Oleh Ali Maschan Moesa*
Secara deskriptif dapat dikemukakan paradigma dialog antar agama yang sekarang sedang berkembang di dunia diklarifikasikan menjadi tiga. Pertama, paradigma ekslusif. Paradigma ini meruapakan pandangan yang masih dominan dari zaman ke zaman dan terus dianut pemeluk agama saat ini. Inti pandangan ekslusif adalah bahwa agama yang dianut adalah satu-satunya jalan yang sah menuju keselamatan dan surga.
Kedua, paradigma inklusif. Paradigma ini membedakan antara kehadiran penyelamatan dan aktivitas Tuhan dalam tradisi agama-agama lain, dengan penyelamatan dan aktivitas Tuhan sepenuhnya dalam dzat tuhan.
Dalam pandangan ini semua agama akan mampu menyelamatkan umatnya sejauh mereka hidup dalam ketulusan hati terhadap Tuhan. Dalam Islam terdapat kosa kata kalimatun sawa” (titik pertemuan).”Katakanlah olehmu Muhammad: wahai ahli kitab marilah menuju ke titik pertemuan (kalimatun sawa”) antara kami dan kamu, yaitu bahwa kita tidak menyembah selain Allah dan tidak mempersekutukan-Nya kepada apa pun, dan bahwa sebagian dari kita tidak mengangkat sebagian yang lain sebagai “tuhan-tuhan”selain Allah (Ali Imron,64).
Ketiga, paradigma pluralis. Paradigma ini percaya setiap agama mempunyai jalan keselamatan sendiri, dan arena itu klaim bahwa hanya agamanya adalah satu-satunya yang sah harus ditinggalkan. Pluralisme tidak semata menunjuk pada kenyataan tentang kemajemukan. Pluralisme agama dan budaya dapat dijumpai dimana-mana di belahan dunia ini.
Dengabn kata lain, pengertian pluralisme agama adalah setiap pemeluk agama dituntut bukan saja mengakui keberadaan dan hak agama lain, tetapi terlibat dalam usaha memahami perbedaan dan persamaan guna tercapainya kerukunan dalam kebhinekaan. Karena itu, terdapat komitmen penting yang harus di pegang setiap pemeluk agama, yaitu toleransi.
Selanjutnya – dalam konteks peraturan bersama ini –kita mendiskusikan tentang relasi agama dan negara yang sulit menghindar dari perspektif religio-political power, yang telah banyak dilakukan para pemikir kontemporer. Dalam perbincangan mereka, relasi agama dan negara dapat dilihat dalam konsep trikotoni, yaitu unified paradigm, symbiolic paradigm, dan secularistic paradigm.
Dalam paradigma unified atau integralistik, agama dan negara menyatu (integrated), wilayah agama meliputi politik atau negara. Negara adalah lembaga politik dan keagamaan sekaligus. Karena itu, menurut paradigma ini kepala negara adalah pemegang kekuasaan agama dan kekuasaan politik. Pemerintahannya diselenggarakan atas daasar “Kedaulatan tuhan (divine sovereignty), karena pendukung konsep ini meyakini bahwa kedaulatan berasal dan berada di “tangan Tuhan”.
Lebih lanjut, paradigma ini memunculkan klaim tidak ada pemisahan antara agama dan negara, sehingga kekuasaan politik bukan sekedar representasi, tetapi presentasi agama.
Agama dan negara menurut pendukung paradigma simbiotik berhubungan secara simbiotik, yaitu hubungan yang bersifat timbal balik dan saling memerlukan. Dalam hal ini, agama membutuhkan negara, karena dengan negara, agama akan berkembang secara lebih baik.
Sebaliknya, negara memerlukan agama, karena dengan agama negara dapat berkembang dalam bimbingan etika dan moral-spritual agama. sedangkan menurut pendukung paradigma sekularistik, agama dan negara harus dipisahkan secara tegas.
Selanjutnya, umat beragama seyogyanya juga mulai mempertimbangkan paradigma keempat, yaitu paradigma “indepedensi” agama terhadap negara. Dalam paradigma ini diajukan konsep tentang pentingnya agama benar-benar independen dari negara. Sebaliknya, negara juga tidak bernafsu untuk mencampuri urusan agama rakyatnya.
Dalam perspektif ini bukanlah dimaksudkan agama menafikan kehidupan negara, dan bukan negara yang harus menjadi “polisi” agama. kalau ada saling keterpengaruhan antara agama dan negara, hal itu terjadi hanya pada tingkat moralitas, seperti pengelolaan negara yang didasarkan pada moral universal keagamaan. Fokus paradigma ini adalah mengupayakan bagaimana melepaskan gurita negara dan watak intervensionisnya atas warganya, bukan me-nafikanya.
Peraturan Menteri
Berikut saya mengajukan beberapa catatan terkait Peraturan Bersama Menag dan Mendagri No 9/2006 dan No 8/2006 tanggal 21 maret 2006 tentang pendirian tempat ibadah, sebagai berikut : pertama, problem paling besar dalam kehidupan beragama dewasa ini – yang ditandai realitas pluralisme – adalah bagaimana teologi suatu
Terpopuler
1
Soal Tambang Nikel di Raja Ampat, Ketua PBNU: Eksploitasi SDA Hanya Memperkaya Segelintir Orang
2
Meski Indonesia Tak Bisa Lolos Langsung, Peluang Piala Dunia Belum Pernah Sedekat Ini
3
Cerpen: Tirakat yang Gagal
4
Jamaah Haji Indonesia Diimbau Tak Buru-buru Thawaf Ifadhah, Kecuali Jamaah Kloter Awal
5
Pentingnya Kematangan Pola Pikir dan Literasi Finansial dalam Perencanaan Keuangan
6
Jamaah Haji Indonesia Bersyukur Tuntaskan Fase Armuzna
Terkini
Lihat Semua