kita hitung standar 2 jam untuk mengerjakan itu. Artinya sampai pukul 19.00 ini adalah jam standar anak-anak untuk istirahat. Dan itu pun sudah sepantasnya istirahat sampai subuh bagi anak-anak muslim. Dan paginya dia harus kembali beraktivitas sebagaimana hari sebelumnya. Tentu sudah bisa kita bayangkan bagaimana jenuhnya seorang anak yang ditekan dalam kondisi semacam ini. Dalam nalar saya seorang mahasiswa pun yang sudah mumpuni secara kapasitas maupun fisik akan sangat sulit untuk menyesuaikan keadaan semacam ini.
Tidak hanya itu, isu pembangunan karakter yang agamis melalui tambahan jam sekolah menjadi satu pertimbangan khusus wacana pelaksanaan program ini. Menurut saya ini bukan alasan yang tepat, karena seolah sekolah mampu memberikan semua yang dibutuhkan anak dalam hal agama, dan mengkerdilkan lembaga-lembaga yang selama ini fokus memberikan kajian pelajaran agama bagi setiap warga negara. Secara rutin dan sesuai dengan tuntunan agamanya masing-masing, gagasan penambahan waktu sekolah untuk memberikan budi pekerti dan agama adalah satu gagasan yang tidak masuk akal saat ini. Hal ini saya sampaikan karena melihat kurikulum pendidikan agama yang ada sekarang. Kajian agama yang konkret dan mendalam selama ini hanya ada di pondok pesantren yang mengajarkan seorang anak sejak belajar membaca huruf hijaiyah sampai anak itu mampu menafsirkan Al-Qur'an. Sementara hari ini kita bisa bersama kapasitas pengetahuan agama yang dimiliki oleh seorang anak yang hanya mengandalkan pendidikan sekolah umumnya sangat jauh berbeda dari yang ditempa melalui kombinasi pendidikan umum dan pesantren. Kalau melihat alasan ini justru sebaiknya Pak Menteri malah memberikan anjuran "pagi jadi siswa sore jadi santri" sebagai satu solusi konkret keseimbangan pengetahuan umum dan agama. Bukan justru mengurangi waktu anak-anak belajar untuk mengaji dan bersosialisasi dengan anak sebayanya di lingkungan tempat tinggalnya.
Apabila alasan-alasan penolakan di atas masih dirasa kurang, kita melihat sedikit dari sisi pihak pegajar baik mereka yang masih sendiri maupun mereka yang sudah berkeluarga. Tentu ini akan menjadi satu pertimbangan khusus. Selain mengekang untuk hidup bermasyarakat dan bersosialisasi aktif dalam kegiatan-kegiatan sosial bagi yang belum berkeluarga, juga ini menjadi satu permasalahan khusus bagi mereka yang sudah berkeluarga dan memiliki anak. Dia tentu menginginkan untuk memiliki waktu bersama dan mendidik anaknya serta memahami setiap yang menjadi perkembangan dari putra dan putrinya.
Sekali lagi saya mengapresiasi gagasan luar biasa dari Pak Menteri untuk membentuk generasi bangsa yang cerdas dan juga berkarakter serta berbudi pekerti, akan tetapi konsep kokurikuler yang diaplikasikan melalui sehari penuh anak berada di sekolah selayaknya “tidak dilanjutkan” sebab berpotensi menjadi satu gagasan yang tidak tepat guna, dan melemahkan sudut-sudut pendidikan nonformal yang sangat mendukung seorang anak memahami tentang budi pekerti dan juga mempelajari agama lebih dalam, serta juga malahan membuat seorang anak tidak terbiasa dengan kearifan lokal yang ada di daerahnya karena waktunya habis dan pemikirannya terkurung oleh gerbang sekolahnya.
Penulis adalah Ketua Pimpinan Cabang Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) Kabupaten Sleman
Terpopuler
1
Kader PMII Dipiting saat Kunjungan Gibran di Blitar, Beda Sikap ketika Masih Jadi Wali Kota
2
Pihak MAN 1 Tegal Bantah Keluarkan Siswi Berprestasi Gara-gara Baju Renang
3
Kronologi Siswi MAN 1 Tegal Dikeluarkan Pihak Sekolah
4
Negara G7 Dukung Israel, Dubes Iran Tegaskan Hindari Perluasan Wilayah Konflik
5
KH Miftachul Akhyar: Menjadi Khalifah di Bumi Harus Dimulai dari Pemahaman dan Keadilan
6
Amerika Bom 3 Situs Nuklir Iran, Ekskalasi Perang Semakin Meluas
Terkini
Lihat Semua