Opini

Terorisme, Konspirasi, dan Perkelahian Pemaknaannya

Jum, 1 Juni 2018 | 14:30 WIB

Oleh Ali Muhtarom

Rangkaian teror bom yang menimpa tiga gereja di Surabaya dan teror yang mengarah pada  kantor kepolosian di beberapa tempat akhir-akhir ini masih menyisakan beragam tanda tanya di kalangan masyarakat di Indonesia. Berbagai diskusi pun menghiasi ruang publik untuk mencari jawaban terkait siapa yang menjadi pelaku dan motif apa yang sebenarnya mendorong pelaku teroris melakukan tindakannya tersebut. Mulai dari media, praktisi pendidikan atau akademisi, politisi, hingga tokoh agama, baik yang berada di kota, maupun yang di desa membahas fenomena terorisme tersebut. 

Berbagai diskusi dan perbincangan tersebut pada posisi tertentu bahkan menjadi ajang perebutan wacana tersendiri di kalangan masyarakat, termasuk di kalangan sebagian masyarakat Muslim Indonesia. Secara umum ajang perebutan wacana tersebut mengarah pada dua pemaknaan.

Pertama, adalah kelompok masyarakat yang memaknai bahwa faktor pemahaman ideologi keagamaan tertentu yang tidak akulturatif dan kaku menjadi sebab atas munculnya tindakan terorisme. Pemahaman keagamaan yang berorientasi pada upaya untuk mendirikan daulah Islamiyah yang berusaha diterapkan secara kaku menjadi faktor utama munculnya aksi radikalisme dan militansi pemahaman jihad untuk membela keyakinannya, para pelaku teror tidak merasa gentar dalam melakukan tindakan teror bunuh diri karena di dalam tindakan tersebut diyakini akan membawanya kepada surga.

Dari faktor pemahaman ideologi keagamaan ini kemudian diperkuat lagi dengan kondisi ketidakadilan dan berbagai kesenjangan yang mengakibatkan frustasi dan kekecewaan lebih mendalam bagi aktor teroris. Sehingga kondisi tersebut semakin menguatkan niat untuk merencanakan aksi teror. 

Kedua, adalah kelompok masyarakat yang menolak tindakan terorisme dikaitkan dengan agama. Walaupun terkadang membingungkan, kelompok ini enggan untuk menyebut bahwa pemahaman keagamaan yang tidak tepat menjadi faktor munculnya tindakan terorisme. Kelompok ini berusaha untuk menepis bahwa segala bentuk tindakan terorisme adalah rekayasa semata. Mereka menciptakan wacana tandingan dengan framing baru dengan pendekatan konspirasi. Bagi mereka, fenomena terorisme adalah agenda Zionis dan para musuh Islam yang sengaja ingin menyudutkan Islam. Teori konspirasi menjadi pilihan mereka di dalam menepis keterlibatan kelompok Islam tertentu yang sering dituduh sebagai aktor dibalik tindakan terorisme. Mereka bahkan membalik tuduhan, bahwa terorisme dikendalikan oleh rezim tertentu yang dituduhnya bersekongkol dengan musuh-musuh Islam. 

Konspirasi merupakan pendekatan yang sulit dan membutuhkan pencermatan yang lebih mendalam. Pada satu sisi mungkin bisa diterima bahwa pendekatan konspirasi mengarah pada sikap kritis, namun pada sisi yang lain, karena sifatnya yang konspiratif, meskipun mengarah pada asumsi terkait adanya titik yang hampir ketemu untuk diurai melalui upaya menghubung-hubungkan antar berbagai variable, namun tetaplah hal tersebut merupakan upaya menduga-duga dan menuduh yang bersifat “ghibaistik” tanpa bukti. Mereka tidak segan-segan menciptakan  pengaruh yang seakan dibiaskan dan menjauh dari esensi objek yang sedang digali kebenarannya. 

Jika serius di dalam penggunaan pendekatan konspirasi, seharusnya mereka tidak berhenti pada penciptaan wacana yang mengarah pada penyebaran isu membenci suatu rezim tertentu. Seharusnya diurai bagaimana peta geopolitik global memiliki hubungan dengan tindakan terorisme dan jaringannya. Di sini menurut saya, mereka belum tuntas di dalam mencermati fenomena terorisme. 

Ketidaktuntasan tersebut bahkan menyebabkan efek yang membingungkan pada masyarakat, di mana sebagian masyarakat yang memiliki pemahaman keagamaan setengah-setengah akan terhanyut dan terperangkap dalam jebakan pemahaman konspirasi tersebut. Sehingga keterhanyutan dan keterjebakan tersebut akan berakibat pada penyesalan mendalam bagi sebagian masyarakat seperti yang dialami oleh salah seorang dosen di sebuah perguruan Tinggi di Sumatra Utara sebagaimana yang sedang hangat diberitakan di media. 

