Oleh HA. Hasyim Muzadi
Dalam sepekan ini, saya dan tim PBNU berkunjung ke Timur Tengah untuk menemui beberapa tokoh kunci kawasan itu, khususnya negara-negara Islam. Saya bertemu dengan Sekjen Liga Muslim Dunia, Dr Abdullah Atturki, yang markasnya di Makkah, sekjen OKI yang pusatnya di Jeddah, juga pejabat Islamic Development Bank (IDB).
Ada tiga agenda utama yang menjadi misi kami dalam pertemuan tersebut. Ketiganya adalah soal prospek solusi krisis Israel-Hizbullah di Lebanon, konflik Palestina-Israel, Irak pasca-agresi militer AS; masalah terorisme; dan pembangunan ekonomi negara-negara Islam. Agenda kunjungan kami ini merupakan spirit sekaligus realisasi hasil rekomendasi forum International Conference of Islamic Scholars (ICIS) II yang berlangsung di Jakarta, 20-23 Juni 2006.
Selama ini terkesan, terjadi ketidakkompakkan di Timur Tengah dalam menangani konflik Timur Tengah, terutama jika konflik tersebut melibatkan Amerika Serikat (AS). Kunci penyelesaian konflik Timur Tengah sebenarnya juga terkait dengan peran AS. Karena itu, kami mendesak para tokoh yang kami temui, agar Timur Tengah melakukan konsolidasi dengan baik sehingga mencapai tingkat soliditas yang signifikan.
Pengamatan kami selama ini menunjukkan fenomena yang menarik di sini, yakni kalangan dunia Arab relatif bersatu ketika menghadapi Israel, dan negara tersebut dianggap sebagai common enemy. Namun, jika yang dihadapi AS, mereka justru akomodatif, bahkan ada yang bersedia menjadi sekutu AS.
Mengapa semua ini terjadi? Inilah persoalan krusial yang perlu dicari solusinya. Jika posisi dunia Arab tidak mau bergeser ke arah yang lebih kompak dan solid, maka kemungkinan penyelesaian konflik dengan perdamaian yang permanen sulit terwujud. Selama ini, proses perdamaian di Timur Tengah hanya bersifat tentatif-analgetik seperti obat sakit kepala.
Sikap dunia Arab, yang tidak kompak dan akomodatif terhadap AS itu selalu dijadikan kartu truf untuk memainkan berbagai kepentingan AS maupun Israel di Timur Tengah. Sementara, posisi Israel dan AS selalu solid dan kohesif saat menghadapi dunia Islam. Mengapa AS dan Israel selalu kompak? Mari kita melihat dua level persoalan, yaitu kasus Timur Tengah dan perilaku politik serta kebijakan luar negeri AS.
Pertama, pada kasus Timur Tengah, terjadinya proses akomodasi terhadap AS itu, setidaknya dimulai setelah ditemukannya berbagai sumber kekayaan alam di kawasan tersebut, terutama minyak. Negara Arab seperti Saudi dan Kuwait, mengalami ketergantungan teknologi terhadap AS. Kondisi ini diperparah, setelah Arab Raya kalah secara beruntun dalam perang melawan Israel --dari tahun 1948 hingga 1970-an.
Negara-negara yang akomodatif terhadap AS seperti Saudi dan Kuwait tiba-tiba menjadi kaya dan makmur. Sementara Mesir, Suriah, Lebanon, Yordania, apalagi Yaman, mengalami kemiskinan. Posisi inilah yang menjadikan AS leluasa memainkan strategi stick and carrot (tongkat dan wortel). Negara-negara yang akomodatif diberi suntikan dana. Sementara negara yang melawan dan frontal dihukum. Dengan strategi ini Israel-AS berhasil melumpuhkan kekuatan Liga Arab yang ketika dipimpin Mesir begitu disegani.
Kedua, pada level kebijakan AS. Pascakepemimpinan John F Kennedy di AS, kebijakan negara tersebut terlihat banyak berubah. Dari yang sebelumnya, begitu berpihak pada aspirasi plural warga AS, pasca-Kennedy terlihat ada kekuatan lobi yang cukup besar yang dapat membuat hitam-putihnya kebijakan negara tersebut, yaitu lobi Yahudi yang terwadahi dalam AIPAC. Lembaga lobi inilah yang sangat menentukan pelbagai kebijakan AS, terutama kebijakan luar negerinya. AS pascakepemimpinan John F Kennedy, terutama era 70-an, kebijakan luar negerinya, seperti sudah tidak genuine lagi untuk kepentingan warga AS. Kesan yang begitu kuat bagi kita adalah bahwa kerap kali kebijakan AS sama dan sebangun dengan kepentingan Israel.
Di sinilah sebenarnya yang kurang dipahami oleh negara-negara Timur Tengah. Mereka galak terhadap Israel, tetapi akomodatif terhadap AS. Kondisi inilah yang menjadi peluang bagi Israel-AS untuk memainkan kepentingannya. Problem-problem inilah yang juga menjadi faktor dalam upaya proses perdamaian di Timur Tengah.
Krisis tiga negara
Ada tiga hal yang biasanya menjadi trigger untuk memojokkan atau mengagresi negara-negara Islam oleh AS maupun oleh Israel. Alasan konflik Timur Tengah jadi alasan dalam pendudukan Israel terhadap Palestina, penyerbuan terhadap Gurun Sinai yang masuk wilayah Mesir, juga terhadap Yordania, Suriah, dan terakhir terhadap Hizbullah. Sedangkan penyerbuan yang dilakukan oleh AS biasanya memakai dua alasan yaitu karena menegakkan demokrasi seperti terhadap kasus Aljazair dan Irak. Kemudian, alasan terorisme internasional seperti terhadap kasus penghancuran rezim Taliban.
Demi menegakkan kepenting
Terpopuler
1
Soal Tambang Nikel di Raja Ampat, Ketua PBNU: Eksploitasi SDA Hanya Memperkaya Segelintir Orang
2
Meski Indonesia Tak Bisa Lolos Langsung, Peluang Piala Dunia Belum Pernah Sedekat Ini
3
Pentingnya Kematangan Pola Pikir dan Literasi Finansial dalam Perencanaan Keuangan
4
PBNU Rencanakan Indonesia Jadi Pusat Syariah Dunia
5
Khutbah Jumat: Mempertahankan Spirit Kurban dan Haji Pasca-Idul Adha
6
Sejarawan Kritik Penulisan Sejarah Resmi: Abaikan Pluralitas, Lahirkan Otoritarianisme
Terkini
Lihat Semua