Terlepas dari kedua tanggapan yang berbeda, saya berargumentasi bahwa fenomena terorisme tidak bisa dipisahkan dari faktor paham keagamaan yang ekstrim pada satu sisi, dan fenomena geoplitik global pada sisi yang lain. 

Tidak bisa dinafikan bahwa faktor paham keagamaan yang kaku  berdampak pada sikap konfrontasi terhadap kelompok lain yang dianggap berbeda. Keterlibatan kelompok tertentu yang berpaham radikalis dalam beragama dalam konteks pelaku teror akhir-akhir ini tidak menyalahi logika umum jika dikaitkan dengan Jama’ah Ansharud Daulah (JAD), misalnya, di mana kelompok ini di duga memiliki jaringan dengan ISIS. Paham keagamaan yang kaku tersebut juga bisa ditengok pada peristiwa penyanderaan Masjidil Haram pada tahun 1979 bertepatan dengan momentum Revolusi Iran waktu itu. Peristiwa ini tidak bisa dipungkiri bahwa faktor paham keagamaan yang kaku tidak terlibat di dalamnya. Juhaiman Al Uthaibi sebagai aktor utama dalam peristiwa tersebut sempat membuat bingung ulama Saudi otoritatif Abdul Aziz bin Baz saat itu. Bin Baz merasa kebingungan karena Juhaiman sebagai aktor utamanya adalah pernah menjadi muridnya (Baca: Kudeta Mekkah). 

Sedangkan fenomena geopolitik global juga tidak bisa dipungkiri memiliki hubungan dengan gerakan terorisme. Pasca tumbangnya Utsmaniyah, Barat (Inggris dan Amerika) masuk ke Timur Tengah, khususnya wilayah kaya minyak. Di situ, terjadi perselingkuhan dari berbagai pihak yang berkepentingan. Bagi rezim Islam yang ingin bertahan untuk menyelamatkan status quo, dimanfaatkan oleh Barat tidak apa-apa. Bahkan menjalin koalisi permanen pun, yang penting kepentingan politiknya aman. 

Bagi Barat, khususnya AS menikmati hubungan baik dengan negara Timur Tengah, khususnya dengan Saudi mendapat keuntungan ganda. Selain menikmati limpahan minyak, perselingkuhannya dengan Saudi juga menguntungkan untuk menghadang rival utamanya, yaitu Uni Soviet yang berideologi sosialis-komunis, yang mana dalam sejarah Perang Dingin merupakan saingan utama Amerika Serikat.

Dari sinilah kemudian persoalan konfrontasi muncul karena perselingkuhannya dengan Barat, menimbulkan reaksi bagi kelompok mujahidin yang dengan berat menerima koalisi Saudi dengan Amerika Serikat. Namun, semuanya menjadi kompleks ketika perang Afghanistan berkobar. Di mana, dalam perang tersebut mempertemukan tiga poros penting, pertama, poros mujahidin yang memang memusuhi komunis, kedua, rezim Timur Tengah khususnya Saudi yang berkepentingan menahan kekuatan Iran, di mana Soviet pada era itu ada sinyal berkoalisi dengan Iran, dan ketiga adalah AS yang memanfaatkan kekuatan mujahidin dan koalisinya dengan Saudi dan beberapa rezim Timur Tengah yang bisa diajak bergabung melawan Uni Soviet. Di sini Amerika Serikat menikmati dua kepentingan sekaligus, yaitu mendapatkan kekuatan melawan Soviet dan ke depan dapat menguasai minyak tanpa gangguan rival Soviet (inilah yang disebut proxy war). Namun apa yang terjadi, ternyata kekuatan para mujahidin dari berbagai negara saat itu berubah menjadi monster yang akan menerkam Amerika Serikat sendiri. Kumpulan para mujahidin tersebut akhirnya menghasilkan apa yang disebut the virtual universities for future islamic radicalism (Baca: Pengantar Devil's Games).

Dengan demikian, menolak keterlibatan ideologi dan gerakan paham keagamaan yang tidak akulturatif dan kaku sebagai salah satu faktor penting munculnya tindakan terorisme sulit diterima oleh logika umum. Pada posisi seperti ini, pemahaman keagamaan yang rahmatan lil’alamiin perlu diperkuat supaya masyarakat lebih memahami ajaran agamanya dengan benar.


Penulis adalah Dosen UIN Banten dan Alumni PMII DKI